Jo kembali menghela napas panjang. Cowok itu menatap tanpa kedip pada Vany yang tidur dipelukannya. Tangan Jo terulur, mengusap rambut Vany dengan gerakan lembut agar tidak membangunkan pacarnya.
Jo menatap sendu pada wajah tidur Vany. Tangan cowok itu kini berpindah dan mengusap pelan pipi putih mulus Vany.
Cewek itu benar-benar sempurna. Dan Jo mengakui julukan perfect pada diri Vany.
Cewek itu pintar. Dalam hal akademik mau pun non akdemik. Memiliki otak encer, dan tambah pintar jika rajin mengerjakan sesuatu hal. Nilai B tak pernah Vany terima. A- saja mungkin hanya sekali seumur hidup diterimanya.
Vany juga cantik. Wajahnya putih mulus dan memiliki bentuk rahang yang indah. Hidungnya mancung dan Vany memiliki bibir feminim yang tipis. Matanya indah dengan ujung mata yang runcing.
Vany juga memiliki rambut yang lurus dan hitam. Cewek itu tidak berponi, namun rambut panjang disisi wajahnya terlihat membuat Vany makin cantik.
Tubuh Vany modis. Dengan tinggi yang pas untuk wanita umumnya, Vany lebih dari layak untuk menjadi seorang model. Kakinya yang panjang, pinggang langsing yang membentuk.
Oh, jangan lupakan juga dada Vany yang tidak tepos.
Jo mendengus saat otaknya melaju sampai sana. Cowok itu kemudian menyimpan tangannya di lengan atas Vany, dan diam disana. Mata Jo tetap terfokus pada wajah tenang Vany. "Lo cantik, Van, pasti banyak cowok yang mau sama lo." ujarnya dengan lirih, "Gue sayang sama lo. Tapi, gue tau, hal ini, bakal bikin lo malah ngejauh dari gue. Hal ini, bakal bikin lo ngelepas genggaman tangan erat yang gue bikin. Hal ini, bakal bikin lo jijik sama gue. Lo bakal benci sama gue. Persis dengan apa yang nyokap gue lakuin ke gue-"
Napas Jo tercekat. Mata yang sedari tadi ia tatap dengan sendunya, terbuka secara mengejutkan. Menatap Jo balik dengan sorot dalam.
Vany terbangun –atau tak pernah tidur saat Jo masih berucap. Cewek itu menatap Jo dengan alis yang melengkung sedih. "Apa gue gak berhak tau apapun masalah lo, Jo? Kenapa lo gak mau terbuka sama gue, sih?"
Jo terdiam. Tetap menatap mata Vany dengan sorot sendunya. Jo hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya ada dipikiran Vany? Apa saja pertanyaan yang berkecamuk dalam otak cewek itu? Jika tentang hal pribadi milik Jo, jangan salahkan cowok itu jika ia tak mau menjawabnya.
Mata Vany kini berkaca-kaca. Cewek itu kemudian membenarkan posisi tidurnya agar dapat menggenggam tangan Jo yang ada dikasur, sedangkan tangan Vany yang satunya lagi menggenggam tangan Jo yang berada di lengan atasnya. "Kalo lo ngasih tau semuanya, gue gak bakal lepasin genggaman tangan lo. Gue juga gak akan benci sama lo. Gue, mungkin bisa ngerti apa yang jadi permasalahan lo. Gue juga gak akan ngejauh dari lo, Jo. Tapi ...," jeda, Vany mengangkat wajahnya, menatap Jo dengan matanya yang memerah karna menangis. "Kalo lo diem, dan berencana ngejauhin gue dengan seenaknya, gimana gue bisa ngertiin lo?
"Kalo lo gak cerita sama gue yang sebenernya, gimana gue bisa tau apa yang lo takutin? Gimana caranya gue bisa tau apa yang bikin lo jauhin gue? Gue gak ngerti, Jo. Lo tuh mau jagain gue, tapi, lo juga ngorbanin gue ke Fares. Lo pengen gue bales genggaman tangan lo, tapi gimana caranya kalo lo malah ngelepasin genggaman erat yang lo buat?" Vany berujar dengan lirih. Cewek itu terisak kencang dihadapan Jo yang masih saja diam terpaku.
Jo tidak mengerti apa yang Vany katakan. Cewek itu, berkata seolah-olah tahu apa yang dikatakan Jo pada Fares. Apa Fares sudah mengatakannya? Tapi, lewat apa? Ponsel Vany ada digenggaman tangan Jo. Satu-satunya cara untuk memberitahu Vany hanyalah dengan secara langsung.
Namun, Vany sedari pagi bersama Jo. Melakukan banyak hal yang seolah mengikat Jo agar tidak lari kemana-mana.
Suatu pemikiran membuat hati Jo tertampar. Cowok itu menatap dengan tegang pada Vany yang masih terisak kencang. "Van, lo gak mungkin, kan?" Jo bertanya dengan berharap cemas.
Namun, anggukan dari Vany kembali menamparnya, membuat Jo membeku ditempatnya. "Gue nguping semuanya, Jo. Apa yang lo omongin sama Fares diatap itu, gue denger."
Vany mendengarnya.
Kesimpulan yang amat jelas bagi Jo.
Alasan mengapa Vany menjebaknya berlama-lama bersama cewek itu.
Alasan mengapa Vany menangis.
Alasan mengapa Vany meminta Jo terbuka.
Alasan mengapa Vany belum tidur.
Vany tidak tidur karna Jo. Cewek itu pasti takut jika saat Vany terbangun, Jo sudah tak ada disisinya.
Vany meminta Jo terbuka karna cewek itu sudah mengetahui sesuatu yang Jo sembunyikan.
Vany menangis untuk Jo. Mengasihani nasib buruknya karna harus menjauhi cewek yang ia cintai karna sesuatu yang Jo sembunyikan.
Vany menjebaknya karna tahu Jo harus mengatakan pada Fares jika cowok itu sudah tak bersama Vany lagi. Tempo waktunya tepat jam 12 malam tadi. Namun, Vany mengurung Jo, membuat Jo sibuk dan tak bisa kemana-mana.
Vany tahu apa yang Jo sembunyikan.
Sebuah kenyataan yang membuat Jo tak bernapas lagi. Setitik air mata jatuh dari kelopak mata kanan Jo, disusul yang kirinya, dan Jo langsung menghapus jejak tersebut. Tangan Jo yang tadinya tidak membalas genggaman tangan Vany kini bergerak untuk membalas dengan eratnya. "Lo tau semuanya ...," Jo melirih, kemudian menatap Vany dalam-dalam. "Lo tau tapi lo masih genggam tangan gue. Lo masih mau deketan sama gue. Lo gak ngehindarin gue, dan lo malah jebak gue biar sama lo terus. Van ...," jeda, Jo menutup matanya, kemudian membuka matanya dengan air mata yang mengalir kembali. "... kenapa lo mau bertahan sama seorang pembunuh?"
Vany terisak makin kencang. Cewek itu kemudian memeluk Jo dengan erat yang dibalas tak kalah eratnya oleh Jo. "Alasan gue sama kayak lo yang mau aja bertahan sama cewek yang gak virgin lagi, Jo."
Keduanya terisak. Mengasihani nasib masing-masing.
Selalu saja rumit. Mereka selalu saja dihadapi dengan beberapa ranjau yang menjadi penghalangnya.
Sebuah masa lalu yang juga menjadi sebuah rahasia keduanya.
Jo mengeratkan pelukannya, menangis dengan pilu dipelukan Vany. "Gue pembunuh, Van. Dan gue gak nyesel udah ngebunuh bokap gue. Gue gak nyesel ..."
Vany menggeleng. Cewek itu menjauhkan tubuhnya dari Jo. Tangannya terulur untuk mengusap wajah Jo dengan sayang. "Lo emang pembunuh Jo ..., tapi, gue tau, lo nyesel udah ngebunuh bokap kandung lo sendiri."
Jo menggeleng. Ia merutuki air matanya yang terus saja mengalir dikedua sudut matanya. "Gue gak nyesel ..., sumpahnya gue gak nyesel ..."
Bibir Vany bergetar. Cewek itu kemudian menghapus air mata yang kembali mengalir dikedua sudut mata Jo. "Trus ini apa, Jo? Air mata ini apa?" Vany bertanya seolah menyadarkan Jo. "Lo nyesel, Jo ..."
Jo tersedak. Air matanya turun makin deras, seolah mengeluarkan apa yang sudah ditampungnya terlalu lama. Cowok itu memeluk Vany dengan erat. Berharap apa yang dialaminya kini bukanlah sebuah mimpi. Berharap bahwa Vany memang menerimanya dengan tulus.
Jika boleh jujur, Jo memang menyesal.
Jo amat sangat menyesal.
Ia hanya mensugestikan dirinya agar tidak menyesal karna membunuh ayah kandungnya sendiri.
Namun, Jo benar-benar tak sengaja saat itu. Sumpahnya, Jo tidak berniat melakukan hal itu.
Karna sejahat apapun ayahnya, lelaki yang ikut serta membiarkannya ada didunia itu adalah ayahnya.
Ayah kandungnya.
Orang yang setidaknya pernah membahagiakannya saat ia kecil dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]
Short Story[Badass Series] #9 dalam short story, 28 April "Lo bisa gak sih, gak nyusain idup sempurna gue?" "Kagak." "Ngeselin." "Gue denger loh, cantik." "Lo denger gue ngomong 'ngeselin', tapi gak denger gue ngomong 'selesein'." "Denger, kok," kata Jo yang m...