"STEVAN JONATHAN!!!!"
Sudah berulang kali seruan guru yang memanggil namanya itu terdengar. Tapi, cowok itu tetap bergeming ditempatnya sambil nyengir saat melihat guru itu menghampirinya.
Selalu. Dan pasti.
Laki-laki yang selalu membolos saat pelajaran itu menyenderkan punggungnya pada pilar di tembok penghalang balkon sekolahnya. Telapak kakinya yang satu menapaki penghalang tembok balkon. Yang satunya, berayun ke depan dan ke belakang.
Dan saat guru itu berada di hadapannya, cengirannya semakin lebar, membuat guru tersebut geram dan segera menjewer sebelah kuping Jo.
Jo melotot, ia meringis kesakitan. "Ibu kekencengan jewernya! Aw! Sakit bu, lepas, tar saya jatoh nih dari lantai dua!"
Guru itu, Bu Erlin, tidak memperdulikan rengekan Jo, dan makin mengencangkan jewerannya. "Saya gak peduli! Sejak kapan saya peduli sama kamu? Sekarang turun ke lantai, atau ke tanah?"
Jo masih meringis, dan menjawab, "Lantai Bu, sakitttt!!"
Bu Erlin melepaskan cubitannya pada telinga Jo, dan membawa tangannya untuk berkacak pinggang. "Kamu tahu? Semenjak Ali taubat, saya jadi bisa menghukum berbagai macam murid di sekolah ini tanpa ragu. Jadi, jaga sikapmu, atau kamu akan saya beri detensi. Mengerti?"
Jo yang sudah melompat turun ke lantai memasang wajah masam sambil mengusap telinganya dengan tangan. "Mengerti Bu."
"Bagus," kata Bu Erlin, kemudian kembali menjewer telinga Jo, membuat Jo kembali meringis dan mengaduh. "Sekarang, kamu ikut saya!" ujarnya di sela-sela perjalanan di koridor tanpa memperdulikan Jo yang mengaduh dan meringis. "Saya memang sangat merasa sial jika kamu ada di kelas saya. Tapi, saya akan makin sial jika kamu tidak ada dikelas lagi dan saya akan kembali dipanggil oleh Kepala Sekolah dan Pak Nizar."
Sesampainya di kelas, Jo masih dijewer oleh Bu Erlin dan dibawa ke depan kelas.
"Dengar anak-anak!" seru Bu Erlin sambil perlahan melepaskan cubitannya dari telinga Jo. "Ibu, sebagai wali kelas kalian memohon kerja samanya. Salah satu murid dikelas ini selalu berbuat onar dan membolos. Untuk itu, saya memohon kekeluargaan kalian agar membuat Jo ada dikelas, dan membimbingnya. Kalau Jo kembali tinggal kelas, saya tidak akan segan-segan memberikan nilai C- pada kalian."
Tarikan napas kaget menjadi sebuah jawaban yang sangat memuaskan bagi Bu Erlin. Jo mengusap telinganya, kemudian cemberut memandang Roy yang duduk sendirian sambil tertawa puas.
"Bu!"
Seru salah satu siswi, mengangkat tangannya ke udara, memberikan instrupsi pada Bu Erlin. "Ya Vany? Ada apa?"
Cewek itu, Vany Vanila menurunkan tangannya manjadi sebuah lipatan diatas meja. "Saya keberatan Bu!"
Pasti! Jo sudah mengetahui bahwa Miss-serba-perfect itu pasti akan keberatan dengan apa yang Bu Erlin katakan. Ini menjadi sebuah permainan yang menyenangkan untuk Jo.
"Keberatan?" Tanya Bu Erlin.
Vany mengangguk. "Ya. Disini, yang susah diatur kan cuma Jo. Kenapa anak yang lain jadi kena? Itu gak adil banget!"
Seluruh murid di kelas menyetujui opini Vany dan ada yang menambahkan beberapa kalimat persetujuan.
"Kita keluarga," kata Jo membuat kelas bungkam. Jo memulai aktingnya. Cowok itu maju selangkah, mendekati meja Vany yang berada di hadpannya. "Kalian bisa ngomong 'kekeluargaannya mana?' cuman karna ada yang bolos piket. Tapi, kalo udah kayak gini, kalian malah nolak?" Tanya Jo, tersenyum sinis. "Kalian tau gak sih? Itu tuh munafik! Hanya karna ketua kelas kita bilang itu gak adil, kalian setuju? Coba gini, kalo gue, sebagai murid disini emang yang paling bolot sampe gak naik kelas, trus, kalian gak mau bantuin gue? Padahal, disitu gue gak tau apa-apa. Apa itu adil buat gue?"
"Enggak." Seru para murid --kecuali Vany yang geram dengan mata memincing dan Roy yang malah memvideo aksi Jo-- membuat Jo tersenyum sinis.
"Kalau gitu ...," jeda, Jo memfokuskan matanya pada Vany yang memincingkan matanya pada Jo. "Gue cuma butuh satu orang buat bantuin gue," katanya, kemudian kembali maju selangkah. "Lo mau gak, bantuin gue?"
Seketika, kelas menjadi hening.
Vany memincingkan matanya pada Jo. "Kenapa harus gue?"
Jo mengangkat sebelah alisnya, dan bersidekap dada. "Apa gue harus bilang karna lo orang yang paling ngerti tentang makna 'keadilan'?"
Mata Vany makin memincing, membuat Jo tersenyum miring. "Kalo gue gak mau?"
Jo mengangkat bahu, berbalik kearah Bu Erlin, dan kembali menatap Vany. "Seperti yang Bu Erlin bilang, nilai lo bakal di kasih D."
"Har-"
"Gimana?" Tanya Jo yang memotong perkataan koreksi Bu Erlin.
Vany terdiam. Ia menatap Bu Erlin, kemudian kembali menatap Jo. Nilai D? Yang benar saja! Seumur hidupnya, Vany tak pernah mendapatkan nilai serendah itu. Semua nilai yang ada di rapotnya harus A dan tidak boleh ada huruf lain. Ia tidak bisa membayangkan bahwa huruf D terpenuhi dalam buku rapotnya.
Apa ia harus menerimannya? Ah, mungkin ini hanyalah lelucon yang dibuat Jo. Mengapa ia harus peduli?
Ia kemudian menatap Bu Erlin, meminta penjelasan. "Bu?"
Bu Erlin tersenyum pada Vany. "Kamu pasti bisa. Dan kamu harus bisa."
Oh tidak. Ini bukan lelucon belaka. Ia menatap Jo yang tersenyum miring padanya dengan geram. Ia mendengus, dan menjawab, "Oke. Gue terima."
Jo tersenyum miring, sedangkan Vany hanya menatap geram kearahnya.
"Asaaahhh!"
Seruan itu membuat seluruh murid menatap kearah Roy yang sedang menatap ponselnya sambil tersenyum lebar. Jo tahu, Roy pasti puas dengan vidio yang dia ambil.
Merasakan pandangan menusuk yang menatapnya, Roy mengangkat kepala, dan melihat Bu Erlin yang menatapnya sambil bersidekap dada. Ia tersenyum ramah. "Maap Bu."
***
Ini adalah kisah mereka. Dua orang yang berbeda. Bukan karna Vany perempuan atau Jo laki-laki, bukan. Mereka bertolak belakang. Amat sangat bertolak belakang. Vany yang perfect, dan Jo yang badboy.
Yang pasti, ini adalah kisah mereka. Kisah antara badboy yang berada didunia cewek perfect. Kisah antara cewek perfect yang berada didunia badboy. Kisah antara dua orang yang berbeda.
Dan perbedaan itulah yang membuat mereka mengetahui satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]
Short Story[Badass Series] #9 dalam short story, 28 April "Lo bisa gak sih, gak nyusain idup sempurna gue?" "Kagak." "Ngeselin." "Gue denger loh, cantik." "Lo denger gue ngomong 'ngeselin', tapi gak denger gue ngomong 'selesein'." "Denger, kok," kata Jo yang m...