Vany merindukan Jo. Hanya itu yang menjadi pikirannya beberapa minggu ini. Ia selalu saja dibuat stress saat menahan diri untuk tidak memandang Jo, menatap Jo, dan Vany bahkan menahan dirinya untuk memanggil nama cowok itu.
Kenapa?
Tentu saja Vany harus menjauhi Jo. Dan dilihat dari projeknya untuk menjauhi Jo akhir-akhir ini, Jo sepertinya tidak keberatan. Cowok itu juga tidak memiliki inisiatif untuk memanggil atau menyapa dirinya. Vany menerimanya.
Ini yang diinginkan Vany.
Tidak, tepatnya, ini yang diinginkan ego Vany. Ego untuk menahan Fares yang telah mengambil mahkotanya, dan tidak membiarkan cowok lain untuk masuk dalam hidup Vany, atau bahkan sampai membuat Vany mencintainya.
Ia hanya ingin Jo menemukan orang yang lebih baik darinya. Cowok itu juga sepertinya rela mencari yang lebih baik dari Vany. Karna memang, Vany bukanlah cewek yang pantas untuk diperjuangkan.
Mahkota miliknya saja sudah direnggut. Ia tak bisa menjaga diri sendiri. Menjaga mahkota satu-satunya, lebih tepatnya.
Salah satu alasan Vany mempertahankan Fares adalah karna hal ini. Dan karna hal ini juga ia terjebak bersama Fares.
Dan hal ini juga yang menyebabkan Vany tidak bisa bersama Jo.
Jo kini membenci Vany.
Jo kini menjauhi Vany.
Vany juga membenci dirinya sendiri.
Vany juga harus menjauhi Jo.
Dada Vany rasanya sangat sesak. Jantungnya seolah merasakan sebuah sedotan yang membuat setengah dari diri Vany maninggalkannya. Remasan dijantungnya seolah tidak mau berhenti sampai-sampai Vany ingin menangis untuk meluapkan betapa menyakitkan rasanya.
"Vany? Lo kenapa diem mulu, sih?"
Pertanyaan dari Prilly sontak membuat Vany mendongak, menatap kawannya itu dengan mata yang berembun.
Prilly mengerutkan alisnya dan menghampiri Vany yang terduduk ditepian kasur miliknya. "Van? Lo kenapa? Mata lo berkaca-kaca, tau ...," katanya. Dalam hati, Prilly merutuki kedua temannya yang lain karna membeli makanan dengan waktu yang lama. Dan Vany masih saja diam, tidak menjawabnya. Prilly kemudian mengguncang bahu Vany dengan lembut. "Van? Lo kenapa, sih? Gue gak pernah liat lo kayak gini."
Vany masih saja diam, tidak ingin mengatakan apapun. Karna, Vany tahu, jika ia mengungkapkannya sekarang ini, Vany akan mengatakan seluruhnya, termasuk rahasianya mempertahankan Fares. Namun, Vany akhirnya menyerah dan membiarkan air matanya jatuh perlahan menuruni pipinya. Dengan cepat, cewek itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan terisak disana. Air matanya semakin mengalir, begitu juga dengan isakannya yang semakin keras.
Ini menyakitkan.
Menyesakan dadanya sampai-sampai Vany sulit untuk bernapas.
Vany tak tahu jika mencintai seseorang bisa semenyakitkan ini.
"Van, udah dong. Kenapa lo nangis, sih?" tanya Prilly cemas sambil mengusap-usap bahu Vany dengan lembut. "Lo kenapa Van? Cerita dong ..., lo dari kemaren-kemaren murung terus, tau ... gue khawatir."
Vany makin terisak dan air matanya terus mengalir. Sampai kapan? Sampai kapan rasa sesak ini akan berakhir? Mengapa terasa lambat dan sangat menyiksa? Vany hanya merindukan Jo. "Gue kangen ...," katanya tercekat, disusul dengan isakan yang semakin menjadi. "Gue kangen lo, Jo."
Prilly mengerjap, kaget dengan perkataan Vany yang malah merindukan pacar orang lain. Namun, Prilly tidak berkata apa-apa dan meneruskan untuk menenangkan sahabatnya. Tidak ada yang salah dengan cinta. Bukan cinta yang salah. Cinta bukan manusia yang menentukannya, namun, hati dan persaan lah yang menguasai. Manusia hanya bertugas untuk memberikannya.
Dan Vany memberikannya pada Jo diwaktu yang salah. Disaat, cewek itu sedang memiliki yang lain. Dan Vany makin terisak kencang sambil terus mengatakan, "Gue kangen lo, Jo." dengan sirat dan nada kesedihan yang mendalam.
♬ ♬ ♬
Cowok itu duduk di halaman dengan memangku gitar sambil sesekali memetik asal. Pandangannya kosong menatap pagar base camp--yang akhir-akhir ini menjadi tempat pulangnya. Kosong dan tak hidup karna memikirkan hari-harinya yang juga tidak hidup akhir-akhir ini.
Jo menghela napas panjang, merasa sesak karna harus menahan diri untuk mendengar suara marah Vany atau pun wajah sebalnya. Sebenarnya ... apa sih yang dilihat Jo dari Vany sampai-sampai ia tidak bisa menghilangkan perasaannya dengan mudah? Vany tak pernah memberikan senyum padanya. Cewek itu bahkan tidak pernah mengulas senyum pada Jo sedikit pun.
Jo jadi heran sendiri, mengapa dirinya malah menyukai cewek galak itu? Apa yang dilihatnya? Dalam hati, Jo tertawa miris karna tidak tahu apa-apa tentang perasaannya. Ingin sekali Jo bertanya pada perasaanya sendiri, 'Hey, perasaan! Kenapa lo bisa dengan gampangnya ngasih cinta buat Vany, sih?' namun, Jo malah langsung tertawa getir.
Apa bisa?
Ingin sekali Jo menghilangkan rasa sesak saat melihat wajah sendu Vany akhir-akhir ini. Namun, ia hanya dapat melihat cewek itu dari jauh. Salahkan saja Jo karna gampang menyerah. Ia tahu ini salahnya karna tidak mau berjuang, dan bingung dengan perasaanya sendiri.
Akhir-akhir ini, Jo selalu membanding-bandingkan Vany dengan Euis, mengatakan bahwa, 'Hey! Euis lebih baik dari Vany! Dia masih punya mahkota.' namun, disaat bersamaan hatinya berkata, 'Hey! Lo tuh sayang sama Vany, bukan tubuhnya doang!'
Dan, mana yang harus Jo pilih diantara keduanya? Ini membingungkan, menyakitkan, dan menyesakan dadanya. Tidak adakah pencerahan yang dapat membuat pikirannya jernih dan tidak bingung lagi?
Jo menghela napas panjang, bersamaan dengan sebuah botol yang terlempar kearahnya. Cowok itu mengerenyit, dan melihat si pelempar yang ternyata adalah Red. "Thanks."
Red mengangguk sambil berkata, "Yoi!"
Jo kembali terdiam tanpa menyentuh minuman yang diberikan kawannya.
"Lo lagi absen minum bir?" tanya Red.
Jo menggeleng menjawab pertanyaan Red. "Nanti juga minum, kok."
Red mengangguk mengerti dan meminum langsung dari botol yang sudah dibukanya. "Masalah apaan?"
Jo mengerenyit bingung mendengar pertanyaan Red. "Apaan?"
"Gue tau," kata Red, "Lo lagi punya masalah, kan? Cerita aja, mungkin gue bisa kasih solusi?"
"Apaan sih? Enggak ada, juga."
Red terkekeh pelan. "Gue tau lo, Jo. Kalo lo lagi ngelamun gitu, lo pasti lagi ada masalah. Kenapa? Inget sama Ridwan?"
Jo berdecak dan mengembuskan napas panjang. "Bukan." katanya, "Emang jelas banget ya kalo dedek lagi galau?"
Red menatap datar pada Jo yang berkata sok imut barusan. "Serius, Jo. Siapa tau gue bisa bantu ngasih saran?"
Jo mendengus, merasakan perasaan sesak yang kembali dirasakannya. "Apa sejelas itu?" tanyanya lebih pada diri sendiri, "Kalo sejelas itu, kenapa Vany bahkan gak bisa liat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]
Conto[Badass Series] #9 dalam short story, 28 April "Lo bisa gak sih, gak nyusain idup sempurna gue?" "Kagak." "Ngeselin." "Gue denger loh, cantik." "Lo denger gue ngomong 'ngeselin', tapi gak denger gue ngomong 'selesein'." "Denger, kok," kata Jo yang m...