Sopie merasa sesak nafas berat semenjak meninggalkan sekolah, ia menutupi sebagian wajahnya menggunakan masker. Yohan yang berada di samping Sopie hanya melirik adiknya cemas.
"Pie, obat antibiotik yang dokter kasih sudah rutin diminumkan?"
Sopie memandang seorang anak bersama ibunya sedang menyebrang jalan saat lampu merah menyala, jeda beberapa detik saat lampu kembali hijau ia baru mengubris omongan kakaknya, "sudah Kak."
"Melamun?"
"Anak laki-laki tadi saat nyebrang lucu, mukanya mirip kak Yohan waktu kecil."
"Yang mana, aku tidak melihat."
"Tadi yang kebule-bulean itu."
"Ganteng ya kayak aku."
Sopie tersenyum, mengalihkan pandangan ke arah kiri menatap pejalan kaki hilir mudik dari kaca mobil yang menghubungkannya. Sejak cek kesehatan beberapa minggu yang lalu, Yohan merasa, Sopie jadi sering melamun meski kadang saat ditanya Sopie selalu mengelak bahwa ia baik-baik saja. Sopie masih tetap tersenyum seperti biasanya, menjalankan rutinitas sebagai guru sekolah dasar dan masih senang nonton ke bioskop malam-malam sendiri saat ia merasa suntuk di rumah.
"Pie?" Yohan bersuara.
Sopie menganggukan kepala tanpa berbicara, hanya sorot matanya yang mengisyaratkan seolah berkata 'apa?'
"Mau tidak sedot cairan paru-paru? Kamu berhenti mengajar dulu."
"Aku mau sedot cairan, tapi..." sejenak Sopie diam namun melihat respon Yohan yang ingin angkat bicara, ia buru-buru menyela. "Aku tidak mau berhenti mengajar."
"Sementara waktu, Pie, aku akan bicara dengan kepala sekolahnya."
"Kak."
"Kamu mau menularkan virus ke anak-anak?"
Sopie tidak bisa berhenti mengajar, disisi lain ia tidak ingin menyebarkan virus kepada anak-anak. Ia tahu, Yohan punya rencana baik dan biasanya kakaknya itu selalu mengalah, untuk saat ini tidak. Padahal Sopie paham apa susahnya mengalah demi kebaikan.
Sopie tidak membalas perkataan kakaknya.
"Pie."
"..."
"Pie?"
"Iya kak?"
"Masak, yuk?"
"Ide bagus, kalau begitu kakak mampir ke rumahku dulu."
"Iya."
Yohan mengelus pucuk kepala Sopie. Meski Sopie sempat marah selama 45 detik kepada kakaknya karena memintanya untuk tidak mengajar lagi—dengan alasan mengatas namakan kesehatan, tetap Sopie paling tidak bisa marah kepada kakakanya lebih lama lagi.
Keduanya melaju menuju rumah Sopie, dipenghujung siang masih berpakaian dinas khas guru.
Sebenarnya Sopie tidak pernah khawatir dengan kondisinya atau sekadar membayangkan sakitnya sedot cairan paru-paru. Hanya saja membayangkan tidak berkegiatan yang hanya berdominan pulang pergi rumah sakit setiap hari tanpa bisa mengajar pasti adalah hari-hari penuh kebosanan, Sopie tidak suka hidup terjerat kebosanan.
Dilarang makan-makanan sembarangan, meminimalisir udara dingin dan beberapa larangan lainnya yang membuat ia tidak senang telah mengidap sebuah penyakit. Ah, Sopie bukan mengeluh hanya saja ia berharap penyakitnya segera menghilang.
Sopie mengingat bagaimana Jennifer Cavalleri meninggal karena sebuah penyakit pada sebuah film lawas yang berhasil membuatnya menangis semalaman penuh, juga dengan film keluarga yang ia tonton dengan kakaknya, kisah Steve Miller pengidap penyakit yang overprotective kepada Ronnie Miller anaknya. Hanya saja disini Sopie yang mengidap penyakit yang begitu di-protec oleh kakaknya. It's not about the movie she watched, because she was too dramatic.
![](https://img.wattpad.com/cover/113678907-288-k120805.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember
RomanceCopyright©2017-All Right Reserved by Seha. All Plagiarism Will be Snared. "I love you." "Oh, I see?" "You know that?" "Of course." "Why do you know? May be I've not had time to say and probably will never tell you." "From your gaze." "You love me?" ...