Phone Addiction

4.5K 345 13
                                    

Istriku mengatakan bahwa aku kecanduan pada ponsel, namun aku juga bisa mengatakan hal yang sama padanya. Sebab, seperti inilah dunia yang kita tinggali sekarang, bukan? Begitu banyak hal yang perlu dicek atau dikomentari di Facebook, Twitter, Instagram, dan yang lainnya. Gampang sekali untuk lupa waktu saat berselancar lewat smartphone. Secara pribadi, aku tak melihat adanya hal membahayakan darinya, namun, hal itu merupakan bahan perdebatan utama dalam pernikahan kami.

“Demi Tuhan! Bisa kau letakan ponselmu sebentar dan membantuku?!” jeritnya dari kamar. Bayi kami menangis, dan hal itu sudah berlangsung sejak beberapa waktu lalu, namun artikel mengenai Virginia Wolf benar-benar menarik.

“Aku butuh istirahat sebentar,” ujarnya dengan nada menyebalkan sambil menyorongkan putri kami yang berumur duabelas minggu dalam gendonganku. “Pastikan dia tidur saat aku pulang nanti. Tak usah dimandikan.” Istriku melenggang pergi setelah meraih kunci mobil. Kemudian, entah untuk keberapa kalinya, dia mengingatkanku dengan cerewetnya agar jauh-jauh dari ponsel. 

Putriku masih terus saja memberontak dalam gendonganku, jadi kuputuskan untuk memandikannya: sesuatu yang tak pernah gagal untuk menenangkannya. Istriku memang mengatakan agar tidak usah memandikannya, tapi aku tak perduli. Keran air kubuka, dan sebelum memasukan putriku ke dalam bathtub, kupastikan suhunya pas. Air hangat bercampur busa membuatnya begitu girang. Dia mencipratkan air ke mana-mana, tertawa dan menggumam. Suara yang ia buat saat mandi merupakan hal yang sangat kusukai.

Iphoneku bergetar, mungkin notifikasi dari salah satu akun media sosialku. Benar saja, berderet komentar memenuhi foto putriku yang kuunggah di Instagram. Setelah itu, aku mengecek Facebook, kemudian Twitter, dan berlanjut dengan melihat-lihat akun lain yang kuanggap menarik. Pemberitahuan lain muncul pada layar Iphoneku, “Baterai tersisa 20%.” Cepat sekali! Waktu benar-benar melaju layaknya pesawat supersonik saja di sini.

Tentu saja, aku tersadar akan kesalahan yang kubuat. Aku tak ingin melakukannya, aku benar-benar berusaha sangat keras untuk menghindarinya, namun kupaksa diriku untuk memeriksa bak porselen dingin di kamar mandi. Putriku tidak mencipratkan air, tertawa, menggumam, atau bahkan menangis. Dari ruang tamu, kudengar suara pintu depan yang tertutup. Kudengar istriku meletakan kunci mobil. 

Rasa panik kini menguasaiku, jantungku berdegup kencang. Sungguh, aku tak tahu bagaimana cara mengatakan padanya bahwa aku telah melakukan kesalahan ini lagi. 
***

CreepypastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang