Tadinya, Jo berniat untuk ke base camp dan tidur disana. Karna kalau Jo ke kontrakan Vio, sepupunya itu pasti takkan membukakan pintu untuknya. Namun, entah mengapa, ia malah menjalankan motornya ke rumah Vany, dan berdiam diri didepan rumahnya, menatap rumah itu lama tanpa turun dari motornya dan hanya membuka helmnya.
Ini tengah malam, dan mungkin saja, Vany sudah tidur.
Jo tersenyum kecil saat mengingat pernah melihat wajah polos Vany saat cowok itu masuk ke rumah Vany lewat kamarnya. Dengan jelas, ia dapat melihat wajah tidur pulasnya yang lucu.
Tapi, itu dulu. Sekarang, ia harus menjauhi Vany. Kalau pun memang ia jatuh cinta pada cewek itu, Jo hanya harus menatap Vany dari jauh untuk meredakan keriduannya.
Namun, saat melihat pintu rumah cewek itu terbuka dengan cepat, Jo tahu, bahwa ia sudah tidak dapat berlari lagi.
"Jo?" panggil Vany di ambang pintu rumahnya. "Itu elo, kan?"
Jo terdiam ditempatnya, tidak menjawab pertanyaan Vany.
"Itu elo kan Jo? Gue inget sama motor lo."
Jo masih terdiam ditempatnya, tak ada niat untuk menjawab pertanyaan Vany yang di ajukan padanya.
"Jo! Jawab gue, sialan!!"
Jo tersenyum kecil, dan mengangguk samar.
Vany malah terdiam dalam keremangan lampu di ambang pintu rumahnya. Begitu pun Jo yang tidak berniat untuk sedikit pun turun dari motornya. Namun, tanpa disangka Jo, cewek itu malah berlari menghampirinya dengan cepat, dan hampir saja membuat Jo terjungkal karna pelukan erat Vany yang tiba-tiba.
Jo membeku ditempatnya. Jantungnya berdetak dengan cepat saat ini. Apa karna ia dipeluk oleh Vany? Belum pulih dari keterkejutannya, Jo kembali dikejutkan dengan isakan kecil Vany dipelukannya. Cowok itu menelan ludahnya dengan susah payah. "Kenapa lo nangis?"
Vany masih saja terisak dalam pelukannya, membuat Jo mau tidak mau membalas pelukan cewek itu dalam posisi duduk dimotor.
"Kenapa?" tanya Jo lagi. Namun, Vany masih saja tidak menjawab pertanyaannya. Cewek itu malah makin terisak terus dalam pelukan Jo. "Kenapa lo nangis, sih, Van?" tanyanya lagi sambil mengusap punggung Vany, mencoba membuat tangis Vany mereda. "Kenapa sih? Jawab, ayo!" Jo melepaskan pelukannya, dan mendorong bahu Vany pelan. Namun, Vany malah mengeratkan pelukannya, tidak membiarkan Jo menatap wajahnya. Cowok itu berdecak. "Kenapa sih? Ngomong, deh. Jangan nangis gini."
"Apa ...," jeda, Vany terisak sebentar. "Apa salah kalau gue kangen banget sama lo?"
Jo terdiam ditempatnya. Vany merindukannya? Sama sepertinya?
"Apa ..., gue salah kalau gue suka sama lo?"
♬ ♬ ♬
Vany menahan napas saat mengatakan kata-kata tersebut. Entah mengapa, saat ia mengetahui Jo berada didepan rumahnya pada tengah malam, hatinya menghangat sampai-sampai ia menangis dalam pelukan Jo. Dan yang lebih gila lagi, Vany menyatakan perasaannya pada cowok itu! Dan saat ini, mereka malah terdiam dengan posisi Vany memeluk Jo yang duduk dimotornya.
Ini terlalu lama. Kenapa Jo tidak menjawab pertanyaannya? "Jawab, Jo!" perintah Vany, dan kembali terisak. Ia takut. Takut sekali kalau Jo tidak menyukainya dan malah membencinya.
"Gak salah. Gue juga sama."
Vany terdiam karna jawaban Jo. Apa cowok itu jujur? Apa Jo mengatakan yang sesungguhnya? Vany kemudian melepaskan pelukannya, dan menatap pada wajah Jo, mencari kebohongan dinetra cowok itu. "Lo serius?"
Jo tersenyum, dan mengambil tangan Vany, menggenggam tangan cewek itu dengan erat. "Gue serius. Gue jatuh cinta sama lo, Van."
Vany tersenyum melihat mata Jo yang tersenyum. Entah Jo bohong atau tidak, yang pasti, ia bahagia karna cintanya juga tersampaikan. Namun, mengingat Fares, Vany memudarkan senyumnya dan menggeleng kuat. "Enggak! Kita gak bisa kayak gini!"
Jo mengerutkan alisnya menatap Vany. "Kenapa? Bukannya kita saling cinta? Kenapa kita gak bisa?"
Vany mudur selangkah, dan Jo turun dari motornya. "Enggak! Gue punya Fares!"
"Fares udah khianatin lo, Van! Lo masih mau sama dia?"
Vany menggigit bibir bawahnya dan menunduk, tidak berani menatap Jo. "Gak bisa. Gue harus sama Fares sampe nikah, dan lo harus jauhi gue."
"Gue udah coba, Van! Tapi gak bisa!"
"Kalau gitu, gue yang bakal ngejauh." kata Vany, mengangkat wajahnya menatap tepat pada manik mata Jo yang kini membelalak. "Gue yang bakal ngejauhin lo."
"Kenapa harus?" tanya Jo seolah tercekat.
Vany kembali terdiam. Ia menatap kosong pada manik mata Jo. Apa ia harus mengatakannya? Apa ia harus jujur pada Jo?
"Apa karna lo gila kesempurnaan, dan lo gak akan sempurna kalo sama gue?"
Vany menggeleng cepat. "Bukan itu, Jo."
"Trus apa, Van?!" pekik Jo, gemas. "Bilang sama gue!"
Vany terdiam. Dadanya sesak karna dipenuhi oleh kenyataan pahit yang membuat Vany tidak bisa bersama Jo. Kembali, air matanya turun mulus dipipinya. Ia harus mengatakannya kalau ingin Jo menjauh. "Karna gue udah gak perawan."
Dan hening.
Vany tahu akhirnya Jo akan diam. Dan pasti, cowok itu akan menyerah karna satu-satunya mahkota yang dimiliki oleh perempuan, menghilang dalam diri Vany. "Keperawanan gue direnggut paksa sama Fares. Gue ..., gak bisa lepasin orang yang udah ngambil mahkota gue, Jo."
Jo masih saja terdiam ditempatnya, wajahnya terlihat shock saat mendengar Vany mengatakan hal tersebut. Dan sepertinya, ketakutan Vany akan terjadi. Jo pasti akan membencinya.
Sambil terisak, Vany menggeleng lemah. "Gue gak bisa sama lo, Jo. Gue harus jauhi lo," katanya, kemudian tersenyum getir, bersamaan dengan air matanya yang makin deras. "Lo mending pulang aja! Gue pengen tidur."
Dan dengan itu, perlahan Vany berbalik membelakangi Jo. Sambil menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan keras yang keluar, Vany terus berjalan walaupun terasa berat saat melangkah. Ia berjalan tanpa menengok kebelakang lagi.
Karna Vany tahu, walaupun ia menengok kebelakang, ia dan Jo takkan bisa bersatu.

KAMU SEDANG MEMBACA
JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]
Historia Corta[Badass Series] #9 dalam short story, 28 April "Lo bisa gak sih, gak nyusain idup sempurna gue?" "Kagak." "Ngeselin." "Gue denger loh, cantik." "Lo denger gue ngomong 'ngeselin', tapi gak denger gue ngomong 'selesein'." "Denger, kok," kata Jo yang m...