Titah

6.3K 360 12
                                    

“Shh … jangan menangis,” bujuknya riang. Wanita itu tahu, bahwa cuaca dingin ini terlalu berat bagi anaknya yang berumur tiga tahun. Di Rusia, neraka bukanlah tempat dengan nyala api yang berkobar-kobar, neraka di tempat itu datang setiap musim dingin. Wanita itu tahu, begitu juga dengan orang-orang lainnya yang menempati goa itu. 

“Jangan menangis,” bisiknya riang. Kemudian bisikan membujuk lain mulai terdengar bersahutan. “Tapi aku lapar dan kedinginan,” desah bocah itu lirih. Semua tahu apa yang dirasakannya, namun, mereka –orang-orang yang dewasa itu – tetap menunjukan wajah sumringah. Senyum senantiasa mengembang, walau sorot mata mereka hanya menggambarkan kegetiran nan pedih. 

“Kami tahu, tapi toh kita mesti bersyukur karena bisa tetap bersama,” kata salah seorang tetua dengan berbisik tentunya. Namun, bocah itu tentu saja tidak memahami konsep hikmah seperti apa, yang dia tahu adalah tubuhnya yang kurus dan kudisan itu memerlukan makanan dan selembar selimut. Kata-kata sang tetua tenggelam dalam desis salju yang turun di luar sana, di hamparan ladang yang dulu, dulu sekali, ditumbuhi dengan kentang dan gandum.

Kini ladang di luar sana hanya berwarna putih belaka, tertutup timbunan salju setinggi lutut kaki dewasa. Isak sang bocah yang bercampur dengan desisan hujan salju seolah membelah keheningan yang mencekam. Berpuluh-puluh tahun sebelumnya, musim dingin tidak semenakutkan ini. Orang-orang masih bisa duduk di depan perapian untuk menghangatkan badan; vodka bagi para dewasa, dan susu atau cokelat hangat untuk umur yang lebih muda. Kenangan semacam itu masih melekat di dalam ingatan para tetua, dari kisah-kisah yang diceritakan oleh kakek atau nenek mereka sebelum Perang Besar terjadi. Mereka tidak pernah melihat langsung dongeng-dongeng menentramkan. Yang mereka alami dan lihat adalah saat pabrik-pabrik makanan atau tekstil atau lainnya diubah menjadi pabrik senjata. Kemudian, moncong senjata diarahkan, peluru dimuntahkan, dentuman meriam bersahutan dengan bom-bom yang jatuh dari langit layaknya rintik hujan. 

Manusia selalu sadar bahwa keinginan untuk menguasai bisa jadi merupakan insting purba yang selalu menuntut pemuasan tanpa kenal kata cukup, namun, nampaknya mereka tidak menyadari bahwa keinginan tersebut bisa sungguh kuat … terlalu kuat … amat sangat kuat. Hingga kemudian, mereka melihat apa yang tersisa dari peradaban hanyalah gunungan kenangan yang aus dan berkarat. 

“Peradaban akan lahir kembali dari puing-puing,” demikian kata seorang panutan dari beberapa abad silam. Semangat itu demikian membara. Namun, Rusia terlalu ambruk dan bangkrut untuk bisa menata kembali tatanan peradaban. Di tengah keputusasaan dan kebangkrutan, mereka kembali pada apa yang telah membawa kehancuran sejauh ini: teknologi. Apa yang mereka butuhkan dalam situasi seperti itu adalah sosok seorang pemimpin yang bisa menyatukan untuk kemudian, secara bersama-sama, bekerja untuk membangun kembali. Kemudian kitab-kitab tebal nan usang dibuka, makam-makam kuno pun digali. Satu nama Pemimpin Agung mencuat, dan didalam laboratorium-laboratorium yang masih tersisa, mereka lahirkan kembali sosok besar itu. 

Sang ibu ingat betul, dulu, ketika ayah dan ibunya sampai pada titik ini saat mendongeng, dia akan berteriak kegirangan. Namun, kini dia sadar kenapa kemudian orangtuanya akan menatapnya dengan sorot penuh kepedihan: cerita masih belum usai. Walau mereka tidak pernah menyelesaikan kisah itu, sang ibu yang tengah berusaha mendiamkan isak anaknya dengan wajah gembira bisa mengerti kenyataan yang ada. Kisah dengan akhir muram selalu membunuh harapan, untuk itulah, kisah semacam itu tak layak diteruskan. Orang-orang di masa itu telah membuat kesalahan besar. Yang mereka bangkitkan bukanlah sosok Penyelemata Agung, melainkan Iblis.

Derap langkah kaki terdengar dari kejauhan, dan sang ibu tak bisa menyembunyikan rasa cemas. Namun, semuanya telah terlambat. Di masa seperti sekarang ini, dinding-dinding yang bisu sekalipun merupakan hantu-hantu yang selalu mengawasi segala tindakan kontraproduktif. Kesedihan merupakan dosa terbesar yang harus diganjar dengan kematian tanpa pandang bulu. Dalam zaman ini, kesedihan adalah sebuah penghambat cita-cita.

Derap langkah kaki itu semakin dekat, kini. Dan kemudian, rombongan itu sampai sudah di mulut goa. Sang Iblis berdiri dengan wajah kaku di belakang para pengawalnya.

“Siapakah yang menangis itu?” suaranya sama dinginnya dengan badai salju paling badai sekalipun. Dia kemudian maju ke arah si anak yang setengah sekarat itu. Sepucuk pistol ia keluarkan dari jubah penuh tambalannya yang usang. 

“Sshh … jangan menangis.”

Si anak menatapnya, dan beberapa detik kemudian, disertai letupan keras, sebutir peluru bersarang di antara dua matanya.

Kematian, dalam hal apapun tak pernah sepele. Dia selalu menghadirkan kesedihan. Wajah-wajah renta di goa itu –kecuali rombongan dari sang penembak- tak mampu menyembunyikan kesedihan dengan topeng-topeng suka ria. Isak tangis pun pecah sudah.

Sang penembak menatap salah satu bawahannya yang bertubuh gempal dan pendek itu. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan,” katanya datar.

“Tidakkah hal ini terlalu berlebihan, Koba? Kita butuh tenaga lebih untuk bekerja di ladang-ladang.”

“Dan para tenaga itu juga perlu makanan untuk dijejalkan pada mulutnya.”

“Tolong pertimbangkan-“

“Sejak kapan kau jadi lunak, kawanku Molotov?” potong pria dengan kumis tebal yang khas itu. “Manusia Cuma biang masalah. Semakin sedikit manusia, semakin sedikit pulalah masalah.”

“Jika kau ingin semua manusia bahagia … “ Molotov, si gempal itu tahu benar apa kelanjutannya. Hanya saja, kata-kata itu seingatnya hanyalah berupa kelakar kasar yang dilontarkan kawannya di sebuah istana di Kremlin dulu. Namun, mereka telah menghapus sisi lunak darinya. Tidak mudah untuk membuat plihan di zaman yang sungguh keras itu: zaman yang keras, dalam pikiran mereka, membutuhkan pemimpin yang keras. 

“-bunuh semua yang tidak bahagia.” Kata sang Pemimpin Besar merampungkan kalimatnya.

Molotov bergeming. Dia menatap lekat mata kawannya itu, dan tak menemukan secuilpun belas kasih di dalamnya.

“Kalian dengar titah Stalin. Laksanakan secepatnya.”
***

Keterangan gambar: Molotov, Stalin and Voroshilov, June 25, 1937

CreepypastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang