Bab 12

89 6 0
                                    

Sesuatu di atas meja yang ia taruh sembarang, berkedip berulang dan membuat getaran. Itu ponselnya, bar layarnya menampilkan satu pesan dari kontak Sopie.

Galih hanya menatap ponselnya tanpa membuka isi pesannya. Setelah meneguk kopi terakhir, ia baru membuka isi pesannya. Isi pesan hanya tertulis bahwa Sopie sudah berada di luar studio sedang menunggu keberadaannya.

"Kamu sendiri? Ada apa? Tumben sekali." Galih menuruni tangga depan dan menyambut Sopie dengan senyum sekilas. Ada kiatan rindu mendalam yang ingin ia teriaki saat itu juga. Rindu terakhir pada pesta malam tahun baru yang baru terobati hari ini.

Sopie diam. Tampak anggun dengan pakaian dinas yang sudah rapi di pagi buta itu. "Dengan Kakakku," wanita itu menunjuk mobil hitam kepemilikan Yohan yang terparkir tepat di belakangnya dengan kaca depan terbuka. "Aku hanya ingin memberikan kotak makan ini."

Galih masih tidak mengerti dengan alasan dan maksud apa Sopie memberikannya kotak makan, yang katanya itu dibuat sendiri oleh tangannya. Yang pasti ia menerima kotak makan itu dengan senang hati. "Aku heran."

"Herannya nanti saja. Kalau ada masalah jangan sungkan untuk berbicara padaku." Galih terhenyak saat Sopie menepuk pundaknya. Wanita itu melanjutkan perkataannya lagi, "Aku pergi dulu, ini masih hari mengajar. Jangan lupa dimakan. Sampai jumpa."

Sopie melambai sebelum akhirnya menjauh dan pergi memasuki mobil. Mobil itu melaju meninggalkan hembusan angin dan menerbangkan beberapa daun yang tersebar di jalan.

Ada perasaan bahagia yang memuncak. Suatu perasaan yang kehadirannya kasat dimata dan sukar untuk dilihat namun mudah untuk dirasakan, itu adalah kebahagiaan untuk perjumpaan singkatnya.

Tak ingin berlama-lama di luar dengan cuaca dingin. Galih berbalik dan kembali memasuki studio.

Studio ini buka setiap jam 6 pagi sampai 10 malam. Pagi ini entah mengapa ia ingin sekali melihat studio ini dengan suasana sepinya. Meskipun suara-suara dentingan musik sedikit ada dipendengarannya, jauh lebih sunyi dibandingkan malam hari ketika suara manusia mulai berbaur dengan suara musik tersebut.

Terlalu sepi berjalan seorang diri. Hampir Galih menjatuhkan kotak makan pemberian Sopie ke lantai kalau saja ia tidak sempat buru-buru menangkapnya lagi saat matanya mengecil dan tertunduk mendapati anak kecil dengan rambut menjuntai panjang sedang duduk di salah satu kursi panjang di koridor. Galih melihat anak tersebut menyidekapkan tangannya memeluk boneka beruang berwarna merah. Pakaian terusan putihnya nampak berkibas menutupi seluruh bagian kakinya. Anak itu mengayunkan tungkainya dengan tempo pelan. Galih menangkap desahan yang anak itu suarakan.

Bulu kuduk Galih berdiri dengan sendirinya. Tadi saat ia melewati koridor ini, setahunya tidak ada siapapun. Ia menyipitkan kembali kedua matanya, berharap apa yang ia lihat adalah sesuatu yang salah.

Anak itu menengokan kepalanya. Sebelah matanya menatap tajam Galih dan sebelah mata lainnya masih tertutup rambut. Melihat itu Galih semakin takut. Ditambah anak tersebut juga memiliki wajah yang sangat pasi.

Tungkai Galih bergerak maju, dilihat dari dekat memang menyeramkan seperti hantu. Tapi jika diperinci, anak itu seperti kebanyakan anak lainnya. Wajah naturalnya masih sempurna tanpa ada jejak-jejak horornya sama sekali. Galih hampir lupa anak yang sedang ia tatap juga sangat manis.

"Permisi. Kamu sedang apa?" Galih duduk disamping anak tersebut.

Anak itu hanya menatap Galih dan tersenyum manis. Bibirnya putih, matanya sayup. "Menunggu pamanku. Kakak?"

"Aku baru kembali. Tadi ada seseorang yang mengantarkan ini." Galih menyodorkan pelan kotak makan yang Sopie beri kepada anak tersebut." "Pamanmu? Dimana dia?" Galih mengulum bibirnya. Matanya tertuju pada dahi anak tersebut, sudah gatal ingin memastikan apakah anak di depannya sakit atau tidak karena anak tersebut memiliki wajah pucat pasi seperti mayat hidup. "Kamu sakit?"

DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang