Bab 17

103 8 1
                                    

Sopie mengusap tengkuknya dan melangkahkan kaki dengan cepat sambil melirik sekitar dengan was-was. Dengan tas gendong yang masih menempel dibagian punggung, beberapa buku cerita dan gambar berada dipelukannya. Langkahnya tergesa-gesa. Detak jantungnya tidak stabil melihat tepi gang bagitu gelap. Di ujung sana ada pengkolan yang biasanya banyak sekali tukang ojeg mangkal, hari ini tidak ada satu pun seseorang di jalanan ini.

Bip! Ia membuat panggilan dengan Galih. Karena rasa kekhawatirannya semakin meninggi, bahkan rasanya otak pun sudah tidak mampu bekerja, yang tersirat hanya nama Galih untuk bisa ia hubungi sat ini. Tidak ada jawaban.

Suara klontrang dari arah tepi jalan dan pijakan kaki terdengar. Cekikikan pria dan bau alkohol tak sedap tercium sampai ke hidungnya. Dari ciri-ciri tersebut sepertinya ada segerombolan pemabuk yang akan lewat. Ketika mengetahui hal tersebut bagaimana pun Sopie harus bersembunyi apabila tidak ingin sesuatu terjadi padanya.

"Aku mencium parfum wanita." salah seorang pemabuk bertindik yang berjalan lunglai mengenduskan hidungnya.

Saat mendengar perkataan pria bertindik itu, semua gerombolan temannya—yang banyaknya berjumlah enam orang, ikut mengendus untuk memastikan. "Aku tidak mencium apapun. Aku hanya mencium bau mulutmu yang busuk."

"Enduslah yang benar, dasar pria mabuk." pemabuk yang memiliki tindik di sekujur wajahnya itu menjitak temannya pelan, kemudian kembali lunglai.

Di sisi lain Sopie menyembunyikan badannya di samping tumpukan kardus di bawah pohon. Ia menunduk dan menutup hidungnya rapat-rapat karena aroma dari dalam kardus seperti aroma telur busuk yang sudah dibiarkan lama mengendap. Berharap waktu berjalan lebih cepat untuk detik ini.

"Yang aku cium hanya bau sampah. Bau kalian semua." pria dengan gaya rambut gondrong yang berjalan di belakang mereka ikut mendengus. Memasang tatapan dingin kepada temannya dan jalannya normal. Tidak ada sesuatu apapun digenggaman tangannya, sepertinya pria itu tidak ikut mabuk.

Sopie menghela napas dan segera berdiri setelah segerombolan pemabuk tersebut jauh dari jangkauannya. Ia berlari dengan kaki berjinjit. Tiba-tiba suara notifikasi ponsel berdering, astaga hampir jantungnya coplok mendengar itu, hanya pesan dari Galih. Ia menutup ponselnya berharap suara itu tidak terdengar kepada para gerombolan pemabuk yang jaraknya masih tergapai. Ia membalikan wajahnya melihat segerombolan pemabuk masih santai berjalan tanpa menoleh ke arahnya. Sekarang. Tiba-tiba saja seorang pemabuk gondrong yang berada paling belakang menghentikan langkahnya, melihat pergerakannya, Sopie menduga pria itu pasti sadar akan keberadaanya. Selagi sempat kabur Sopie memutuskan untuk lari sekencang-kencangnya berbelok ke arah jalur berbeda.

"Mungkin hanya perasaanku," ujar pria gondrong tersebut.

Di sisi lain Sopie istirahat sejenak di warung tedekat, di sampingnya ada pos jaga. Ia sedikit lega, setidaknya tempat pemukiman seperti ini lebih aman dibanding tempat sepi seperti tadi.

"Huh, seharusnya aku tidak perlu repot-repot. Aku seharusnya tidak perlu mengikuti arah peta ini. Aku lelah. Galih bisakah kamu jemput aku," gerutunya.

"Eh mbak. Mau pesen teh hangat mbak?" ibu tua dengan pakaian batik tenunnya berjalan mendekati Sopie. "Saya pemilik warung sini."

"Huhah," napasnya menderu sebelum ia menjawab pertanyaan ibu itu. "Hanya numpang istirahat kok, Bu."

"Baiklah." ibu pemilik pamit dengan ramah dan mempersilahkan Sopie untuk rehat sejenak. Sekiranya masih ada orang-orang perhatian kepadanya saat kondisinya seperti ini.

Dimana? Ia baru membaca pesan dari Galih. Ah, benar ia sempat lupa dengan pesan masuk yang hampir membuatnya ketahuan orang-orang mabu. Sopie hanya perlu meminta Sopie untuk menjemputnya. Dengan beberapa ketikan ia sudah berhasil mengirimi Galih alamat keberadaannya.

DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang