9 - Dua Hal

3.2K 229 0
                                    

Dua hal yang menjadi pikiran Vany saat ini; Fares yang akan berselingkuh, juga Jo yang tadi sore menciumnya.

Hal pertama, memang seharusnya Vany pikirkan. Coba bayangkan! Mana ada orang yang ingin diselingkuhi oleh pacarnya sendiri? Vany manusia, dia memiliki perasaan. Wajar jika ia sakit hati, wajar juga dia merasa marah, sama seperti Jo yang sangat emosi mendengar percakapan tadi sore.

Mengingat kejadian tadi sore, Vany yang sedang berjalan pulang dari super market, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Bibirnya ia kulum dan ia kunyah ke kiri ke kanan. Hal yang kedua lah yang membuat Vany aneh dan heran. Selama hidupnya, Vany memang pernah merasakan sebuah ciuman dibibir.

Vany bukanlah remaja baik-baik.

Ciuman dibibir bukanlah hal yang aneh lagi. Karna cewek itu juga pernah berciuman dengan pacarnya.

Tapi, entah mengapa, saat bibirnya menyatu dengan Jo, ia merasakan sensasi yang berbeda. Bukan nafsu, bukan juga sebuah perasaan jijik. Hanya ..., perasaan tenang dan aman.

Vany menggeleng, menghilangkan pikirannya tentang perasaan yang ia rasakan. Ia kemudian berbelok kekanan, dan sebuah jalan sepi dengan lampu jalan yang remang memenuhi penglihatannya saat ini. Vany mengigit bibir bawahnya, merasa takkan baik jika ia berjalan kearah jalan ini.

Tak ada satu kendaraan pun yang melintas. Bahkan kabarnya, jalanan ini sering dilewati oleh anak gang. Vany jadi takut sendiri.

Entah mengapa perjalanan kali ini terasa lambat dan mencekam. Vany seolah mendengar suara langkah kaki dibelakangnya. Dua? Tiga? Ah, yang pasti, yang mengikutinya lebih dari satu orang.

Vany menengok kebelakang, nampak tiga orang sedang menatapnya terang-terangan, dan memberikan tatapan mengintimidasi pada tas selempangnya. Vany menelan ludahnya, merasa keadaan ini tidak baik.

Ia kemudian mempercepat langkahnya, dan saat itu juga, ia mendengar suara langkah dibelakangnya juga dipercepat. Vany berlari, ia berteriak tertahan sambil memeluk tas selempangnya didada. Sesekali, ia menengok kebelakang, melihat tiga orang tadi masih mengejarnya.

Semakin dekat ...,

Ah, Vany yakin bahwa dirinya serta uangnya tidak akan selamat kali ini. Ia terus berlari, dan tangannya pun Dicekal oleh salah satu dari mereka.

"Mau kemana lo, hah?!" tanya orang yang mencekal pergelangan tangannya, sedangkan yang lainnya hanya menertawakan ketakutan Vany.

Vany gelagapan, cekalan ditangannya sangat kuat, "A-ampun, Pak."

"Pak-Pak emang lu kira kita bokap lu apa?!"

Lagi-lagi, Vany gelagapan. Ia sangat ketakutan, matanya menatap sekitaran dengan nyalang, berharap ada seseorang yang akan menolongnya. "Ma-maaf," katanya terbata, "Ja-jangan rampok saya, Kak, sa-saya tinggal sendirian."

"Alah!" seru salah satunya lagi, "Jangan boong, lo! Siniin, atau kita gak bakal lepasin lo!"

"Udah! Pake aja!" seru yang lainnya, "Lumayan, badannya berbentuk semua. Sayang kalo disia-siain."

Vany makin ketakutan. Ia berontak, berusaha melepaskan tangannya dari cekalan laki-laki dihadapannya ini, "Lepasin! Lepasin gue!! Tolong!!! Siapapun, tolong, gue!! Lepas!!"

Ketiga laki-laki itu malah tertawa kecang.

"Hahahah! Gak akan ada yang nolong lo, disini!"

"Lepasin gue!!!"

"Diem?!" bentaknya, kemudian mencekik leher Vany.

Vany tersentak. Lehernya terasa ditekan dengan kuat, membuat tenggorokannya tercekat, dan napasnya yang ikut tersendat. Ia mengeluarkan suaranya, namun, hal itu malah membuat napasnya menjadi makin tersendat.

Suara deru mesin motor terdengar ditelinganya, dan berhenti tepat dibelakang tubuhnya.

Vany mulai tidak mendapatkan oksigen. Napasnya seolah terhenti, membuat hidungnya seakan dijepit oleh sebuah benda.

"Kalian ngapain?" tanya orang dibelakang Vany. Suaranya ..., sangat familier.

Dan wajah sang sumber suara pun terpampang dihadapannya, sedang mengangkat sebelah alis menatap Vany.

Vany ingin berteriak meminta tolong, namun tak ada satu huruf pun yang keluar dari mulutnya.

"Jo?" tanya orang yang sedang mencekiknya, "Gue dapet cewek, dan mau kita pake."

"Hah?" tanya Jo, menatap orang yang saat ini mencekik Vany. "Lo yakin bakal make dia? Lo berani?"

Gigi Vany bergemeletuk, geregetan karna Jo masih belum mau menolongnya.

"Hah? Lo pikir kita gak berani?" tanya orang yang mencekik Vany, kemudian tersenyum sinis. "Mau dia anak jendral kek, pejabat kek, Presiden kek, atau siapapun, gue gak peduli."

Jo manggut-manggut sambil ber'hm'-ria, membuat Vany yang sudah melemas mulai geregetan sendiri. "Siapapun?"

"Iya." jawab sang pencekik tegas sambil mengangguk mantap.

"Lu mau mati?" tanya Jo, membuat sang pencekik melotot sambil mengerenyit. "Dia cewek gue."

Vany melotot, sang pencekik dan kedua temannya pun melotot. Dengan cepat, cengkraman dilehernya terlepas, membuat cewek itu meluruh ditanah yang dingin sambil terbatuk.

"Ap-apa?!" tanya ketiga orang itu, bersamaan dengan Vany yang meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Lo mau make cewek gue?!" bentak Jo tajam, membuat ketiga orang itu menggeleng kuat. "Yaudah. Sono lu pada!"

Mereka mengangguk, dan berlari dengan kecepatan kilat.

Vany mendongak, menatap Jo yang menatapnya dengan tatapan datar. Cewek itu mendengus. "Hebat juga ya lo bisa ngalahin jendral, pejabat sama Presiden."

Jo mengedikan bahu, acuh. Ia berjalan kembali ke motornya, dan duduk disana. Ia menyalakan mesin, dan memperhatikan pergerakan Vany yang mulai bangkit dan berdiri sambil menatapnya dengan gugup. "Makasih."

Jo tidak menjawab. Ia hanya mengedikan dagunya kearah jok belakang, menyuruh Vany naik, namun malah Vany balas dengan kerenyitan heran. "Naik! Gue mungkin gak akan jadi pahlawan lo lagi kalo ada apa-apa."

Vany tertegun. Ia menatap Jo sambil mengigit bibir bawahnya. Perkataan Jo terlalu ambigu untuk seseorng yang sudah mengalami insiden disore hari tadi. "Ko-kontrakan gue deket kok--"

"Ck, naik aja apa susahnya sih?"

Vany terdiam. Ia kemudian menunduk, dan mengikuti perintah Jo. "Tinggal belok kanan, ntar sampe, kok."

Jo hanya bergumam tidak jelas, dan mulai menjalankan motornya.

JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang