7 - Cup

3.3K 245 5
                                    

Jo yang sedari tadi melihat pergerakan Vany mengerutkan alis. Ia menatap cewek didepannya dengan perasaan heran bercampur khawatir. Tapi, Jo tetap pada pendiriannya. Ia tetap ngotot ingin merokok.

Vany kembali terbatuk. "Jo! Matiin atau gue mati disini?"

Jo mengangkat sebelah alisnya. "Drama beud idup lo. Tinggal keluar aja, apa susahnya?"

"Ih ..., uhuk, uhuk, alay banget ngomong lo." kata Vany disusul dengan batuknya yang makin parah. "Gue keluar!"

Jo mengerjap. Ia menatap punggung bergetar Vany yang menjauh keluar kelas. Merasa bersalah sekaligus khawatir, Jo mematikan puntung rokok tersebut pada permukaan meja, dan mengejar Vany keluar kelas. "Van!" serunya melihat Vany makin menjauh. Ia berlari, menyusul Vany yang malah menuruni tangga ke lantai satu.

Namun, saat ia merasa akan dekat dengan Vany, ia malah melihat punggung cewek itu terpaku ditempat. Ia mendekat. Namun, saat itu juga Vany berbalik, menyimpan jari telujuknya dibibir, dan kembali menghadap ke depan.

Penasaran, Jo pun melanjutkan jalannya dengan perlahan. Ia diam disisi Vany, dan membeku saat mendengar sebuah percakapan yang sama dengan apa yang Vany dengar.

"... Jo itu ..., cuek banget. Aku gak suka." kata cewek yang sangat Jo ketahui suaranya, Euis. Jo terdiam. Tidak ada niatan untuk mendatangi sang penggosip.

"Hmm ...," balas lawan cowoknya, yang tak lain adalah suara Fares, "Vany juga gitu. Dia juga cuek banget."

Vany dan Jo terdiam. Terus mendengarkan percakapan yang kedua orang itu buat.

"Trus, luka ini karna apa? Karna ngebelain dia?"

"Iya. Dia dikerjain sama pacar kamu. Tapi ..., dengan gak tau dirinya Vany malah gak berterima kasih udah aku belain."

"Aku juga kesel sama Jo. Masa dia lebih milih bareng Vany daripada aku?"

Tangan Jo mengepal, giginya bergemeletuk, tubuhnya bergetar menahan amarah. Ia menatap tembok penghalang kedua orang yang sedang membicarakan dirinya dan Vany itu dengan nyalang.

Seumur hidupnya, Jo memang selalu dibicarakan jelek oleh khalayak umum. Namun, tak pernah ia dibicarakan jelek oleh orang yang telah dekat dengannya. Apalagi orang yang membicarakannya berstatus 'pacar Jo'. Namun, ia tetap ditempatnya, masih ingin mendengar apa yang akan dibicarakan kedua orang tersebut selanjutnya.

"Iya, kayaknya, mereka selingkuh deh dibelakang kita."

Selingkuh? Jo tersenyum kecut. Yang ada, elo yang selingkuh, bangsat! Selingkuh sama perek yang kelewat murah itu.

"Hm? Selingkuh? Masa sih? Jo gak mungkin selingkuh dari aku. Dia kan gak bisa ngelepasin aku."

Ha! Lo pikir? Jo tersenyum sinis dengan tangan terkepal kuat. Liat tar malem! Gue bakal mutusin lo!

"Kamu percaya banget ya sama pacar kamu?"

"Hm ..., soalnya, Jo dulu ngelindungin aku banget kalo dibully. Dia selalu nolong aku. Makanya, aku mau sama dia. Dan kalo dia putusin aku ..., aku sama siapa dong?"

"Haha. Kode keras nih ye?"

"Eh? Kode keras apa?"

"Hahaha. Tenang aja, kalo Jo mutusin kamu, aku bakal gantiin posisi dia buat lindungin kamu, kok."

"Beneran? Trus, Vany?"

"Gampang. Dia cinta banget sama aku. Aku yakin, dia rela lepasin aku demi kebahagiaan aku."

Dan saat itulah, Jo mendengar Vany tersenyum kecut. "Siapa bilang?" tanyanya lebih kepada diri sendiri. Karna didetik selanjutnya, Vany kembali mendengarkan percakapan mereka.

"Oh ya? Kamu gak bohong, kan?"

"Enggak. Kamu tenang aja."

"Eum ..., kenapa gak sekarang aja?"

"Hah?"

"Kenapa gak sekarang aja kita lepasin mereka?"

"Hahaha. Ayo aja sih."

Jo menggeram. Sudah. Ia sudah tidak tahan dengan pembodohan ini. Dan ia sadar apa yang Red katakan tempo lalu.

"Sekali-kali, lo lamain diem disekolah deh Jo."

Jo menatap Red heran. "Maksudnya?"

Red mengedikan bahu, dan tersenyum. "Karna kadang, 'lamain diem disekolah' itu bisa nambah 'ilmu pengetahuan'."

Red seolah mengatakan, 'Karna lo susah dibilangin, liat aja sendiri!'

Jo kembali menggeram. Ia melangkah sekali, namun, Vany dengan cepat berbalik dan menahan tubuhnya. "Minggir!" desis Jo.

Vany menggeleng, seolah mengatakan dengerin-dulu-bego-!

"Ming--hmph."

Omongan Jo terpotong saat Vany malah menutup mulut Jo dengan kencang menggunakan tanganya. Namun, dengan mudah cowok itu menepis tangan Vany. "Diem dulu, Jo! Bentar aja!" serunya dengan berbisik.

"Gue gak bisa." kata Jo. Ia menepis kembali tangan Vany yang akan menutup mulutnya lagi. "Gak!"

Dan teriakan itu terlalu kencang. Vany mendesis. "Lo bego ...,"

"Gue gak peduli." kata Jo, lagi-lagi menepis tangan Vany yang akan kembali menutup mulutnya. "Lo bisa --hmmph."

Jo sukses bungkam dengan apa yang dilakukan cewek itu. Pasalnya~

Vany menempelkan bibirnya dibibir Jo.

Hanya menempel. Tidak lebih. Namun dengan sukses membuat laju kerja otak Jo terhenti, jantung Jo berdetak cepat, juga napas cowok itu yang ikut terhenti.

Dengan laju kerja otaknya yang terhenti, Jo malah menyeringai, dan melingkarkan tangannya pada pinggang Vany, membuat cewek itu melotot kaget. Jo malah menutup matanya, kemudian mengecup bibir Vany lembut, dan kembali membuka matanya. "Kalo lo nolak atau mukul gue, gue teriak."

Vany makin melotot. Namun, Jo mengartikan hal tersebut sebagai jawaban 'ya' dari Vany. Dan Jo, memulai aksinya dengan terus mengecup bibir Vany.

Jangan salahkan Jo. Salahkan lah rokok, kesempatan, juga Vany.

Sebuah asap ..., tidak mungkin ada tanpa api, kan?

Cup

JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang