Cowok itu menghela napas panjang, kemudian kembali menepuk punggung Vany dengan lembut.
Sedari tadi, cewek itu hanya menangis dengan kencang di bangku taman. Ya, mereka pergi ke sebuah taman dekat sekolah. Dijalan, Vany tak hentinya menangis dengan kencang bahkan isakannya benar-benar tak terkendali. Bahu Vany berguncang dengan hebat dan tanpa henti. Jo takut Vany kenapa-kenapa karna cewek itu mempunyai penyakit asma yang melarang penderitanya untuk stress.
Jo tahu apa penyebabnya. Penyebab Vany menangis dengan hebatnya hingga bahu cewek itu tak henti bergetar.
Vany tahu akan pengetahuan Bunda Vany tentang ke-virginan putrinya.
Jo tahu saat dimotor tadi. Saat Vany tak hentinya menangis sambil berkata, "Bunda, Maafin Vany. Vany anak durhaka, udah bikin Bunda nangis," dan, "Vany sayang Bunda. Gak mau Bunda nangis karna Vany," berulang-ulang.
Vany menutup wajahnya sambil terisak kencang. Cewek itu bahkan enggan berhenti menangis saat Jo memeluknya.
Jo menghela napas panjang. Dalam hati, ia menyumpah serapah pada dirinya sendiri karna tidak berguna untuk Vany bahkan disaat seperti ini.
Bahu Vany tak henti bergetar. Kedua tangannya juga terus menutupi wajahnya tanpa ada celah. "Maafin Vany ..."
Vany kembali menyalahkan dirinya sendiri, membuat Jo benci pada diri sendiri karna tidak dapat menghibur Vany sedikit pun.
"Bunda ..." seolah nama itu yang selalu saja Vany ingat, cewek itu tak henti memanggil dengan pilu dan disusul dengan tangisnya. "Maafin Vany ..."
Jo meringis, kemudian mengambil kedua tangan Vany yang sangat susah untuk dilepas dari wajah cewek itu. Jo bahkan harus berjongkok untuk memudahkannya. "Buka dulu, Van!" perintahnya dengan lembut.
Vany menggeleng. "Gamau, Jo."
"Buka, ayo!" Jo menggenggam lembut tangan Vany, mencoba untuk menarik tangan yang membekap erat wajah memerah Vany.
"Gamau, Jo!" Vany kembali menolak dengan suara serak khas orang menangis.
Jo jadi bingung sendiri. Ia mengusap pelan kepala Vany, kemudian mengusap telapak tangan Vany dengan lembut. Cowok itu mendesah panjang. "Van, udah dong nangisnya ..." ujarnya dengan muka cemberut. Jo kemudian kembali mengusap dengan lembut kepala Vany. "Gue harus ngapain dong biar lo berhenti nangis? Gue bukan tipe cowok yang bisa ngehibur pacarnya. Lo mau apa? Es krim? Balon? Atau apa? Lo mau gue sekalian bunuh Fares sekarang? Lo mau gue matiin dia?"
Vany menggeleng kuat, kemudian terkekeh. "Iya."
Ah. Kebiasaan Vany yang tak pernah hilang. Coba perhatikan! Padahal, Vany barusan menggeleng. Namun jawabannya apa?
Jo kadang tidak paham dengan gadisnya yang satu ini. Tapi, Jo senang Vany bisa tersenyum lagi.
Jo ikut terkekeh. Tangannya yang semula menggenggam tangan Vany, kini berpindah ke lengan atas cewek itu, lalu mengusapnya dengan lembut dan hati-hati, seolah Vany adalah berlian yang sudah retak, dan jika dikasari sedikit saja dapat membuat berlian itu pecah berkeping-keping.
Cowok itu kemudian menghela napas panjang saat Vany tak juga melepaskan kedua tangannya dari wajah.
Terpaksa. Ya, terpaksa Jo harus melakukan cara terakhirnya. Jo berpikir sebentar, kemudian menarik napas sebanyak-banyaknya, dan membuang napas perlahan. Jo menutup kedua matanya, kemudian melakukan hal tadi sekali lagi. "Hands, put your empty hands in mine," bernyanyi. Ya, seorang Stevan Jonathan bernyanyi untuk menghibur pujaan hatinya. Ah, apa kata kawan-kawannya jika tahu hal ini? Namun, Jo tak peduli. Karna sepertinya, cara ini membuat Vany meredakan isakannya.
Jo tersenyum miring karnanya. "And scars, show me all the scars you hide," tangan Jo menyentuh dadanya sendiri. Senyum diwajahnya kini merekah saat Vany memberi celah diantara jari-jarinya. Dan Jo dapat melihat mata Vany dicelah tersebut. "And hey, if your wings are broken, please take mine so yours can open too," Jo tersenyum lembut saat Vany melepaskan kedua tangannya dari wajah. Mata sembab Vany kini terlihat jelas, mengarah pada Jo dengan pandangan polosnya. "'Cause I'm gonna stand by you."
Tangan Jo kemudian terangkat untuk menyentuh wajah Vany. Ibu jari Jo mengusap lembut sisa air mata yang ada di pipi cewek itu. Jo menatap dalam pada manik mata Vany, begitupun sebaliknya. "Oh, tears make kaleidoscopes in your eyes. And hurt, I know you're hurting, but so am I. And love, if your wings are broken, borrow mine so yours can open too. 'Cause I'm gonna stand by you ..."
Vany hanya diam. Cewek itu terus menatap Jo dengan mata sembab yang memerah. Isakannya masih tersisa, dan air matanya pun masih turun beberapa kali, namun tidak sederas barusan.
Jo meringis karna tidak mendapatkan respon dari Vany. "Alay, ya?" tanyanya, kemudian kembali meringis.
Vany menggeleng cepat sebagai jawabannya.
Jo terkekeh kecil. "Trus kenapa lo diem aja, cantik? Suara gue jelek, ya?"
Diluar dugaan, Jo yang tadinya sedang berjongkok, kini duduk bersila saat Vany tiba-tiba meloncat ke arahnya dan memeluk Jo dengan erat. Cowok itu sempat mengaduh saat pantatnya menyentuh tanah berumput ditaman.
"Makasih, Jo," Vany berbisik ditelinga Jo, disusul dengan isakan kecilnya yang masih tersisa. "Thank's cause you still stand by me."
Jo tersenyum. Tangannya kemudian bergerak melingkari pinggang Vany, memeluk cewek yang berada dipangkuannya itu. "Me too."
KAMU SEDANG MEMBACA
JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]
Short Story[Badass Series] #9 dalam short story, 28 April "Lo bisa gak sih, gak nyusain idup sempurna gue?" "Kagak." "Ngeselin." "Gue denger loh, cantik." "Lo denger gue ngomong 'ngeselin', tapi gak denger gue ngomong 'selesein'." "Denger, kok," kata Jo yang m...