[40] Gambar

1K 75 0
                                    

Hanzel baru datang tiga puluh menit dari waktu biasanya. Ia baru bisa menjenguk Sheira setelah selesai mengurus beberapa urusan ekstrakulikuler.

Saat ia sampai di depan pintu kamar rawat Sheira, ia mendengar seperti ada suara Dokter Reza di dalam, jadi ia memutuskan untuk mengetuk pintu lebih dulu, agar terlihat lebih sopan.

Hanzel mengetuk pintu di depannya empat kali. Lalu tak lama sahutan pun terdengar. "Masuk aja.."

Hanzel masuk dan melihat Sheira sedang duduk sambil membawa buku. Itu adalah sketchbook yang Hanzel belikan untuk Sheira bulan lalu.

"Hanzel rajin banget ya jenguk Sheira." ujar Dokter Reza.

Hanzel menyengir, "Iya, dok."

"Oh iya, Sheira punya sesuatu buat kamu lho, Hanzel."

Hanzel menaikkan kedua alisnya, "Oh ya? Apa?"

"Ini Zel, gue nyoba." Sheira menyodorkan buku gambar itu pada Hanzel. "Maaf jelek."

"Ah saya pergi dulu ya..." ucap Dokter Reza lalu melambaikan tangan. Ia berjalan melewati Hanzel berbisik sekilas pada Hanzel saat akan keluar. "Nanti, temui saya di luar."

Hanzel sempat bingung lalu ia hanya mengangguk.

Hanzel mengambil buku gambar yang Sheira serahkan padanya lalu melihatnya dan sedetik kemudian ia tampak terpukau. "Ini gue?"

Sheira mengangguk,

"Sumpah? bagus banget. Gue sampai pangling. Gue ganteng banget di gambar lo. Lo juga cantik disini mirip kayak aslinya."

Sheira tertawa kecil sambil menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Lo emang ganteng dari sananya kok."

Hanzel yang masih terpukau melihat gambaran Sheira tidak sadar bahwa Sheira berbicara. Lalu empat detik kemudian ia pun tersadar. "Eh makasih. Tapi gue beneran ganteng banget disini. Lo jago banget. Lo harus lanjutin bakat lo."

"Iya, semoga."

Hanzel melihat gambaran dirinya lagi dengan detail. Lalu ia melihat bercak merah di sudut kertas, seperti tetesan darah. Tapi ia mengurungkan niatnya unruk bertanya. Karena ia tahu itu hanya akan membuat Sheira pesimis.

"I-ni boleh gue bawa pulang?"

Sheira terkekeh. "Boleh dong, tapi bukunya kembaliin ya. Lo ambil kertasnya aja."

Hanzel memeluk kertas itu lalu menyodorkannya pada Sheira. "Minta tanda tangan lo, sekarang gue udah jadi fans lo."

Sheira tertawa lalu memberi tanda tangan di pojok kanan bawah gambarannya. "Lo juga harus terusin bakat nyanyi dan main musik lo ya, Zel."

"Pasti."

Hanzel berterima kasih lagi pada Sheira. Lalu ia tiba-tiba teringat bisikan dokter Reza tadi.

"Shei gue ke toilet sebentar ya."

"Oh oke."

Hanzel menaruh tas dan kertas yang ia bawa di atas sofa.

Hanzel keluar dan melihat ke arah kanan koridor dan mendapati Dokter Reza sedang bersandar di tembok.

"Dok?"

Dokter Reza hampir terkejut melihat Hanzel. "Ohh Hanzel."

"Kenapa Dok?"

"Begini, kamu sebaiknya sering-sering berkunjung kesini ya. Karena kamu udah bisa bikin Sheira semangat lagi, bahkan dia udah mau menggambar lagi. Kamu itu sumber semangat hidup Sheira."

Hanzel tersenyum, "Saya bakal sering-sering kesini kok dok."

"Bagus. Setidaknya Sheira nggak terlalu sedih kalau tau penyakitnya makin parah."

Senyum Hanzel memudar, dadanya sesak. "M-maksud dokter?"

"Kamu, jangan bilang ke Sheira. Sebenarnya, penyakitnya makin parah. Rambutnya terus rontok. Kalau begini---"

"Terus untuk apa semua terapinya? Kemoterapi dan semuanya? Untuk Apa?." Hanzel mengepalkan tangannya.

"Terapi tidak memastikan si pasien bisa sembuh. Kalau begini terus saya takut kalau umur Sheira--"

"Nggak!" Hanzel memotong ucapan Dokter Reza. Tangannya mengepal semakin kuat. "Nggak dok, Sheira bakal sembuh dan hidup bahagia."

Dokter Reza terdiam lalu tersenyum tipis, "Ya, kamu bener." Lalu bergumam kecil. "Semoga."

.
.
Sial, air mata gue, mau jatuh.

»TBC«

[1] Limited Time ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang