Vany kembali berdecak, kemudian mendelik pada Jo yang santai-santai saja melihat gerbang sekolah yang sudah ditutup. "Telat," ujar cewek itu dengan datar dan tanpa ekspresi. Terlihat sekali jika Vany sedang marah sekarang.
Ini pertama kalinya Vany terlambat, dan Vany gugup.
Beberapa pikiran melintas diotaknya jika nanti Vany masuk, dia akan dijewer guru seperti yang sudah pernah Jo alami.
Atau disuruh hormat di tiang bendera? Jo juga kan pernah mengalami hal itu. Apa Vany juga akan kena?
Vany menghela napas. Semoga saja tidak. Guru pasti baik pada murid yang taat peraturan. Berhubung Vany baru kali ini tidak tepat waktu ke sekolah, ia pasti dimaafkan. Vany mengangguk pasti, seolah menjawab pikirannya. "Ya. Gue pasti dimaafin dan gak dihukum," ucapnya yakin. Vany kemudian melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah.
Namun, tangan Jo menahan bahu Vany sehingga cewek itu menghentikan langkahnya dan menatap Jo heran. Cowok itu hanya mengedikan bahunya sekilas. "Walaupun lo baru kali ini ngelanggar peraturan, satu kesalahan hari ini gak akan dimaafin gitu aja," Jo berujar dengan malas. Cowok itu kemudian menarik Vany entah kemana. "Mending kita bolos aja."
Vany melotot. Cewek itu mencoba menarik tangannya dari genggaman Jo, namun percuma. Tenaga cowok memang luar biasa. "Jo ih! Gak mau ah! Nanti kalo gue dialfain gimana? Gue gak mau ya ada angka dirapot gue yang ditempatin dikata 'alfa'. Jo lepas!"
Jo seolah tidak mendengar. Cowok itu terus saja menarik Vany menjauh dari gerbang. Dilihat dari jalan yang mereka lewati kini, Vany dapat menebak jika cowok itu akan ke tempat dimana motor gede milik Jo terparkir. Yaitu, disebuah warung seblak si Ibi.
"Jo! Gak mau ah! Lo pemaksa banget, sih?! Gue marah, nih! Gue suruh tidur diluar, mau?!"
Langkah Jo terhenti. Vany tak tahu apa yang membuat langkah cowok itu terhenti. Entah kalimat gue marah nih! atau gue suruh tidur diluar, mau?!. Tapi yang pasti, langkah Jo terhenti, dan cowok itu langsung berbalik, menatap Vany dengan jengkel. "Iya. Iya. Kita sekolah, tapi masuknya jangan lewat gerbang, tar dihukum!"
Vany cemberut. "Lewat mana dong?! Satu-satunya gerbang keluar-masuk ke sekolah yah yang disana!"
Jo memutar kedua bola matanya. Cowok itu kemudian kembali melangkah sambil menarik tangan Vany kearah lain. "Disono ada tembok. Kita manjat aja, oke?"
Vany melotot pada Jo. Baru saja Vany akan bersuara, wajahnya yang menabrak punggung Jo membuatnya mengaduh, membuat Vany tidak jadi komplain. "Kenapa berhenti-?" sadar apa yang membuat orang didepannya diam, Vany juga ikut bungkam. Cewek itu menatap datar pada cowok yang sedang menyeringai menatap Vany dan Jo.
"Kenapa berhenti?" tanya Fares sambil menyeringai pada dua orang yang tengah menatap cowok itu dengan datar. Fares tertawa, entah menertawakan apa. Cowok itu kemudian menghentikan tawanya, lalu berjalan kearah keduanya.
Jo seolah takut Vany kenapa-kenapa. Cowok itu langsung menempatkan tubuhnya didepan Vany, membuat cewek yang pemandangannya dihalangi itu harus memiringkan kepalanya agar dapat menatap pergerakan Fares.
Fares berhenti, kemudian tertawa dengan kencang. Cowok itu bahkan bertepuk tangan dengan kencang layaknya seseorang yang sedang melihat pertunjukan. "Bagus! Bagus! Sekarang apa, Jo?" Fares kembali menghentikan tawanya. Cowok itu kemudian menyeringai lebar pada Jo setelah melirik Vany sekilas. "Lo milih ngebongkar semua kebejatan lo?"
Jo hanya diam. Tangan cowok itu kemudian terulur dari belakang, menggenggam tangan Vany dengan erat.
"Gue nunggu sampe jam tiga lebih, Jo. Gue pikir, gue bakal dikasih jawaban dan gak digantung," ujar Fares, kemudian menyimpan tangan kanannya pada dada kiri miliknya sendiri. Wajahnya menampakan ekspresi sakit hati yang berlebihan. "Gue kecewa, Jo," katanya, kemudian kembali tertawa layaknya orang gila. "Kenapa sih, lo? Gak ada kuota or pulsa buat ngabarin gue, hah?"
Rahang Vany mengeras. Marah akan sikap Jo yang hanya diam saja direndahkan oleh Fares. Cewek itu berdecak. "Gue yang gak mau pisah sama Jo! Lo apaan, sih? Udah jadi mantan juga masih aja ngatur-ngatur idup orang."
"Stt," Jo mendesis pada Vany, menyuruh cewek itu diam.
Namun, Vany sudah tak terima akan kelakuan Fares yang sok benar. Cewek itu kemudian berdecak, lalu menarik tangan Jo yang mengenggam tangannya. "Ayo, ah!! Jangan disini! Gerah, tau gak? Kita bolos aja, deh!"
"JO PEMBUNUH!"
Langkah keduanya terhenti.
Vany mendengus, kemudian berbalik dan menatap Fares dengan datar.
"Dia pembunuh, Vany!" Fares berkata kembali dengan menatap Vany tajam. Jari telunjuk cowok itu diarahkan pada Jo yang hanya diam ditempat. "Dia udah ngebunuh bokapnya sendiri! Dari kecil dia udah jadi pembunuh! Dia dibuang sama nyokapnya yang pelacur! Dia cuma noda, Vany! Dia itu sampah masyarakat yang harusnya ada dibalik jeruji penjara! Dia-"
"DAN LO LEBIH BURUK DARI SAMPAH!" Vany balas berteriak dengan sekuat tenaga. Dadanya naik turun dengan tempo napas yang kasar. Matanya menatap Fares dengan benci, membuat cowok itu terdiam. "Lo lebih buruk dari sampah! Bahkan, hal yang lebih buruk dari sampah gak bisa disamain sama lo! Lo adalah yang terburuk dari yang paling buruk! Dan lo juga sampah masyarakat yang harusnya ada dibalik jeruji penjara! Sadar diri, Fares! LO NGEBUNUH ORANG JUGA, BRENGSEK!"
Dan hening.
Vany tahu. Hanya kali ini ia pernah berkata sekasar itu. Berteriak sekuat tenaga itu. Marah dengan wajah sedemikian murka itu.
Vany sangat murka. Kemurkaannya yang sudah terkumpul dari dulu baru dapat Vany luapkan sekarang pada Fares.
Sesama orang bejat, seharusnya jangan berteriak bejat.
Jika kebejatan yang dilakukan oleh orang yang berteriak bejat itu terungkap, si orang bejat yang berteriak bejat itu takkan bisa berkutik.
Seperti Fares saat ini.
Napas Vany masih terengah marah. Matanya kini berkaca-kaca, kemudian mengeluarkan air mata. Vany menelan ludahnya dengan pahit. "Lo udah ngerenggut sesuatu yang berharga bagi gue, Res. Satu-satunya makhota yang gue punya ...," Vany mengedip beberapa kali, kemudian menunduk. "Apa perlu gue cium kaki lo biar lo gak ngerenggut lagi sesuatu yang berharga bagi gue?"
Suasana kembali hening.
Kedua cowok itu hanya menatap Vany yang menangis dengan bahu bergetar. Cewek itu kemudian mengeratkan genggaman tangannya dan Jo. "Jo, gue pengen pergi dari sini."
Jo hanya mengangguk, kemudian merangkul Vany. Mereka kemudian berbalik dan melangkah pergi.
Meninggalkan Fares dengan keheningan yang dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]
Short Story[Badass Series] #9 dalam short story, 28 April "Lo bisa gak sih, gak nyusain idup sempurna gue?" "Kagak." "Ngeselin." "Gue denger loh, cantik." "Lo denger gue ngomong 'ngeselin', tapi gak denger gue ngomong 'selesein'." "Denger, kok," kata Jo yang m...