“Apatis.”
Kalimat sederhana yang sangat tak bernilai, tidak begitu sering di ucapkan dan gampang untuk di lupakan, namun kehadiranya tidak bisa di umbar oleh bibir-bibir yang bersandiwara, karena kalimat kecil ini, yang sederhana maksudku, hanya bisa di lihat dengan sebuah tindakan. Kupikir, tidak, sebenarnya lebih tepatnya aku yakin, kalimat ini atau apapun yang mendeskripsikan tentang kalimat ini, sudah tidak ada. Ya, itu hanya kalimat sederhana yang tertulis rapi di buku-buku kesastraanku.
Intinya, apapun yang mengarah pada deskripsi kalimat di atas, itu hanya omong kosong. Sekali lagi, omong kosong.
Hari ini, setidaknya sebelum aku benar-benar berbaring di atas ranjangku, aku melakukan hari-hari seperti biasanya, seperti kebanyakan anak gadis. pergi ke sekolah, kemudian membaca ulang pelajaranku, kemudian bermain game selama 30 menit dan sebagainya. (Ibu bilang; game itu baik, namun harus mengenal waktu. 30 menit sehari itu cukup). Tidak ada yang istimewa, ataupun menarik, mengingat, aku sudah hidup seperti ini selama 14 tahun bila di hitung sejak aku bisa berjalan.
Pagi hari tadi aku memulai segalanya, aktifitasku yang monoton. Bersiap menuju ke sekolah, lalu membaca buku atau apapun itu yang selalu kuulangi lagi dan lagi, namun sebelum memutar handle pintu, Ibu akan mengatakan kalimat biasa yang dia katakan kepadaku, setiap pagi, siang atau malam, kalimat yang sama dan selalu sama setiap aku berdiri di daun pintu, bersiap untuk memutar handle.
“Setelah bel pulang sekolah, langsung pulang. Tidak ada permainan atau apapun. Ingat!! langsung pulang” matanya condong kearah mataku, dan aku selalu mengerti. Mengerti maksud ucapan dan tatapanya.
Jadi, aku mulai keluar.
Aku tinggal di sebuah bangunan gedung tertutup dengan Lift atau tangga untuk naik, tidak ada yang bagus, hanya biasa, selalu pemandangan yang biasa. Hari ini jalanan cukup ramai, aku bisa melihat setiap detail wajah-wajah muram itu, dengan rambut acak-acakan, terkadang menggunakan mantel musim panas, membawa koper atau tas, berjalan saling melewati satu sama lain dengan wajah menunduk menatap ponsel mereka.
Seperti biasanya, perjalananku ke sekolah membutuhkan waktu 10 menit, hanya perlu menyebrang jalan lalu berbelok di antara gedung besar, dan di baliknya ada Taman kota, setelah tempat itu, tepatnya di antara missutes, adalah sekolahku. Sekolah yang biasa juga.
Aku berhenti di penyebrangan jalan bersama orang-orang yang lebih tertuju pada ponsel mereka masing-masing, tidak ada obrolan, atau gumaman, hanya keheningan dengan klakson-klakson mobil yang saling adu cepat untuk lewat, saat itu, aku melihat di seberang jalan. Seorang pemuda, dengan jaket beludu biru, wajahnya tampak panik, berbeda dengan orang-orang di sampingnya, dia lebih terlihat memiliki warna di antara kerumunan orang-orang di sampingnya. Dia terus melihat ke punggung tanganya, tepatnya, melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganya, lalu menoleh ke kiri dan ke kanan, kemudian ke jam di tanganya lagi, terus menerus, sampai aku menyaksikan dia memulainya dengan satu langkah kecil. Aku melihat ke lampu jalan, “masih merah” gumamku.
Pria itu memberikan satu langkah lagi, lalu merentangkan tanganya seolah-olah mengatakan “Beri—aku jalan, aku mohon, aku sedang di kejar oleh waktu.” Ke arah mobil-mobil yang melaju kencang, dengan klakson-klakson gila yang semakin terdengar bising.
Hingga, satu hempasan, membuat pemuda itu terpelanting, terhempas dari tengah jalan, tubuhnya membentur aspal dengan keras, si mobil berhenti untuk beberapa detik. Aku menatapnya dengan nafas tersenggal-senggal. “Apakah dia mati” aku hanya bisa membatin menyaksikan itu. Pemuda itu tidak bergerak, tidak sampai beberapa saat ketika aku melihat jemarinya gemeretak bergerak kecil, nyaris tidak terlihat. Aku menatap ke sekeliling, dimana wajah semua orang sudah tertuju pada pemuda itu.
Si mobil masih diam, sedangkan mobil-mobil lain masih bergerak namun mengurangi sedikit kecepatan. Aku mengamati orang-orang, namun tidak ada satupun dari mereka yang bergerak atau memanggil ambulance atau menarik pemuda itu ke pinggir jalan. Tidak, sampai, tubuhnya yang berdarah-darah terseok-seok mencoba berdiri, kakinya gemetar, aku tahu. Dia pasti kesakitan, tiba-tiba secara cepat, si mobil kembali melaju, kali ini tepat di perutnya sampai dia terpelanting lagi kali ini ke belakang setelah aku yakin pemuda itu menghantam kaca depan, sampai menimbulkan suara gemerecah kaca yang pecah. Kemudian semuanya menjadi hening—aku yakin pemuda itu sudah tewas.
Lampu sudah berganti menjadi hijau, dan orang-orang mulai berjalan lagi, dengan wajah mereka yang kembali melihat ke ponsel-ponsel mereka. Aku berjalan di antara mereka, ketika melewati pemuda yang sudah tidak bergerak, seharusnya dia tahu. Tahu, bila apapun yang terjadi kepadamu, tidak akan ada yang peduli. Tidak pada jaman ini.
Ini adalah kejadian yang biasa, sangat biasa bahkan. Kadang aku melihat wanita yang melompat dari gedung, lalu hancur dengan kepala membentur beton. Tidak ada yang peduli, tidak untuk menolong wanita itu, kadang kala, aku melihat seorang bocah, di seret oleh segerombolan pria asing berotot dan menyeret bocah itu ke dalam mobil Van, tidak ada yang peduli, sekalipun bocah itu berdiri tepat di samping pos milik kepolisian.
Yang lebih buruk lagi, ketika kau melihat suami-isteri berkelahi brutal, bahkan karena keberutalanya, kau bisa menyaksikanya dengan kepalamu sendiri di depan rumahnya, bagaimana si suami mencekik isterinya sampai isterinya mencengkram lemah lengan suaminya, menatap kesana—kemari dengan bola mata putus asa, berusaha mengatakan pada setiap orang yang lewat tentang “Tolong, tolong, tolong” namun semua orang hanya melirik, melewatinya begitu saja, kembali ke kehidupan mereka masing – masing. Aku tahu. Ini Gila.
Jadi hari ini, setelah aku pulang dari sekolah, aku memutar knock pintu, melihat ibuku sudah menunggu dan aku sudah hafal apa yang akan dia katakan. “Ada kejadian yang mau kau ceritakan sayang??”
Maka, aku hanya akan menjawab “Tidak ada yang istimewa bu, seperti biasanya. Semua normal, hanya saja hari ini ada pemuda malang yang tertabrak mobil di tengah jalan. Aku yakin tubuhnya sudah hancur, karena aku juga yakin, tidak akan ada juga yang mau repot-repot memindahkan mayatnya” lalu aku berbaring di ranjangku, membaca buku lagi. Tentang—“Kau harus menjadi Apatis”
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta
HorrorA creator of paranoid #1 Highest Rank [25052018] #2 in horror [07052018]