Bab 3

546 22 10
                                    

Galih menatap ke arah luar jendela yang menghubungkannya dengan hujan. Ia lagi-lagi terjebak di kafe dengan Gugum. Cuaca sudah sore sedangkan hujan masih terus mengguyur. Lebih sialnya, ia kemari menggunakan sepeda motor milik Gugum karena Gugum menjemputnya tadi pagi. Ia terpaksa dan tidak menggunakan mobilnya.

"Kamu kenal Sopie?" tanya Gugum sambil meneguk secangkir kopi hangatnya.

"Baru kenal." ia menjawab masih mempokuskan pandangannya terhadap hujan.

"Dia cantik dan masih amat muda, umurnya masih 20 tahun. Sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai guru." Gugum menyunggingkan senyumnya saat membicarakan nama Sopie, mengingat kembali percakapan dengan Sopie lusa hari saat berada di rumah Galih.

"Oh begitu." Galih hanya merespon dengan anggukan. Ia mengalihkan pandangannya dari hujan, bukan untuk menatap Gugum melainkan kepada cangkir miliknya yang terus mengeluarkan kepulan asap sedangkan ia belum menyentuhnya sama sekali.

"Dia imut. You know that?" Gugum menopang kedua dagu dengan lengannya. Yang ia dapat dari Galih hanya sebuah gelengan. "Aku belum pernah bertemu orang seperti dia. Yang biasa aku ladenin biasanya orang lenjeh seperti, Bela," katanya menyambungkan.

Galih meneguk kopi latte-nya. Ia melirik Gugum dengan tatapan tajam. "Sudah jadi bekas mantan baru kamu jelekan sifatnya. Dulu waktu pdkt ucapanmu sama seperti ini. Selalu mengagumkan Bela."

Gugum meneguk air liurnya. Kadang ucapan Galih memang selalu menyakitkan, meski itu faktanya. "Aku serius, awalnya aku pikir Bela wanita baik-baik, tapi kamu tahukan dia itu prostitute."

"Kamu benar."

"Aku dapat nomor telepon Sopie, kamu mau?" Gugum mengalihkan pembicaraan, ia mengambil ponselnya yang ia letakan di celana jins bolong-bolongnya tepat disamping kanan. Lalu mengirim nomor Sopie lewat obrolan pribadinya dengan Galih.

"Tidak."

Gugum terlanjut menekan tombol send. Tiba-tiba saja ponsel Galih bergetar yang ia yakin ini hanya notifikasi dari Gugum. "Kamu akan butuh ini."

Galih diam. Ia masih enggan menyentuh ponselnya. Pandangannya menatap kembali jendela, hujan sudah mereda meski menyisakan rintik-rintik kecil. Galih dan Gugum menyempatkan suasana seperti ini untuk pulang menuju rumah. Gugum meneguk kopinya untuk yang terakhir, ia kemudian mengambil kembali gitarnya dan menjinjingnya di balik punggung. Kakinya melangkah menuju pintu di ikuti Galih dibelakangnya.

Keduanya mulai memakai helm dan meluncur dengan sepeda motor, Gugum sebagai pengemudi dan membonceng Galih yang berada di belakangnya. Jalanan ramai oleh kendaraan roda dua yang berbondong karena mereka ikut menyempatkan waktu hujan surut ini untuk pergi pulang. Perjalanan mulus tanpa kendala hingga mereka tiba di depan pagar rumah Galih.

Galih menuruni jok dan melangkah pergi menuju ke dalam rumah tanpa pamit. Gugum meembalikan arah motornya dan berseru, "Hati-hati, Lih takut tersandung!"

Belum sempat Galih menengok ke arah belakang, ke arah Gugum berada, temannya itu sudah melesat pergi meninggalkannya. Galih melangkahkan kakinya kembali. Satu hal yang ingin ia lakukan yaitu mandi.

Ia mengelap rambut basahnya dengan handuk seusai mandi. Masih setia berdiam diri di kamar dan memandang ponselnya, lebih tepatnya memandang bar obrolan dengan Gugum yang menampangkan jelas nomor Sopie. Ia kembali menyimpan ponselnya di atas meja, mengurungkan niatnya. Sudahlah, itu tidak penting.

***

Galih membuka pintu kamar, rasanya sepi sekali rumah. Rexy dimana? Ah, ia sempat lupa biasanya Rexy sudah berada di studio tiap jam segini. Antara pukul setengah delapan. Si gembul itu memang rajin, padahal di sana kerjaannya hanya duduk, memakan camilannya atau hanya sekadar bermain drum. Oh betul, ia lupa Rexy itu pemain drum. Meski lebih banyak waktu duduk dibandingkan dengan latihannya.

DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang