Aku berpikir: aku tak mau kehilangan gaji hanya karena melanggar aturan konyol soal tidak boleh bicara, jadi aku berbohong. "Tentu saja tidak, pak."
Komandanku kelihatan sangat lega. "Bagus, bagus. Dan kalau wanita itu datang lagi, jangan pernah balas bicara, mengerti? Itu berlaku untuk kalian semua."
Suasana penuh canda di markas mendadak berubah; semuanya terdiam. Aku bingung, tapi aku juga capek, jadi aku memutuskan untuk pulang dan tidur saja.
Beberapa shiftku selanjutnya berlalu tanpa insiden, dan masih membosankan. Wanita itu tak terlihat dimanapun, dan aku segera melupakan insiden itu, terutama karena pacarku akan datang dari Belanda untuk menginap di rumahku.
Pada hari Selasa dini hari, sekitar pukul 3, aku terlonjak bangun oleh suara gedoran di pintu depan. Aku melihat ke samping; pacarku rupanya sudah datang dan masuk ke bawah selimut di sampingku, tertidur nyenyak sekali, jadi dengan masih setengah tertidur, aku tersaruk-saruk menuju pintu depan.
"Siapa?" tanyaku serak sambil mengintip lewat lubang intip pintu. Tapi di luar terlalu gelap dan aku tak melihat siapapun, dan ini membuatku tersadar. "Siapa?" Aku bertanya lagi, tapi tak ada jawaban, hanya suara gedoran yang makin kencang.
"Brengsek," ujarku sambil membuka pintu.
Ada sejuta hal yang kuduga akan kulihat di depan pintu, tapi bukan orang ini.
Pacarku.
Lalu aku tersadar.
Dia tidak berencana ke rumahku sendiri. Harusnya aku yang menjemputnya di bandara.
Kakiku lemas. Otakku serasa berkabut saat pikiranku berpacu, berusaha mencerna apa yang terjadi.
"Terima kasih sudah menjemputku, brengsek," ujar pacarku marah sambil menghempaskan tas tangannya ke lenganku. "Aku terbang jauh-jauh dari Amsterdam ke sini, dan kau lupa menjemputku? Yang benar saja."
Aku tidak mendengarnya. Aku masih ngantuk waktu bangun dari tempat tidur, tapi ya, ada orang di sampingku, dan aku tidak mimpi.
"Tunggu di sini," gumamku sambil menyerahkan kembali tas pacarku.
"Ada apa?"
"Tunggu saja di sini."
Aku tak tahu darimana aku mendapat keberanian untuk pergi ke kamarku, tapi toh aku melakukannya. Yah, aku tahu apa yang kau pikirkan. Di film-film, ada adegan aktor yang masuk ke kamar yang gelap, tapi kamarnya ternyata kosong, 'kan? Seandainya saja.
Ketika aku masuk kekamarku, suasananya gelap. Tapi aku bisa mendengar suara napas. Napas yang berat. Gemetaran, aku memencet tombol saklar lampu.
"7, 6, 5, 7, 6, 5."
Suara bisikan itu datang dari pojok kamar. Wanita sialan itu. Dia berdiri tegak seolah di lem, dengan punggungnya menempel di dinding. Dia memelototiku.
"7, 6, 5," bisiknya saat dia mulai melangkah pelan ke arahku. Mulutnya terbuka sangat lebar, seolah melepaskan jeritan tak terdengar. Setiap kali kakinya melangkah, dia akan menutup mulutnya sedikit, cukup untuk sekedar mengucapkan "7, 6, 5."
Aku tak bisa bergerak. Wanita itu masih berjalan menghampiriku. Sungguh mengerikan. Aneh sekali; harusnya aku bisa saja merobohkannya, 'kan? Aku sudah siap melakukannya. Tapi rasa takut ini adalah sesuatu yang sangat aneh sekali. Tahu maksudku? Aku tahu dia tak melukaiku secara fisik, namun aku masih ketakutan. Apalagi, aku sempat tidur di sebelahnya.
Dia semakin dekat. Aku ingat posisi tubuh yang condong itu. Wajah hanya seinci dari wajahku. Napasku tersengal-sengal.
"7, 6, 5..."
"APA ITU!?" Mendadak kudengar seseorang berteriak. Pacarku.
Aku tersadar, berbalik, dan menggenggam lengan pacarku. "Lari!" Teriakku, dan kami pun kabur. Kami lari ke dapur dimana aku meraih sebilah pisau. Pacarku menangis diam-diam di sampingku, tak bisa berbicara. Lalu, aku mendengar langkah kaki.
Pertama, aku melihat bayangannya. Lalu aku melihatnya berjalan pelan di lorong. Mulutnya masih terbuka dalam pose tidak alami, dan dia tidak lagi melihatku. Matanya terarah ke langit-langit saat dia perlahan tersaruk-saruk menuju pintu. Kepalanya masih bergetar.
Menakutkan sekali. Bayangkan saja; wanita itu menghantuiku minggu lalu, dan sekarang muncul di rumahku pukul 3 pagi, dan aku sempat tidur di sebelahnya selama entah berapa lama. Ketika dia akhirnya pergi, aku berlari ke pintu dan membantingnya sampai menutup. Pacarku masih ketakutan. Dia bersamaku. Dia melihat wanita mengerikan itu sekali saja, dan dia langsung tahu ada yang salah. Aku ketakutan, tapi aku tak mau memperlihatkannya pada pacarku.
Bagian paling menakutkan dari semua ini adalah fakta bahwa pekerjaanku mengharuskanku berdiam diri dan tidak bereaksi pada sekelilingku. Aku menceritakan semuanya soal wanita aneh itu pada pacarku, tapi tidak soal bisikan "10, 9, 8, 7, 6, 5," itu. Aku tak mau menakutinya lebih jauh.
Karena, apa lagi itu kalau bukan hitungan mundur?
#FinalChapter
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta
HorrorA creator of paranoid #1 Highest Rank [25052018] #2 in horror [07052018]