Bab 14

71 8 1
                                    

Kalau kamu diberi kesempatan untuk memilih hidup sekali lagi kamu memilih untuk menjadi siapa?


"Entahlah." Galih berlonjak dari bangku saat Lusi mencoba mendekatinya.

"Apa aku terlihat seperti hantu di matamu?" Lusi berbicara dalam nada datar seolah menunjukan rasa kekecewaannya, ia menambah ekspresi mukanya dengan bibir tertekuk.

Galih hanya menggeleng. "Bukan begitu aku hanya mau mengambil sesuatu. Tunggu."

Keadaan di ruang menjadi sunyi tatkala Galih pergi meninggalkan Lusi sendirian. Bersamaan dengan piano yang hanya dibiarkan terdiam, Lusi menopang sebelah pipinya dengan lengan.

Kompetesi dilaksanakan pada bulan terakhir tahun ini. Mereka memutuskan untuk latihan jauh hari sebelum hari kompetesi di mulai. Melihat betapa banyaknya waktu yang bisa dipergunakan Lusi dan Galih, latihan dari bulan awal hingga menangah tidak akan sekondusif menjelang bulan akhir.

"Aku akan memainkan karyaku sendiri." Galih kembali dari balik pintu dengan sejumlah tumpukan buku.

Lusi hanya mengangguk. "Boleh aku lihat buku-bukumu." sambil mengambil sebagian buku yang Galih bawa, Lusi menaruhnya di atas meja dan mulai membawa salah satu buku yang menarik dipandangannya. "Aku pernah memainkan salah satu lagu karya dia," katanya lagi sambil menunjuk sebuah buku berjudul 'Haydn' itu.

"Kamu bisa pakai lagu dia jika kamu mau. Tidak terlalu buruk juga." Galih mangut-mangut, lengannya masih mencari satu buku diantara banyaknya buku.

"Chopin?" Lusi mendekat dan menaikan sebelah alisnya.

Galih menggeleng dan memberikan buku itu kepada Lusi. "Kamu bisa pakai yang ini juga."

"Bagaimana dengan Anton rubenstein?"

Dengan satu lirikan Galih memandang Lusi. "Semua tergantung kamu. Kamu mau memainkan apa."

"Capriccio bagaimana?" Lusi masih dengan pertanyaannya yang membabi buta. Baginya dengan mengajukan banyak pertanyaan runtun bisa membuat Galih kesal dan saat-saat seperti itu adalah hal menyenangkan.

"Terserah." masih dengan anggukan yang Galih keluarkan. "Kamu pilih sesuka hatimu saja."

"Kalau kamu sudah menentukan pilihanmu, lalu kamu sedang mencari apa?"

Sesuatu yang tertinggal di antara lembar kertas yang bertumpuk. Kertas usang yang sudah menghancurkan satu hari Sistematis kehidupannya. Dalam beberapa jam seakan lebur hanya karena satu lembar berisikan partitur buatannya. Galih sekali lagi mencari buku, lengannya mempilin satu lembar kertas dengan santai. Pandangannya lugas saat kertas yang dicari sudah berada di tangannya.

"Ini lagu ciptaanmu?" Lusi menjinjit kakinya agar bisa melihat partitur itu karena Galih membelakanginya.

Gali membalik sambil mengangguk, saat itu pula ia menumbruk dagu Lusi dengan sikutnya. "Ini..." belum sempat Galih menjelaskan, Lusi berteriak kencang sambil meringis.

"Aw, aw, aw daguku astagaaa! Sakit sekali."

Galih menundukan pandangannya dan tersenyum tipis. Bukan ia ingin menahan tawa karena Lusi meringis kesakitan, ini karena Lusi membuat wajahnya begitu awkward. Itu yang membuat Galih tertawa. Ekspresi Lusi yang tidak tertahankan seakan membuat hormon endorfin Galih mencuat perlahan.

"Sakit sekali. Kamu harus bertanggung jawab, lihat betapa perihnya daguku karena sikut sialanmu itu."

Galih menunduk dan mengulurkan lengannya berharap Lusi mau untuk menerima jabatannya dan memaafkannya. Meski ia sadar ini tidak sepenuhnya kesalahannya, jika saja Lusi tidak berdiri di belakangnya mungkin gadis itu tidak akan terkena sikutnya.

DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang