[45] Makan

942 75 0
                                    

Hanzel berpapasan dengan Dokter Reza saat ia sedang dalam perjalanan menuju kamar rawat Sheira.

"Hai Hanzel."

"Iya dok. Oh iya, gimana kondisi Sheira?"

Dokter Reza tersenyum. Tipis sekali. Bahkan hanya bisa dilihat dengan mikroskop. "Kalau dibilang baik, sih nggak juga." Dokter Reza menepuk bahu Hanzel. "Doakan yang terbaik aja. Saya pergi dulu."

Hanzel menghela nafas. Apa tidak ada harapan sama sekali? Pasti ada 'kan?

Hanzel berjalan meneruskan langkah yang tadi tertunda. Ia pun sampai di depan kamar rawat Sheira. Entah sudah keberapa kali ia mengunjungi ruangan ini. Cukup lama. Dua bulan lebih sudah. Atau tiga bulan?

Hanzel mengetuk pelan pintu itu lalu membukanya perlahan tanpa menunggu sahutan sang penghuni kamar.

Hanzel tersenyum menyapa suster yang sedang memegang piring berisi makanan untuk Sheira. Suster itu berdiri tepat di samping tempat tidur Sheira.

Tapi Sheira malah terlihat kesal.

"Lo kenapa, Shei?" tanya Hanzel sambil melepaskan tas sekolah (yang dihiasi gantungan kunci pemberian Sheira beberapa bulan lalu) dan menaruhnya di atas sofa.

"Ini, Sheira nggak mau makan." sahut sang suster. Hanzel menoleh ke arah suster lalu mengangguk mengerti.

"Kenapa lo nggak mau makan?" tanya Hanzel sambil menaikkan lengan sweater abu-abunya.

"Gue nggak mau." sahut Sheira ketus.

Hanzel menghela nafas lalu memberi intruksi agar si suster memberikan piring makanan Sheira pada dirinya.

Suster itu mengangguk lalu memberi piring yang ia bawa pada Hanzel.

"Coba saya yang suapin."

Suster itu mengangguk. "Saya permisi dulu ya." Lalu ia pergi meninggalkan Hanzel dan Sheira.

Hanzel menyodorkan sendok yang sudah berisi makanan. Hanzel tidak tau makanan apa itu. Seperti bubur. Makanan rumah sakit. Sheira makan ini setiap hari?

"Shei, lo harus makan." Hanzel tersenyum sambil tetap menyodorkan sendok ke mulut Sheira.

Sheira menyingkirkan sendok itu. "Nggak."

Hanzel menyodorkan sendok itu lagi. Sheira menatap Hanzel kesal lalu menyingkirkan sendok itu lagi sampai makanan di sendok itu jatuh ke lantai.

Hanzel menyerah. Ia menaruh sendok itu di atas piring. "Shei, lo harus makan, kalau nggak makan nanti lo bisa--," Hanzel terdiam. Sialan, dia... salah bicara!

Sheira tertawa kecil. "Kenapa berhenti?" Tawa Sheira terdengar semakin kencang. "Bisa apa? Bisa mati? Bentar lagi juga gue mati."

Hanzel langsung menaruh piring itu dan memeluk Sheira. "Maaf."

Sheira terdiam. Ia memeluk Hanzel. Sama seperti ia memeluk Erza. Rasa hangatnya sama. Sheira mengencangkan pelukkannya. Menggelamkan kepalanya di bahu Hanzel. Air matanya jatuh. Setetes demi setetes. Sampai akhirnya air matanya tumpah.

"Maafin gue Shei." Hanzel mengusap pinggung Sheira. Ia tidak berani mengusap kepala Sheira. Takut, rambut Sheira rontok.

"Lo boleh nangis. Nangis sepuas lo. Jangan pernah lagi lo sembunyiin rasa sakit lo. Lo nggak perlu pura-pura tersenyum lagi. Lo boleh ungkapin semuanya ke gue. Gue sayang sama lo, Shei."

Sheira tersenyum lagi. Tepat dalam tangisnya. Namun, senyumnya kali ini bukanlah senyum palsu. Ini murni.

-tbc-

[1] Limited Time ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang