6 - Jo Matiin!

3.3K 235 2
                                    

Kedua pemuda itu saling bersitatap tajam dengan dua alat pembersih ditangan mereka masing-masing.

Setelah tadi dipanggil ke ruang BK, Jo dan Fares dihadapkan dengan debu-debu yang menempel dijendela sekolah mereka. Yup, mereka diperintahkan agar membersihan jendela yang tingginya melebihi tinggi badan mereka.

Dengan tatapan yang terpaku pada wajah dihadapannya, Jo mengarahkan kemocengnya pada jendela, dimana ia bisa menghilangkan wajah Fares dari penglihatannya. Karna tepat dihadapan mereka berdua terdapat jendela tersebut, jendela transparan yang menjadi benteng antara mereka berdua.

Jo menggerakan kemocengnya, membuat wajah Fares kembali terlihat dipandangannya. Jo mendengus kasar, kemudian melempar kemoceng tersebut kebawah. "Kenapa ya gue harus ditakdirkan ketemu lagi sama bangsat macam lo?"

Fares mengangkat sebelah alisnya, menatap Jo dengan pandangan meremehkan. "Lo pikir, gue mau satu sekolah sama cowok bajingan kayak lo?"

Dengan gigi yang merapat keras, Jo tersenyum miring. "Lebih baik gue yang notabenenya semua orang tau kalo gue bajingan. Dari pada elo, cowok bangsat yang sembunyi dibalik ketek cewek lo."

Fares malah menggunjingkan senyum ngacolnya. "Oh ya? Lo kira gue gitu?" tanyanya, kemudian mengangguk paham. "Padahal, gue emang beneran serius sama Vany."

"Haha," Jo malah tertawa hambar sambil menatap Fares sinis. "Iya! Gue liat banget, astaga! Lo sampe mukul gue karna gue bentak cewek lo, kan?"

Dan saat Fares menatap datar padanya, Jo menyeringai. "Jangan pernah lo ganggu Vany. Dia milik gue."

Jo tersenyum sinis. "Yang pasti ..., gue gak akan ngebunuh dia." dan saat rahang Fares mengeras, Jo menyeringai lebar.

Fares, yang tadinya berniat untuk memecahkan jendela yang menghalangi mereka, diurungkan karna suara berat Pak Nizar--sang Guru BK menginstrupsi.

"Eit! Mau apa kamu Fares? Kerjakan, cepat! Kamu juga Jo! Jangan nyengir-nyengir kuda gitu! Dan, kemoceng kamu kenapa ada dibawah?!"

♬ ♬ ♬

Entah telah berapa kali ia melakukan hal ini didalam hidupnya, namun, hari ini juga --tepat saat pulang sekolah, cewek itu menatap geram pada cowok yang lagi-lagi menyimpan kakinya diatas meja dengan kurang ajar.

Vany tidak mengerti. Ada saja orang macam Jo yang dengan mudahnya menganggap bahwa belajar itu tidak zaman. Padahal, dihitung bulan lagi, Ujian Nasional akan diadakan dan Jo masih saja bermalas-malasan seperti sekarang, "Jo." panggilnya datar, "Gue kasih tau sama lo. Belajar itu penting, dan UN bentar lagi. Lo mikir gak sih? Kalo gue sibuk ngurusin lo, gue kapan belajarnya?"

Jo mendongak, menatap Vany dengan wajah tenangnya. "Ya nanti. Kalo gue ada niat."

"Tapi, kapan niat lo bakal dateng?!"

"Tar, kalo gue mood."

"Ya kapan moodnya?"

"Tar, tunggu gue nganggep belajar itu masih zaman."

"Ya kapan lo bakal nganggep 'belajar itu zaman'?!"

"Yaudah. Tunggu aja hidayah dari Allah. Semoga aja 'belajar' tiba-tiba zaman dikamus gue."

Brak!

Jo berjengit. Ia menatap buku paket yang baru saja dibanting Vany diatas meja, kemudian menatap Vany yang sudah berdiri dan menunjuknya dengan berani.

"Lo!" geram Vany, "Lo gak pernah ngehargain segala sesuatu yang ada disini. Lo selalu aja bilang ini-itu gak zaman! Padahal, hal yang lo sebut 'gak zaman' itu dibutuhin sama orang lain. Diharapin sama orang lain. Dan lo, dengan seenak jidatnya bilang 'belajar gak zaman'? Lo gak mikirin orang-orang yang pengen belajar diluar sana?"

Jo memiringkan kepalanya. Cowok itu menurunkan kedua kakinya, dan ikut berdiri, mensejajarkan pandangannya dengan Vany. "Dan lo, manusia gila kesempurnaan yang gak penah mikir kalo manusia tuh gak ada yang sempurna. Dan diluar sana, bahkan banyak yang didominasi oleh kekurangan." katanya, kemudian tersenyum sinis.

Vany terdiam. Dalam hati, ia membenarkan ucapan Jo padanya. "Ta-tapi ..., itu gak ada hubungannya." katanya pelan.

Melihat reaksi Vany, cowok itu tersenyum sinis dan kembali membanting bokongnya dikursi. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tas sekolahnya, kemudian mengambilnya satu batang, dan menyelipkannya dibibir. "Mending gue ngerokok, ah ..."

Sebelum Jo menyalakan rokok itu, Vany berkata panik, "Jangan dulu! Gue punya asma!"

Jo melirik Vany dengan tatapan malas. Senyum sinis ia sunggingkan, membuat Vany merinding. Dan benar dugaan Vany. Jo yang tadinya sudah diperingati sekarang malah menyalakan batang rokok tersebut.

Vany terdiam. Ia menatap Jo dengan tatapan tidak percaya. "Lo ...," geramnya dengan tangan mengepal dikedua sisi tubuhnya.

Jo tersenyum sinis diantara bibirnya yang terselip ujung puntung rokok tersebut. "Lo pikir, gue percaya sama lo?"

Vany masih saja terdiam. Ia menahan napas saat Jo mengeluarkan asap dari mulutnya. Cewek itu menelan ludahnya berkali-kali, dan bergerak membuka tasnya, mencari inhealer yang biasa ia bawa. Tapi sial, inhealernya tak terbawa.

Vany menggigit bibir bawahnya. Oh tidak. Jantungnya mulai sedikit sesak, membuatnya terbatuk. "Jo, matiin!"

JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang