Galih menjajarkan langkahnya dengan langkah Gugum sembari sesekali melirik kertas lusuh yang terisi tulisan oleh tinta pudar, Sady sempat menuliskan surat kepadanya dan isinya sanggup membuat Galih kepalang khawatir. Seharusnya Sady tidak perlu menuliskan surat yang isinya mirip dengan surat terakhir ibunya.
Galih tersentak saat Gugum menepuk pelan pundaknya.
"Ada apa?"
"Bukan apa-apa." Galih menyimpan kembali surat pemberian Sady ke dalam saku celana dan fokus pada jalanan. Ia sempat bingung dengan jalanan yang sedang dilaluinya. Jalanan ini seperti menyisakan kenangan samar-samar. "Apa kita pernah ke sini sebelumnya?"
Gugum menggeleng cepat. "Aku sering ke sini, tapi baru pertama kali mengajakmu kemari."
"Aku seperti pernah ke sini, tapi bingung juga. Seperti tidak pernah ke sini.
"Bicara apa sih kamu. Pernah ya pernah. Tidak ya tidak."
"Seperti mimpi."
Gugum mencerna perkataan Galih yang sebenarnya tidak terlalu penting-penting sekali, tapi karena kemarin ia baru membaca salah satu buku kembarannya mengenai masalah mimpi, ia jadi tertarik membahas lanjut ucapan Galih. "Mungkin kamu mengalami dèjá vu?"
"Hah?"
"Terkadang kamu tidak begitu yakin, seperti, apakah kamu memimpikan sesuatu atau mengalami sesuatu yang baru kamu lihat namun kamu seperti telah mengalaminya, itu namanya dèjá vu." Gugum berlagak seperti seorang ahli. Segera ketika Galih mengintimidasi logatnya yang begitu berbobot, Gugum kembali cengengesan dan berkata, "Baca-baca sedikit bukunya Angga, aku sedikit merasakan kepintaran di dalam otakku."
"Mungkin. Pengalaman seperti ini kadang sudah biasa aku alami. Cuman, did i feel this coincidence? Aku pria tapi feeling-ku kuat. Sebelum bertemu Sopie rasanya pernah bertemu dia di sini juga. Yah, seperti mimpi."
"Bicara soal mimpi. Tadi malam, aku memimpikan seorang gadis masuk ke dalam kamarku. Ah, aku tidak sanggup menceritakannya. Sesama lelaki kamu pasti tahu kelanjutannya."
"Ayo, cepat." Seolah tidak mengubris pembicaraan temannya, Galih memilih mempercepat langkah menuju toko musik yang akan mereka tuju.
"Oiya, kemarin di bar aku berkenalan dengan wanita cantik pendek tapi imut. Tapi sayang keduluan di gaet om-om."
"Hm." Galih dari dulu tidak pernah suka dengan sikap Gugum yang terlalu senang mampir-mampir ke sembarang wanita sekenaknya. Bukan masalah Gugumnya, masalah wanitanya. Kasihan kan kalau memang ada yang ingin serius dengan Gugum tapi temannya itu selalu menanggapinya sebatas hasrat keinginan memenuhi list mantan.
"Fyuh." Gugum mengeluarkan nafas sekejap. "Btw, Kakek Sady apa kabar? Aku sempat lupa menanyakan itu." Gugum mendekat ke arah Galih dan merangkulnya.
"Baik."
"Om Santiano?"
"Baik."
"Serius baik?"
Galih tidak bisa tidak bicara mengenai perkara Kakeknya yang sering batuk-batuk pekan kemarin saat ia berkunjung ke Bogor."Aku tidak yakin dia baik-baik saja karena kemarin aku sempat mendengar dia batuk-batuk di kamar, tapi dia selalu terlihat 'i'm fine don't worrie about me' di hadapanku. Padahal aku yakin sesepele apapun penyakit itu. Mau batuk, flu sampai demam sekali pun namanya sakit ya tetap sakit. Dan itu harus diobati tapi granpi tidak mau dan aku tidak bisa memaksanya."
"Bodoh. Kalau aku pasti akan memaksanya demi kesehatannya."
"Ya mau bagaimana lagi." Galih melepaskan rangkulan Gugum dan membuat jarak di antara celah-celah. "Angga sudah kembali ke Amrik?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember
RomanceCopyright©2017-All Right Reserved by Seha. All Plagiarism Will be Snared. "I love you." "Oh, I see?" "You know that?" "Of course." "Why do you know? May be I've not had time to say and probably will never tell you." "From your gaze." "You love me?" ...