“Pakai jimat ini dan permintaanmu akan terkabul!” Chihiru, sahabat dekat Kawazoe tiba-tiba mengacungkan sebuah jimat bertali kecil kepadanya. Benda itu tampak seperti jalinan benang yang amat rumit (seperti bagian tengah sebuah “Dreamcatcher”). Bagi Kawazoe, benda itu lebih terlebih seperti gantungan kunci mungil ketimbang sebuah jimat.
“Darimana kau dapat? Shinjuku?” tanya gadis itu. Ia hanya bisa membayangkan Chihiru mendapatkannya dari sebuah toko jimat yang banyak berjejer di Shinjuku.
“Tak penting dimana aku mendapatkannya.” Chihiru segera mengikatkannya di tangan Kawazoe (ternyata benda itu juga bisa dikenakan seperti gelang). “Aku juga punya satu kok dan aku yakin Kawazoe-Chan bisa memakainya agar mendapatkan perhatian Shinya-Senpai.”
“Ah, kamu ngomong apa sih?” wajah Kawazoe langsung memerah. Ia dan Chihiru sudah bersahabat dekat semenjak kecil. Jadi hampir tak mungkin rasanya Kawazoe menyembunyikan perasaannya pada pemuda ganteng itu di hadapan sahabatnya.
“Sudah, sudah ... terima saja! Aku juga punya satu kok!” Chihiru menunjukkan hiasan yang tergantung di handphone-nya. Ternyata jimat yang sama, hanya warnanya berbeda.
Gadis itu mau tak mau menerima. Tak hanya karena itu pemberian sahabatnya, namun karena diam-diam ia berharap jimat itu mampu membuat Shinya yang sudah lama ditaksirnya juga membalas cintanya.
Dan anehnya, seminggu setelah kejadian itu, tiba-tiba Shinya datang ke kelasnya saat istirahat makan siang dan menghampiri mejanya.
“Hei, Kawazoe-Chan? Mau nonton bareng malam minggu ini?” tiba-tiba saja pemuda itu bertanya pada Kawazoe.
Dan satu-satunya respon yang dilakukan gadis itu adalah berbalik dan kabur.
Dalam perjalanan pulang, Kawazoe memikirkan betapa bodohnya yang ia lakukan tadi. Apa boleh buat, soalnya dia merasa amat malu. Namun apa tidak salah? Cowok paling ganteng di sekolah baru saja mengajaknya keluar, padahal sebelumnya pemuda itu hampir sama sekali tak mengenalnya?
Kawazoe menatap gelang yang tengah ia pakai. Apa mungkin gara-gara jimat ini?
Sesampainya di rumah, dilihatnya ibunya amat panik.
“Ibu, ada apa?”
“Syukurlah kamu sudah pulang! Kakakmu baru saja mengalami kecelakaan!”
Kakak Kawazoe ternyata baru saja tertabrak kendaraan yang melanggar lampu merah saat menyeberang. Karena kejadian itu, dia harus dirawat di rumah sakit selama seminggu. Begitu pulang ke rumah pun, ia masih tak bisa berjalan dan harus dibantu kruk.
Kawazoe sampai absen beberapa hari dari sekolah gara-gara harus merawat kakaknya. Pada saat ia sudah masuk kembali ke sekolah, Shinya kembali menemuinya.
“Aku turut prihatin akan apa yang menimpa kakakmu. Jika kakakmu sudah baikan, maukah kau pergi bersamaku malam minggu?”
Kawazoe dengan senang mengangguk.
Hari yang dinanti-nantikan pun datang. Ia dan Shinya, pemuda pujaannya, pergi menghabiskan malam minggu dengan pergi ke sebuah pasar malam. Di sana mereka mencoba hampir semua wahana dan bersenang-senang. Namun saat mereka berdua naik komidi putar, tiba-tiba telepon genggam Kawazoe berbunyi.
“Cepatlah pulang!” ibunya terdengar terisak di telepon, “Rumah kita terbakar!”
Gadis itu tanpa pikir panjang segera mengakhiri kencan itu. Setibanya di rumah, ibunya hanya terduduk di depan apa yang sebelumnya adalah rumah mereka. Kini yang tersisa hanyalah balok-balok penyangga rumah yang hangus terbakar. Bahkan atap mereka sudah runtuh.
Tak perlu waktu lama bagi Kawazoe untuk menyadari bahwa semenjak ia mendapatkan jimat itu, hidupnya menjadi dipenuhi kesialan. Ia segera menghubungi Chihiru untuk menanyakan dimana ia membelinya, namun tak ada jawaban dari ponsel gadis itu. Nomornya tidak aktif.
Kawazoe lalu memutuskan mencari sendiri toko jimat yang didatangi Chihiru. Ia menyusuri jalanan di Shinjuku dan memasuki semua toko, namun tak ada satupun yang menjual jimat miliknya. Ia hampir putus asa hingga kebetulan ia melewati seorang gadis yang mengenakan jimat yang sama.
“Maaf,” Kawazoe bertanya, “Darimana Anda dapat jimat itu?”
“Oh, ini? Aku mendapatkannya di Omotesando.”
Kawazoe segera bergegas ke daerah itu dan di pelataran kuil, ia menemukan sebuah kios yang dipadati oleh para turis yang mencari oleh-oleh.
Sesuai dugaannya, salah satu yang dijual di lapak itu adalah jimat seperti yang dikenakannya.
“Selamat datang. Anda berminat dengan jimat pengabul permintaan inI? Wah, saya lihat Anda sudah memiliknya.” Ia menunjuk jimat yang melingkari pergelangan tangan Kawazoe.
“Iya, namun semenjak saya memilikinya, ada banyak kesialan menimpa saya.”
“Namun permintaan Anda terkabul kan?” jawab sang penjual, “Untuk setiap permintaan yang terkabul, Anda harus menebusnya. Anda tak berpikir akan mendapatkan keberuntungan secara cuma-cuma bukan?”
“Jadi permintaanku untuk bersama Senpai harus ditebus dengan sesuatu yang penting bagiku?” Kawazoe patah hati mendengarnya. Ia memutuskan untuk membuang jimat itu. Setelah itu, tak ada lagi nasib sial yang menghinggapi keluarganya. Namun semenjak itu pula, Shinya juga tak pernah berbicara dengannya lagi.
Keesokan harinya di sekolah, ia berusaha menghubungi sahabatnya Chihiru. Ia khawatir nasib yang sama akan dialaminya. Namun tak satupun pesan teks yang dikirimkannya dibaca.
Baru setelah bel pulang sekolah berbunyi dan ia tengah berjalan pulang, ia mendapatkan balasan.
“Maaf baru menghubungimu. Aku baru saja terjatuh dari tangga dan tidak masuk beberapa hari. Hapeku juga rusak karenanya. Aku tak mau mengabarimu karena aku tahu kau sendiri susah dengan kecelakaan yang menimpa kakakmu.”
Kawazoe hendak memperingatkannya tentang jimat itu, namun ...
“Maaf tidak mengabarimu juga kalau aku sedang dalam perjalanan menuju Italia. Aku baru saja memenangkan perjalanan impianku Eropa. Beruntung sekali kan aku? Jangan khawatir, aku akan membawakanmu oleh-oleh.”
Kepala Kawazoe menoleh karena suara klakson yang amat keras. Dilihatnya sebuah bus tengah melaju dengan cepat ke arahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta
HorrorA creator of paranoid #1 Highest Rank [25052018] #2 in horror [07052018]