Bab 22

36 2 0
                                    

Kelihatannya, lima hari berlalu sudah Sopie tinggal di rumah bibi Jen yang terletak di daerah Queens. Hari-hari yang ia habiskan hanya sekadar mengunjungi tempat-tempat baru, menghabiskan waktu bersama dan lebih bahagianya, tiap pagi ia bakal bisa melihat wajah Galih keesokan harinya setelah perpisahan diujung pembatas hari.

Jen selalu ramah begitupun dengan Chris Luke, meski awalnya Sopie mengira Chris Luke tidak menyukainya karena tatapan bawaan Chris begitu tegas dan dalam. Chris hangat kepada Jen begitupun kepadanya.

Tadi pagi, Sopie dibawa Galih menuju tempat dimana Ayahnya pertama bertemu dengan Ibu tirinya. Tempat yang membuat kedua insan orang tua itu merasakan cinta kembali. Sebenarnya kata Galih fakta itu tidak penting-penting amat, yang lebih penting adalah Central Park—tempat tersebut—tempat yang berada di pusat kota New York dengan pelekat taman tersohor itu berhasil mencuri perhatian Galih karena sebuah rasa nyaman.

Galih biasa duduk sambil membaca buku sewaktu ia pernah mengejar studi di New York, waktu senior high school dan tetap mendapat gelar sarjana dari kampus besar di Indonesia. Dulu sekali, tempat itu menjadi tempat pelarian diri ketika Galih bosan melihat Ibu tirinya di rumah. Untungnya ia tidak melihat bagaimana proses sang Ayah jatuh cinta kepada Ibu tirinya, jadi terbebaskan dari rasa untuk benci kepada taman senyaman ini.

Sopie senang ketika angin musim panas tertiup dan jejeran pengamen elit bernyanyi sambil membawakan lagu kesukaannya.

Duduk santai sambil meneguk sebotol minuman lemon ditemani Galih, sungguh luar biasa. Efeknya buat ia betah lama-lama dekat Galih.

Malam ini adalah malam acara formalnya. Galih meminta Sopie untuk dandan secantik mungkin karena akan menghadiri acara megah. Setelah tahu, itu adalah acara pribadi Ayah Galih, Sopie semakin dibuat gugup saat memilih pakaian. Tapi, ia ingat seketika saat Galih bilang dress merah cocok untuk acara date—ini dinamakan date bukan? Untungnya ia punya satu stok dress merah. Entah feeling atau kebetulan, dress itu terselip dikotak kopernya.

Sopie dandan secantik mungkin dengan mengolesi lipstik merah dibagian bibirnya. Ia mencoba meraih kaca persegi panjang, tiba-tiba dadanya sesak sesaat, membuatnya meremas baju sambil membungkuk pelan. Gejala itu lagi yang ia rasanya, sebuah samar-samar penglihatan dengan denyutan kepala menghantam keras. Astaga, ini bukan waktu yang tepat untuk mencemaskan hal-hal buruk terjadi kepada tubuhnya.

Setelah hantaman itu hilang, Sopie duduk menegakan tubuh dan memerhatikan kaca kembali sambil tersenyum menyakinkan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja.

"How beutiful you're." Jen datang dari arah pintu mengagetkannya.

"Oh thanks, Bibi pikir Galih akan suka dengan pakaian yang aku gunakan?"

"Lebih dari itu, dia akan jatuh cinta kepadamu. Lihat! Bahkan aku tidak bisa mengalihkan perhatianku sejenak selain memandangi wajahmu."

"Bibi terlalu berlebihan."

"Aku bicara jujur, lho."

Sopie tersenyum. Ia memandangi ponselnya saat panggilan masuk tercetak nyata. "Sebentar, Galih meneleponku, Bi."

Jen melambaikan tangannya. "Aku kebelakang dulu, have a sweet night, baby."

"Sudah siap? Aku sebentar lagi sampai."

"Aku sudah siap dari tadi."

"Kalau begitu, tunggu aku."

Lalu panggilan terputus, Sopie mengambil tas selempang kecil untuk ia manyimpan barang-barang kecil semacam makeup dan dompet serta ponselnya, lalu menuju ruang tamu menunggu Galih.

DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang