Cewek itu butuh bernapas. Sudah sejak tadi ia hanya duduk diam dengan wajah pucat pasi yang kentara. Ke khawatirannya pada Euis barusan hilang sudah, dan digantikan dengan kepanikan yang mengganggunya.
Disampingnya, Jo duduk santai dengan wajah biasanya, terlihat acuh menanggapi masalah tersebut. Kelihatan sekali bahwa cowok itu menantang maut yang kini ada dihadapan mereka.
Ya. Dihadapan mereka, kini terdapat algojo yang siap menghukum Vany kapan saja karna telah memasukan laki-laki kedalam rumah kontrakannya.
Vany panik! Otaknya mencari kata-kata balasan yang akan ia gunakan untuk menjawab pertanyaan sang jaksa.
Didepannya, duduk orang yang sudah sedari bayi dikenal Vany, sedang menatapnya dengan tatapan mengintimidasi yang menusuk. "Jadi ..., siapa cowok itu?" tanyanya sambil memperhatikan Jo dengan salah satu alis yang menaik keatas. "Cowok baru kamu?"
Dengan cepat, Vany menggeleng, kemudian mengangguk. Apasih? Vany tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ah, anggaplah itu sebagai jawaban mungkin atau bisa jadi.
"Apasih kamu? Gak jelas banget, deh!"
"Vany calon istri saya, Tan."
Vany melotot. Ia menoleh dengan cepat pada Jo yang kini nyengir lebar tanpa dosa. Vany menelan ludahnya. Ah, ia harus siap-siap untuk mendapat berbagai pertanyaan lagi. Bagaimana bisa Jo memperkenalkan diri sebagai calon suaminya?! Vany kan tadinya pacaran sama Fares. Gila! Gila! Bisa-bisanya Jo berkata seperti itu didepan Bundanya.
Ya. Yang membuat Vany panik dan pucat pasi adalah Bundanya sendiri.
Bundanya yang kini duduk disofa sebrang, menatap Jo dengan alis yang berkerut. "Hah?" tanyanya, tidak mengerti. "Kamu calon suami anak saya?"
Masih nyengir lebar, Jo mengangguk menjawabnya. "Iya, Tan."
Bunda berkedip. Ia menatap pada Vany dengan alis yang berkerut. "Kamu putus sama Fares? Kapan? Kok bunda gak tau, sih? Emangnya kalian putus karna apa? Kenapa gak koling-koling Bunda, sih?"
Vany menelan ludahnya. Dirinya harus menjawab apa?
"Vany putus sama Fares kemarin, Tan," jawab Jo dengan cengiran lebarnya, membuat Vany ingin menendang wajah itu sampai tak terlihat lagi dimatanya. Dan saat Jo berkata, "Dia putus karna lebih milih saya," bola mata Vany terasa akan keluar dari rongga matanya karna melotot terlalu lebar.
Sang Bunda menatap Jo dengan alis berkerut. "Hah?" tanyanya heran, kemudian beralih menatap pada Vany. "Beneran, Van? Kamu putus sama Fares karna kamu lebih milih cowok lain?"
"Bener, Tante." lagi-lagi, yang menjawab pertanyaannya adalah Jo, "Vany putus sama Fares karna Vany gak cinta sama Fares. Dan karna Vany cintanya sama saya, Vany lebih milih saya."
Gila! Jo benar-benar gila! Bagaimana bisa cowok itu berkata seenak udelnya dan tak memikirkan nasib Vany? Dengan mata yang makin melotot, Vany menelan ludahnya dengan susah payah. Jantung Vany berdentum dengan sangat cepat, membuat telapak tangannya berkeringat dingin. Oh, Vany tidak tahu bagaimana nasibnya nanti.
Bunda masih mengerutkan alisnya. Masih terlihat berfikir. Pandangan Bunda kemudian beralih pada Vany, membuat cewek itu pucat bukan main. Tiba-tiba, alis Bunda makin bertaut, dengan tatapan yang sedikit terlihat khawatir pada Vany. "Van? Kamu sakit? Muka kamu pucet banget, sayang."
Mata Vany menatap liar ke segala arah. Matanya berkedip dengan tak tenang, dan napasnya sedikit memburu. Vany sekarat! Dia bukan hanya sakit! Tapi dia sekarat! Apa komentar Bunda tentang ini? Oh, Vany ingin semua ketegangan ini cepat berakhir.
"Oh iya!" Jo berseru tiba-tiba. Cowok itu langsung menatap khawatir pada Vany. "Tadi Vany asmanya kambuh, Tan! Badan dia tadi panas. Tadi pagi, banget."
Bunda terlihat mengerjap. Ia menatap Vany dengan tatapan khawatir yang sama seperti tatapan milik Jo. "Serius, Van?!" pekiknya khawatir. Bunda berdiri dengan cepat dari duduknya, lalu menghapiri Vany dan langsung merangkulnya. "Kamu kenapa gak istirahat dulu, sayang?" tanyanya dengan alis mengkerut khawatir. Bunda menghela napas panjang saat Vany hanya diam dan menggigit bibir bawahnya saja. "Bunda gak masalahin kamu pacaran sama siapa aja, kok. Selama dia sayang dan jaga kamu, Bunda oke-oke aja. Gak ada kriteria apapun buat jadi menantu Bunda. Bunda gak akan marah, sayang. Udah, jangan dipikirin, ya? Nanti kalo kamu tambah sakit gimana?"
Vany langsung menghela napas lega. Bunda nya memang tahu banyak. Bahkan, apa yang menjadi kekhawatiran Vany pun, ia mengetahuinya dengan jelas. Huh, senangnya punya ibu yang pengertian. Vany melirik pada Jo dengan senyum terbaiknya.
Jo membalas senyum Vany.
"Yaudah, kita ke kamar kamu ya? Kamu istirahat aja dulu, oke?" tanya sang Bunda, kemudian berdiri dan memapah Vany kearah kamar. Di perjalanan, Bunda menepuk pundak Vany dengan pengertian. "Udah jangan terlalu dipikirin! Bunda gak akan marah, kok. Lagian, dia lebih ganteng dari Fares. Wajar kalo kamu lebih milih dia."
Vany hanya terkekeh canggung, tanda bahwa dia tidak lagi memikirkannya. Yang Vany pikirkan hanya satu~
Mata sendu Jo saat membalas senyumnya barusan.
♬ ♬ ♬
Mata sendu itu tergerak menatap silaunya langit dipenglihatannya. Bibirnya melengkung, membentuk sebuah senyum sedih. Kepalanya kemudian menunduk, dan menggeleng.
Jo kemudian kembali menyapu halaman rumah Vany dengan pelan. Jika saja Bunda Vany tidak menyuruhnya, ia tak akan mau menyapu seperti ini. Ia akan menyewa pembantu, atau tukang sapu-sapu. Tapi ..., karna disini ada sang mertua, ia tak mungkin melakukan hal tersebut. Kan Jo harus menjadi menantu yang baik.
Tidak mungkin kan ia menolak pada mertuanya?
Ngomong-ngomong soal mertua ..., Jo tak pernah memikirkan hal tersebut. Ia tak pernah memikirkan hal-hal yang sudah agak berbau serius seperti ini. Dulu, saat ia berpacaran dengan wanita lainnya, ia sering sekali disuruh bertemu orangtua sang wanita. Tapi, Jo menolaknya karna malas. Malas ditanya ini-itu. Namun, saat Ibunda Vany datang, entah mengapa, ia ingin sekali meng-akrabkan diri dengan beliau.
Ibunda ...?
"Duh, nyapu kok melamun?"
Suara itu membuat kepala Jo menoleh ke belakang, dan menemukan Ibunda Vany di daun pintu. Jo membalik badannya, ia tersenyum pada Bunda Vany, dan sedikit mengangguk sopan. "Hai Tante!"
KAMU SEDANG MEMBACA
JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]
Short Story[Badass Series] #9 dalam short story, 28 April "Lo bisa gak sih, gak nyusain idup sempurna gue?" "Kagak." "Ngeselin." "Gue denger loh, cantik." "Lo denger gue ngomong 'ngeselin', tapi gak denger gue ngomong 'selesein'." "Denger, kok," kata Jo yang m...