Red melotot dengan alis yang bertautan. "Vany?"
Jo mengangguk pelan. "Gue galau karna dia."
"Ko-ko-kok bisa?" tanya Red gagap, "Ke-ke-kenapa bisa tiba-tiba gitu? Euis gimana?"
Jo menggeleng kemudian terkekeh. "Iya ya? Kenapa bisa tiba-tiba gini? Kenapa gue bisa tiba-tiba jatuh cinta sama dia?"
Red mengerjap, menatap sendu wajah kawannya yang saat ini mendongak menatap langit malam dengan tatapan kosong. "Jo ..."
Jo menurunkan wajahnya, dan menggeleng entah untuk apa. Ia mendesis. "Gue pengen banget bunuh Fares."
"Cemburu gak gitu juga, kali," kata Red sambil mengerenyit.
Red tidak tahu apa-apa. Red tidak tahu bahwa hati Jo sesak atas pengakuan Vany beberapa hari yang lalu. Rasa marah, benci, dendam dan juga sesak bercampur menjadi satu. Fares sangat berengsek. Kenapa cowok brengsek itu selalu saja mengambil orang-orang yang dicintainya? Jo kembali mendesis. Kapan ia bisa membunuh Fares? Ingin sekali Jo memusnahkan cowok sialan itu.
"Jo, Vany udah punya cowok, udahlah lupain aja!" ujar Red, membuat dada Jo makin bergejolak. "Katanya, Vany bener-bener sayang sama Fares, begitu juga sebaliknya."
Rahang Jo mengeras, giginya beradu kencang dan bergemeletuk didalam mulutnya. Lupain? Bagaimana bisa kawannya itu mengatakan hal segampang dan sesadis itu? Dan ..., apa tadi? Bener-bener sayang? Jo makin mendesis dan emosinya makin memuncak. Urat-urat mulai menonjol dipelipisnya, mengartikan bahwa Jo sebentar lagi akan meledak.
Tidak ingin melukai sahabatnya, Jo langsung saja membanting gitar milik Roy yang baru dibeli, membuat Red berjengit saat melihat gitar dan botol minum itu sudah berada ditanah dengan keadaan yang mengenaskan. Jo langsung berdiri dari duduknya dengan amarah meluap-luap. Ia menendang kursi yang tadi didudukinya sampai terdengar suara mengerikan saat kaki Jo dan kaki kursi itu bersentuhan.
Belum cukup meluapkan emosinya, ia memukul tembok dengan kencang dan berteriak penuh emosi, membuat buku-buku jarinya mati rasa karna bertabrakan dengan benda mati yang keras.
Jo sudah hilang kendali ...
Red tertegun melihatnya. Dengan cepat, ia berdiri dibelakang Jo yang masih saja meluapkan kemarahannya pada tembok yang tidak bersalah. "Jo, jangan sakitin diri lo! Pukul gue, Jo! Lawan gue!"
Jo tidak menggubris perkataan Red, dan terus menerus memukul tembok sampai membuat beberapa serpihan milik tembok itu jatuh ke tanah.
Dua sahabat Jo yang lain datang saat mendengar teriakan penuh emosi dari Jo, dan juga karna suara pukulan kencang dari tembok.
Buku-buku jari Jo mengeluarkan darah, begitupun telapak tangan Jo terasa sakit karna kukunya yang ditekan terlalu kuat. Namun, ia terus saja memukul tembok yang sudah retak dan sedikit berlubang itu.
Tidak tega melihat kawannya yang sangat kalut, Red menarik kawannya dengan kencang. Membutuhkan tenaga yang kuat sampai Jo tidak memukul tembok lagi, dan langsung menarik kerah kaos milik Red.
Rahang Jo terus mengeras, napasnya memburu dengan kasar, matanya berkaca-kaca saking marahnya, wajahnya memerah, dan urat-urat terlihat menonjol dari pelipis cowok itu. "Kenapa?" geramnya sambil memejamkan mata, meredam emosinya. "KENAPA HARUS DIA?!"
"Tenang, Jo!" kata Red, "Ceritain ke kita!"
Jo terus memejamkan matanya, menormalkan napasnya yang tersenggal kasar. Ia kemudian mengembuskan napas panjang, dan matanya terbuka dengan sorot kesedihan yang mendalam. "Kenapa gue harus cinta sama dia, Red ...?" tanyanya lirih, "Kenapa ...?"
Red mengembuskan napas panjang, dan menatap wajah Jo yang kini terlihat menyedihkan dimatanya. "Lo gak bisa nyalahin cinta, Jo. Bukan cinta yang salah."
"YA TRUS GUE HARUS GIMANA?!" teriak Jo dengan bahu yang tiba-tiba melemas, berbeda dengan suaranya yang sarat akan emosi. "Gue harus gimana, Red?"
"Apa yang bikin lo sebingung ini, Jo? Apa yang bikin lo sampe emosi gini karna ngasih cinta lo sama Vany?"
Jo terdiam. Napasnya kembali kasar namun ada getaran saat ia menghirup oksigen. Jo menggeleng, tidak ingin terbawa emosi lagi. "Karna Vany pacar Fares, dan ...," jeda, Jo menelan ludahnya.
"Dan?" tanya Red dengan mengangkat sebelah alis.
"Dia udah gak perawan ...," Jo melirih sambil memejamkan matanya, tidak melihat wajah kaget ketiga sahabatnya. "Lo tau kan kalo gue menganggap rendah cewek yang gak perawan tanpa pernikahan? Walaupun gue sering make cewek, yang gue pake cuma jalang."
"Salah." kata Red sambil menggeleng, membuat Jo membuka matanya dengan bingung. "Kita gak benci cewek yang gak perawan, Jo. Kita cuma benci cewek yang ngasih keperawanannya dengan gampang. Sekarang gue tanya, apa Vany ngasih mahkotanya dengan landasan rela karna Fares adalah pacarnya?"
Jo terdiam. Perkataan Red ada benarnya juga. Kenapa Jo tidak memikirkan hal itu dan membiarkan emosi menguasainya? Dan ..., apa Vany melakukannya dengan rela? Jo kemudian memutar otaknya untuk mengingat perkataan Vany tempo lalu.
"Keperawanan gue direnggut paksa sama Fares. Gue ..., gak bisa lepasin orang yang udah ngambil mahkota gue, Jo."
Ah, iya, benar juga. Vany bilang, dia tidak bisa melepaskan Fares karna cowok brengsek itu sudah merenggut mahkotanya. Dan ..., dengan melihat Vany yang terpaksa bertahan dengan Fares membuat Jo menggeleng untuk menjawab pertanyaan Red. "Dia bilang, dia kepaksa."
Red menyeringai, membuat Jo mengerutkan alis. "Nah ..., sekarang, keputusan ada di elo."
Jo terdiam. Keputusan ada padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]
Short Story[Badass Series] #9 dalam short story, 28 April "Lo bisa gak sih, gak nyusain idup sempurna gue?" "Kagak." "Ngeselin." "Gue denger loh, cantik." "Lo denger gue ngomong 'ngeselin', tapi gak denger gue ngomong 'selesein'." "Denger, kok," kata Jo yang m...