DESEMBER AWAL, tahun pertama berjumpa
Galih menghembuskan napas dalam-dalam, ia mengontrol debaran jantungnya yang belum bisa berhenti akibat mimpinya semalam. Rasanya seperti sungguhan. Mimpi itu masih terngiang-ngiang dipikirannya. Dari wajah wanita urak-urakan yang memesona, cara wanita itu memandang dan hampir mencium bibirnya. Sangat jelas, ia bahkan membayangkan kembali mimpinya kalau saja ponselnya tidak berdering, ia mungkin sedang menikmati rasa dari bibir wanita itu. Toh, ini hanya sekadar mimpi.
"Think, Lih. It's was only dream." Galih menggelengkan kepalanya dan menepuk-tepuk wajahnya dengan kasar. Ia membuyarkan semua khayalannya. Kembali menatap ponsel yang berisi notifikasi dari temannya.
Awal desember masih musim penghujanan. Pagi ini air hujan melanda daerah tempat tinggalnya. Padahal waktu sudah menunjukan pukul 9 pagi, dimana matahari seharusnya sedang mengalami fase cerah-cerahnya, kali ini hanya ada awan kelabu yang terpampang jelas di langit. Musim seperti ini sudah berlangsung dari bulan kemarin. Musim yang menghambat rutinitasnya.
"Datang jam berapa, Lih?" suara berat diujung ponsel terdengar samar-samar karena hujan.
"Tergantung hujan." Galih menjepit ponselnya di antara telinga dan pundak karena kedua tangannya sedang sibuk mengocok telur. "Kalau reda, aku sih berangkat."
"Aku tunggu." temannya masih meminta Galih untuk datang. Galih yang tidak mempunyai rencana hanya mengangguk setuju, meski cuaca di luar tidak mendukung.
"Ya." Galih memutuskan sambungan ponselnya dan menaruh kembali ponselnya di atas meja. Ia kembali mengaduk telur dan menaburnya di atas wajan yang sudah ia panaskan beberapa menit yang lalu.
Telur ceplok, telur dadar or something people said lebih kerenan dikit namanya omelet sudah menjadi sarapan utama Galih. Makanan nikmat yang bisa ia padukan dengan beberapa santapan lainnya seperti kecap dan saus karena cukup sederhana pula pembuatannya, menjadikannya sebagai makanan favorit.
Galih menatap layar ponsel yang berada ditangannya, ponselnya selalu sepi. Tangan kanannya ia gunakan untuk memengangi sendok. Sudah tidak terdengar rintik yang membuat genting rumah bersuara keras, itu artinya ia akan pergi ke studio untuk latihan. Kalau pun tidak, ia masih bisa melatih jemarinya di rumah karena ia mempunyai piano pribadi.
Darah seni memang sudah mengalir sejak Galih pertama kali menghembuskan napasnya di planet bernama bumi. Ibunya seorang penyanyi dan Ayahnya seorang pianis. Maybe, something gonna wrong with him. Galih sama sekali tidak tertarik dengan bakat bermain pianonya.
Ia memacu mobilnya menerobos segelintiran air hujan yang belum sempurna surut. Jalanan lenggang dan toko-toko dipinggiran jalan tertutup karena hujan. Hawa dingin membuat tenggorokannya mengering dan serak. Galih menghentikan mobil saat melihat market.
Rexy, salah satu rekan studionya memintanya untuk membelikan beberapa camilan. Rexy itu berbadan besar wajar jika perutnya mudah lapar. Ini hanya kebetulan, tujuan utamanya adalah membeli secangkir kopi hangat karena ia yakin di studio nanti akan susah mencari minuman hangat pada cuaca seperti ini. Siapa yang mau dingin-dingin seperti ini keluar hanya untuk membelikan Rexy sebuah camilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desember
RomanceCopyright©2017-All Right Reserved by Seha. All Plagiarism Will be Snared. "I love you." "Oh, I see?" "You know that?" "Of course." "Why do you know? May be I've not had time to say and probably will never tell you." "From your gaze." "You love me?" ...