38. Fiancee

161 23 0
                                    

Aku mengayunkan ayunanku menggunakan kaki. Aku menatap danau yang dipenuhi oleh salju dengan tatapan kosong. Berada seminggu disini tidak merubah apapun. Aku tetap merasa hampa. Padahal sudah ada Minhee dan Emily disini yang menemaniku. Tapi kenapa..?

Entah kenapa pelupuk mataku mulai dipenuhi air. Sial, kenapa aku menangis?! Aku menyeka air mataku dengan kasar secara bergantian tetapi air mata sialan ini tidak mau berhenti. Ia keluar semakin banyak. Kenapa sangat sulit mengontrol air yang tak berguna ini?!

"Kyuhee, apa kau baik-baik saja?!" Tanya Emily menghampiriku dengan panik. Tangisku semakin pecah. Aku menangis sejadi-jadinya. Emily menatap lalu memelukku sambil menepuk punggungku pelan. Aku akhirnya menyerah, aku melepaskan semuanya.

Aku sangat-sangat merindukan Chanyeol hingga menangis frustasi seperti ini. Kemana dia? Kenapa ia tidak bisa dihubungi? Kenapa selalu sibuk saat kuhubungi? Apa ia tidak merasakan hal yang sama padaku? Apa ini ada hubungannya dengan kejadian waktu itu? Berbagai pertanyaan mengerubungi isi kepalaku.

"Tenanglah, Kyuhee. Sekarang berceritalah padaku. Mungkin dengan menceritakan denganku dapat melepas kesedihanmu, walaupun sedikit." Ujar Emily memegang bahuku lalu menatapku dengan sedih. Aku menyeka kembali air mataku lalu menarik nafas panjang lalu melepaskannya, berharap air mataku akan berhenti mengalir.

"Tenangkan dirimu dulu." Ujar Emily lagi sambil tersenyum lemah. Aku mengangguk lalu membalas senyumnya. Gadis ini, padahal baru saja bertemu denganku seminggu yang lalu dan dia sudah bertingkah baik seperti ini. Aku bersyukur dia ada disini.

"Apa kau sudah mulai tenang?" Aku mengangguk pelan. Emily menungguku untuk bicara sambil mengayunkan pelan ayunannya.

"Aku merindukan seseorang. Aku merindukannya hingga merasa frustasi dan menangis seperti ini." Ungkapku setelah merasa tenang.

"Apa orang itu, teman yang kau maksud waktu itu?" Tanya Emily. Aku menatap gadis pirang itu sambil mengerutkan keningku. Setauku, aku tidak pernah menceritakan seorang temanpun padanya.

"Maksudku, pada saat kita di toko souvenir. Kau berkata seperti melihat temanmu. Apa itu dia?" Aku terdiam sejenak lalu mengangguk. Aku tidak menyangka Emily akan mengingatnya. Aku saja bahkan tidak ingat.

"Dia tidak hanya seorang teman kan? Maksudku (boy)friend." Ujarnya sambil tersenyum jahil padaku. Aku kembali mengangguk. Gadis ini cukup peka. Padahal ia lebih muda dua tahun dariku tetapi kenapa ia terlihat lebih dewasa dari padaku?

"Kau gadis yang peka." Ujarku padanya yang di respon kekehan olehnya.

"Terima kasih atas pujiannya. Lalu ada apa dengannya hingga kau merindukannya seperti ini? Apa kalian menjalin hubungan jarak jauh?" Aku menggeleng lalu tersenyum lemah.

"Tidak. Aku sering bertemu dengannya saat dirumah maupun di kampus. Tapi tiba-tiba saja kami mulai jaran bertemu. Bahkan di kampus juga." Jelasku pada Emily.

"Kalian tinggal bersama?"

"Tidak. Ia selalu menginap sejak SMA karena kakak dan sudah mengganggap apartemenku seperti rumahnya sendiri." Emily diam dan tetap menyimak ceritaku.

"Awalnya ia masih menghubungiku tetapi sejak malam itu, malam di mana salju pertama turun. Ia tidak pernah muncul lagi. Bahkan menghubunginya saja tidak bisa." Aku menunduk lalu mengayunkan ayunanku pelan. Suasana sore itu terlihat indah tetapi tidak dengan hatiku.

Happy Delighted [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang