Pengejaan kata 'cinta' itu c-i-n-t-a.
Tapi mengapa aku membacanya menjadi 'benci'?—Little Girl.
.
.
.Hidup bahagia adalah dambaan semua orang.
Memiliki keluarga harmonis.Hidup berkecukupan.
Limpahan kasih sayang tiada tara.
Menganyam pendidikan setinggi-tingginya.
Semua menginginkan hidup bahagia bak disurga.
Namun sekali lagi, tak semua orang dapat mengecap rasa manis dari apa itu kebahagiaan.
Tidak, Hyeongseob pernah merasakannya. Pernah dalam artian dulu, tidak untuk sekarang dan mungkin kedepannya.
Ia tumbuh dalam kehangatan keluarga utuh. Kedua orangtua yang saling mencintai. Perangai ibunya hangat, membuat Hyeongseob bersyukur terlahir dari rahim wanita yang ia nobatkan menjadi cinta pertamanya. Ayahnya pribadi yang pandai memimpin. Meski tegas, Hyeongseob dapat merasakan cinta yang ayahnya berikan kepada dirinya juga ibunya.
Tetapi ada seseorang yang mengatakan.
Jika kebahagiaan diikuti dengan kesedihan dibelakangnya.
Semua kehangatan itu berakhir tepat saat ia menginjak usia remaja.
Wanita yang ia hormati hingga akhir hayat, menutup usia dikarenakan penyakit yang semakin menelan habis tubuh ringkihnya.
Hyeongseob merasakan seolah dunianya runtuh. Tak ada lagi sumber kebahagiaannya.
Sang ayah mendadak berubah. Hyeongseob mengerti, bukan hanya ia yang tak siap ditinggalkan. Awalnya ia mengira ayahnya hanya sekedar melampiaskan kesedihan dengan mabuk-mabukan hingga pulang saat fajar. Namun semua berlanjut hingga ke bulan-bulan berikutnya. Tempramen sang ayah menjadi buruk tak terkendali, tak lagi merawat diri, tak lagi bersikap hangat, juga berhenti bekerja hingga Hyeongseob harus turun tangan menggantikannya untuk mencari uang makan sehari-hari, bekerja dari satu toko ke toko lain. Apapun pekerjaan yang mereka tawarkan Hyeongseob menerimanya dengan senang hati.
Pendidikan ia tinggalkan. Disamping karena tak lagi sanggup mengeluarkan biaya, ayahnya selalu memaksanya untuk bekerja lebih giat. Agar mendapat uang yang cukup untuk ia bawa ke kasino, berjudi tentu saja.
Dan puncaknya, beberapa bulan lalu saat keluarganya terlilit hutang.
Ayahnya selalu kalah dalam permainan hingga akhirnya meminjam uang dengan bunga yang tak sedikit. Tanpa memikirkan bagaimana ia membayar nanti.
Hyeongseob tentu tak dapat melunasi tumpukan hutang yang ditimbun ayahnya. Hasil dari pekerjaannya hanya cukup untuk makan juga membayar uang sewa.
Hingga akhirnya, sesuatu yang benar-benar tak terlintas dalam pikirannya terjadi.
Hari dimana ia diseret paksa oleh pria berbaju serba hitam. Orang menyebutnya debt collector.
Itu artinya sang ayah telah menjual dirinya.
Dan kehidupannya yang jauh lebih buruk pun datang.
Pandangannya kosong, namun hatinya terus berkecamuk. Memikirkan seberapa kaya sosok yang kini ada dimeja kemudi tepat disisinya.
Hyeongseob tak ingin ambil pusing. Saat ini ia cukup bernapas lega karena terbebas dari ruangan gelap yang beberapa minggu ia huni.
Laju mobil terhenti tepat didepan bangunan tinggi dengan aksen mewah dari pahatan desain arsitektur. Hyeongseob mulai menduga-duga, mungkin kah seseorang yang disisinya itu seorang bos mafia?
Nyatanya ia lebih buruk dari itu.
"Turun dan ikuti aku"
Hyeongseob menurut tanpa suara, membuntuti langkah lebar didepannya.
"Selamat malam tuan, ingin makan malam lebih dulu?"
"Tidak, aku ingin istirahat. Dan paman Yoon—"
Woojin menjeda ucapannya, sebelum beranjak pergi meninggalkan Hyeongseob yang tak tahu apa yang harus ia lakukan setelahnya.
"—tolong urusi dia. Berikan kamar juga pakaian ganti, jika ia lapar berikan makan. Sisanya tolong kau yang urus"
Pria kira-kira seusia ayahnya menatapnya dengan kening mengerut.
"Perkenalkan, nama saya Yoon Jisung. Saya kepala pelayan di mansion tuan park"
"A-aku Ahn Hyeongseob"
"Sesuai apa yang tuan park perintah, mari ikuti saya tuan ahn"
Hyeongseob sebenarnya ingin menolak panggilan tuan yang diberikan untuknya, namun biarlah sebentar ia tak ingin mengganggu kegiatan jisung.
▪ Little Girl 🌸 ▪
Hampir semalaman pria berumur tigapuluh satu tahun tak dapat menutup mata sepersekian detik pun.
Ia terjaga dengan hati gundah. Pikiran melalang buana.
Sampai waktu menjelang fajar pun ia tidak dapat berpikir. Bagaimana bisa ia membawa sosok mungil tanpa busana yang bisa-bisanya ia 'beli' dengan uang yang tak sedikit tanpa pikir panjang.
Woojin berulang kali mendoktrin jika dirinya sudah gila.
"Dari sekian banyak manusia, mengapa ia harus memiliki wajah sepertimu?"
Helaan napas kasar lolos dari bibir tipis miliknya.
Entah sudah terhitung berapa lama, ia masih berada ditempat yang sama. Masih merindukan orang yang sama dalam kurun waktu yang ia sendiri tak tau kapan akan berhenti.
Woojin mengerang frustrasi. Kembali berbaring dan memilih untuk pergi tidur, setidaknya ia dapat melupakan sosok berkulit pucat itu ketika ia menjelajah dunia mimpi.
Semoga saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Little Girl ;jinseob ✔
FanfictionBenar, mainan hanya akan terus menjadi mainan. tidak akan menjadi sesuatu yang berarti, yang dijaga sepenuh hati. [mature✖] start; 280917-100318 ©bibirsungwoon2017 ©bibirsungwoon2017