"Lih, halo."
"Shit."
"Kenapa men?"
Galih menggeleng setelah membuka pintu melihat teman-temannya. Ada Gugum, Rexy, Adel dan Lusi. Semua tersenyum ria dan Galih menyambutnya, tapi tidak dengan Lusi. Menurut Galih senyum Lusi yang membuatnya ketakutan setengah mati, macam melihat senyuman chuky si boneka pembunuh itu.
"Tidak, ayo masuk."
"Kak Galih, Adel kangen tahu. Adel kan masih liburan, yu main piano yu."
"Hati-hati ya mainnya jangan pas ada geledek," Gugum berucap.
Adel tersenyum. "Iya."
"Kak Galih sama Kak Lusi mau latihan dulu buat lomba ya Adel, jadi nanti saja minta ajarinnya." Lusi menyerebet mendekati Galih.
Galih risih cuma bisa senyum dipaksakan. "Aku mending ajarin Adel kalau gitu, yuk Del." Lalu ia menjauhi Lusi dan menarik lengan mungil Adel cepat-cepat memasuki ruang piano.
"Si Galih bukan pedofil kan ya?" Gugum bertanya pada Rexy. Keduanya baru melihat Galih menuntup pintu ruang piano dan Lusi lagi-lagi hanya berdecak.
"Belum tahu, lihat saja kalau terjadi apa-apa pada Adel."
"Ya, lihat saja."
"Astaga, aku lupa sesuatu." Rexy berjalan menuju ruang piano. "Lih, helow, mana oleh-oleh dari New York." Rexy berteriak.
Galih yang mendengar demikian mengabaikan dan memilih fokus bermain piano. Suara ceklikan knop membuat Galih dan Adel menengok bersamaan. "Buka saja pintunya, aku takut terjadi sesuatu."
"Kenapa ajak Lusi."
"Kenapa? Dia sendiri yang mau ikut, kita kan sahabat, jadi tidak masalah."
"Cerewetnya itu yang bikin aku tidak tahan. Berisik!"
"Justru itu yang buat aku suka dia ada di sini." Rexy kembali ke pertanyaan awal. "Mana oleh-oleh dari New York."
"Tidak ada."
"Ih kejamnya kamu, Lih."
Galih menggeleng. Rexy kembali ke tempat Gugum dan berganti oleh Lusi.
"Lih," Lusi bersuara, pelan sampai Galih tidak mengira itu Lusi.
Galih melirik, ia tahu Lusi pasti akan ke sini juga.
"Kamu benci sama aku? Saking bencinya tiap aku ajak ngobrol kamu selalu acuhkan aku?"
Galih tidak membalas.
"Aku cuma mau kita menang kompetesi nanti, ingat kita sudah daftar jadi peserta."
Galih mengangguk. "Iya aku tahu. Kapan pulang ke Indonesia?"
"Baru pulang, lusa kemarin. Padahal kemarin aku baru datang, kamu malah tiba-tiba pulang ke Indonesia." Lusi masih berdiri di tempat semula. "Ya sudah tidak apa-apa, aku cuma mau bilang kamu harus terus latihan, aku juga sekarang sudah tahu, lagu apa yang akan aku bawakan nanti."
"Iya."
"Semangat ya, semoga kita berdua bisa menjadi juara."
"Semoga."
"Aku di ruang tamu bersama Gugum dan Rexy, jangan lama-lama di sini, nanti ke sana ya."
Galih mengangguk, tidak melirik Lusi barang sedikit. Lusi tidak bersuara, sepertinya sudah menuju ruang tamu. Untunglah. Galih melanjutkan memainkan pianonya lagi.
Galih jadi merasa bersalah telah bersikap demikian kepada Lusi. Bagaimana pun Lusi tetaplah sahabatnya dan mendengar Lusi bilang demikian membuatnya merasa empati.
"Kak."
"Ah apa?"
"Lagunya kok aneh."
Galih tersenyum. "Ke ruang tamu yuk, kita kumpul-kumpul sambil cerita, nanti lagi main pianonya."
"Okey, ayo kak."
●●●
"Galih, aku mau dengar lagunya."
"Nanti dong, tidak suprise kalau sekarang aku mainkan." Galih menjinjit alis, mengambil es krim yang baru mereka beli dan mengupas bungkusnya. "Nih."
Sopie mengambil es krim dari tangan Galih. "Judulnya apa?"
"Concrete angel." Galih menahan tawa setelah berucap demikian.
"Malaikat beton?"
"Beton itu artinya mendalam, kamu itu layaknya malaikat yang punya hati kuatnya seperti beton."
Sopie mangut-mangut. "Lalu?"
"Aku kagum."
"Dimana letak aku kuatnya?" Sopie baru menyadari, jauh dari lubuk hatinya, ia bukan wanita yang kuat dan punya sekali banyak kelemahan.
"Ya, kuat, aku jamin aku bisa lihat kelak."
"Masa?"
"Aku boleh balas pake jawaban bodoh tidak? Biar jadi masa bodoh?"
"Dasar." Sopie menjilat es krimnya sambil menjitak pelan dahi Galih.
Mungkin hari-hari bersama Galih selalu menjadi hari dimana ia selalu meminta waktu untuk berhenti walau hanya semenit. Menjadi hari yang berkesan nantinya. Menjadi hari penuh kenangan.
Sopie dibuat nyaman berdekatan dengan Galih entah adanya ikatan atau tidak. Berharap ia bisa seperti ini sepanjang hidupnya. Berharap alam tahu, ia amat bahagia sesederhana ini.
Sopie mengulas senyum.
"Kenapa senyum-senyum sendiri? Habis mikirin aku ya?" Galih mencolek pipi Sopie.
"Ih colek-colek, jadi muhrim aja belum?"
"Aku kan nanya."
"Bukan ya. Senyum itu ibadah jadi tidak masalah dong."
"Senyum-senyum sendiri itu sih masalah buat aku. Aku harus mencurigai kamu."
"Curigai saja." Sopie menggeser tubuh dan berbalik menghadap seberang jalan yang berlawanan dengan Galih. Tiba-tiba kepalanya pusing. Oh tidak, jangan sekarang. Sopie bergumam. Ia tidak mau Galih khawatir dengan kondisinya. Kenapa sakit di dada dan di kepala semakin menjadi-jadi sampai semua pemandangan di sekitar memburam. Astaga. Celaka. Celaka.
"Pie-"
"Pie-"
"Pie-"
Sopie ambruk dan terjatuh ke dasar tanah. Pandangannya menghitam. Galih yang melihat itu bangkit dan membuang tangkai es krim reflek. Tidak ada yang Galih dipikirkan selain kondisi Sopie. Galih beserta warga yang berada di sekitar membantu mengangkat Sopie ke dalam mobil.
Dan sekarang Galih sadar, ada hal yang ganjil yang Sopie sembunyikan tentang kondisi kesehatannya.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember
RomanceCopyright©2017-All Right Reserved by Seha. All Plagiarism Will be Snared. "I love you." "Oh, I see?" "You know that?" "Of course." "Why do you know? May be I've not had time to say and probably will never tell you." "From your gaze." "You love me?" ...