8 - Gangster

3.5K 241 1
                                    

Dua orang tipe yang Jo tidak sukai didunia ini; tipe orang munafik, dan tipe orang tidak tahu terima kasih. Tipe orang munafik itu mempunyai berbagai macam topeng. Dan tipe orang tidak berterima kasih sering kali membuat orang terluka karna usaha yang mereka lakukan tidak dihargai.

Dan orang yang diketahui Jo memasuki tipe itu; Fares, juga Ibu Jo sendiri. Fares dengan wajah tanpa dosanya disekolah secara langsung mengatakan bahwa cowok itu memiliki hidup sempurna, dan tak pernah memiliki suatu kekurangan dalam dirinya sedikitpun, sama seperti pacarnya, Vany. Dan Ibunda Jo, dengan tidak tahu terima kasihnya malah mengusir Jo dari rumah, padahal, Jo melakukan suatu usaha yang terbilang menguntungkan keluarga mereka.

Jo juga memiliki tipe orang yang ia sukai; orang yang dapat ia percaya, dan orang yang percaya padanya. Seperti ketiga sahabatnya, juga Abangnya.

Sahabatnya dan ketua gang yang sering ia panggil 'abang' yang dengan mudahnya menceritakan segala rahasia yang mereka miliki terhadap Jo, membuat Jo mempercayai mereka yang percaya pada Jo.

Seperti saat ini. Dimana ia dan Sebastian --ketua gang-- sedang menatap langit hitam sambil bernostalgia kecil tentang masa lalu yang suram bagi keduanya.

Tian mengembuskan napas panjang. "Gak kerasa ya, Ridwan udah 2 taun ninggalin kita."

Jo menoleh pada Tian yang duduk disampingnya. Ia tersenyum kecut, dan mengangguk.

"Gue ..., kangen sama dia." Tian kembali bersuara, "Gue kangen tawuran dan mukulin orang bareng dia."

Jo tertawa hambar, merasakan sesak didalam dadanya. "Gue juga," katanya, "Kangen ngalahin dia diarena balap liar."

Tian menoleh, dan tersenyum kecil. "Oh iya ..., kalian berdua deket banget, ya, dulu?"

Jo mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. "Bang!"

"Hm?"

"Waktu itu ...," jeda, Jo menunduk, tidak berani menatap Tian. "Harusnya gue yang kesana. Harusnya gue ikut tawuran bareng dia. Harusnya--"

"Ngomong apaan sih lu, tong?" potong Tian, "Lu pikir, dengan lu ada disana dan ngebantuin adek gue, adek gue bisa balik idup?" tanyanya menohok, membuat Jo terdiam. "Lu pikir lu bisa ngerubah takdir dia? Kagak, Jo! Kita ini cuma manusia yang ditugasin buat menjalankan sekenario Tuhan. Kata 'seandainya' dan 'seharusnya' gak pantes buat kita ucapin. Karna pada dasarnya, kita -para manusia- cuma ditugasin buat menjalankan kehidupan masing-masing."

Jo menggingit bibir bawahnya. Jantungnya kembali sesak saat ingatannya memutar adegan dimana ia tertawa bersama Ridwan --adik Bastian, wakil ketua gang mereka, orang yang membuat Jo bangun dari keterpurukan. Otaknya kembali berputar saat Jo dan Ridwan melakukan balap liar. Jo masih ingat bagaimana cowok itu nyengir sambil berkata 'Jangan kalah ya, lo!' padanya. "Tapi--"

"Gue gak suka kata 'tapi', Jo," potong Tian, "Bukan cuma lo yang sedih disini. Bukan cuma gue yang ngerasa terpuruk disini. Dari dulu, gue pengen banget ngelarang adek gue buat gak ikut gang ini. Tapi, kebanggaan gue ke dia bikin gue pertahanin dia tanpa mikirin lagi konsekuensinya."

Jo tepekur ditempatnya. Lagi-lagi, otaknya memutar saat ia dan Ridwan pertama kali bertemu, saat dimana ia diusir oleh Ibu kandungnya. Ridwan dengan tanpa menyerah terus saja mengajak Jo menapaki kembali dunianya.

Dan saat Jo berhasil kembali melangkahkan kakinya, orang yang bersusah payah merangkulnya itu malah meninggalkannya dengan kenangan pahit yang tersisa.

Punggung Jo berguncang. Ia menelungkupkan wajahnya di antara tangan dan kaki yang mengurungnya. Dadanya sesak, ia terisak kecil disana.

Tian yang melihat itu mengembuskan napas panjang dan merangkul Jo. Menepuk bahu laki-laki itu pelan. "Gue udah nganggep lo adek gue, Jo," katanya, masih menepuk pelan bahu Jo. "Lo keluar dari gang ini, ya?"

Mendengar itu, sontak membuat Jo mengangkat wajahnya, dan menatap Tian dengan tatapan tak percayanya. "Lo becanda, kan bang?"

"Gue serius, Jo," kata Tian menatap mata Jo dalam. "Gue gak mau kehilangan seorang adek lagi. Gue gak mau nanggung derita yang lebih besar lagi. Cukup sama Ridwan. Gue pengen selamatin lo."

Jo terdiam. Namun, sedetik kemudian ia tertawa kencang. "Gak lucu, Bang, sumpah! Akting lo kayak orang serius."

"Gue emang serius, Jo!" ujar Tian tegas, "Lo tau kan, lo udah gue anggap adik?"

Jo terdiam. Ia meneliti wajah abangnya itu, mencari kebohongan walaupun secuil. Namun nihil. Tian benar-benar serius. "Bang, lo tau kan disini tuh keluarga kedua gue? Gue gak bisa keluar dari sini, Bang."

"Lo emang keluar dari gang ini. Tapi, kita tetep keluarga lo. Lo boleh kok main kesini, tapi, enggak dengan ngikutin kegiatan kita." kata Tian seraya menepuk bahu Jo sekali lagi. "Mulai hari ini, lo resmi keluar, Jo."

Jo terdiam. Ia tepekur ditempatnya memikirkan kesehariannya nanti tanpa balap liar, juga perkelahian. Bahkan, ia tak sadar bahwa Tian sudah berjalan menjauhinya.

JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang