Bab 21

32 2 0
                                    

Pernahkah kamu berpikir untuk terbebaskan dari rasa takut kehilangan ketika kamu berada dipuncak rasa nyaman.

"Tidak baik untuk melamun dipagi buta bagi seorang gadis semanis kamu." Jen mendekati Sopie yang asik bersantai menikmati pekarangan rumah.

"Bibi mengagetkanku saja."

Jen lantas tersenyum buru-buru berbalik saat suara berat milik suaminya memanggil. "Did you see my necktie, honey?"

"Sebentar aku bantu Chris dulu."

Sopie mengangguk, memandu langkah Jen dengan bola matanya sambil mengintip pelan Chris Luke yang mondar-mandir kewalahan mencari dasi ditiap-tiap penyangga belakang pintu. Sopie lalu membuang pandangan pada ponselnya pipih dan mencari kontak Yohan di sana.

Sopie menekan tombol telepon dan panggilan terhubung.

"Kak Mala? Dimana? Bukan di rumah ya? Ka Yohan mana?"

"Yohan ada sedang pesan sate taichan, kita mampir sehabis belanja."

Sopie angguk-angguk. Suara berisik dari Chris Luke menghilang tanda Chris telah meninggalkan rumah. "Begitu."

"Kamu sendiri? Liburannya bagaimana? Kamu tahu tiap detik Yohan selalu ngedumel dan bilang kalau dia mau menyusul ke sana, menemuimu."

"Kak Yohan itu." Sopie mendecak, kembali bicara. "Bilang padanya untuk tidak khawatir, liburanku sangat-sangat menyenangkan."

"Jaga kondisi kesehatanmu."

"Kak Mala sudah tahu?"

Sopie tahu Mala tersenyum, tapi untuk sebuah rasa sedih dibaliknya. "Oh, ini Sopie dia vidcall." Mala bicara saat suara Yohan mulai mendekat.

Ponsel mengarah pada seraut wajah Yohan yang remang karena kakak Sopie itu jelas membelakangi cahaya lampu jalan. "Pie."

"Owaaaa, kakak beli sate taichan, tahu kak? Buat aku mau terbang sekarang ke Indonesia terus rebut sate kakak."

"Sini, sini." Yohan nampak mecari sesuatu. "Dimana Galih? Kamu tinggal dimana? Dengan siapa? Bagaimana? Dan semalam berbuat apa?"

"Terdengar seperti sebuah lagu."

"Emang." Yohan tertawa diikuti suara Mala yang nampak menampar pelan bercandaan Yohan yang garing—sungguh sebenarnya itu bukan candaan atau kerecehan karena Yohan mengucapkan itu tanpa pikir-pikir dan baginya itu sebuah pertanyaan sakral saat seorang kakak khawatir kepada adiknya.

"Aku tinggal dengan Bibi Jen, Bibinya Galih disini. Dan Galih tinggal di apartemennya sendiri yang tidak jauh dari rumah Bibi Jen."

"Baiklah, aku tidak khawatir, ingat pesanku paru-parumu pantang udara dingin."

Sopie mengangguk patuh untuk kesekian kalinya. "Iya."

"Aku mau pulang, mau makan dengan Mala."

"Iya." Panggilan terputus dengan pesan terakhir Yohan agar Sopie tidak lupa pada sarapannya.

Sopie diam kembali. Ponselnya ia taruh di meja dan pelan-pelan mencamili roti gandum buatan Jen karena perutnya butuh asupan. Sejak bangun, ia belum mengisi perutnya dan hanya membasuh lambungnya dengan segelas air mineral.

"Mau aku buatkan toasted bun?" Jen kembali.

"Mari aku bantu, Bi." Sopie bangkit mengikuti arah jalan Jen menuju dapur.

Jen mengambil bahan persediaan sambil perlahan melirik Sopie sekilas. "Dalam seumur hidupku, Galih baru pertama mengajak seorang gadis ke sini, entah, sepengetahuanku, beda lagi ceritanya jika anak itu melakukannya dengan diam-diam. Tapi tidak mungkin."

DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang