####
Seminggu kemudian
Chanyeol masih belum melupakan Shindy dari hatinya. Dan selama seminggu itu juga dirinya selalu menyempatkan diri berkunjung kemasjid yang pernah ia datangi bersama Shindy.
Masjid bercat putih yang megah itu selalu menenangkan hatinya. Jika ia sudah selesai melakukan kegiatannya bersama member grupnya atau pekerjaan yang lain juga selesai. Ia pasti akan berada disana. Bahkan ia menghafal waktu-waktu adzan dikumandangkan.
Adzan
Yah, Chanyeol mengetahui itu. Ia mencarinya diinternet. Adzan adalah panggilan atau pengingat jika sudah waktunya untuk berdoa kepada Tuhan, agama orang islam.
Hati Chanyeol terus merasa tenang jika sudah mendengarkan adzan.
Seperti sore ini, ia berada dikursi panjang yang berada dipinggir jalan juga depan masjid. Ia memakai masker hitam, topi hitam serta kacamata hitam. Ia yakin penggemarnya pasti mengenalinya tapi ia beruntung, sejauh ini tidak ada yang mengenalinya atau ada berita buruk tentangnya.
Chanyeol menatap tulisan hijau dengan huruf yang ia tahu itu huruf yang berada di dalam kitab agama islam juga tulisan yang pernah ia lihat di Arab saudi.
"Apa sebaiknya aku masuk islam? Jika sudah islam aku pasti bisa menikah dengan Shindy. Yah benar itu, hatiku seperti berdebar mendengarkan adzan. Jika aku islam aku bisa menikah dengan Shindy, bersama dengannya selamanya. Kau alasanku menjadi islam" ujarnya seraya menutup matanya. Ia akan menjadi mualaf dan Shindy menjadi alasan utamanya saat ini.
Niat awal yang salah
Ia harus masuk kesana, ke masjid megah itu. Dan mengatakan jika ia akan menjadi orang islam. Tentang orang tua dan teman-temannya atau bahkan penggemarnya. Ia pasti akan memberitahunya. Ia akan menerima apapun yang akan terjadi setelahnya. Untuk saat ini. Ia harus menjadi orang islam.
Dibalik kacamata hitamnya, ia menangkap seorang wanita yang ia kenali wajahnya keluar dari masjid. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tersenyum dibalik maskernya.
Ayana
Chanyeol sangat bersyukur bisa bertemu dengan Ayana. Ayana pasti akan membantunya untuk menjadi orang islam. Ayana juga pasti bisa mengajarinya, mengajari banyak hal tentang islam.
Chanyeol bangkit dari duduknya, melangkah dengan cepat mendekat kearah Ayana.
"Anyeong..." sapa Chanyeol dibalik maskernya.
Ayana hanya melihatnya lalu mengendikan bahunya. Ia tidak mengenal pria itu. Jadi mungkin pria itu akan bermaksud lain yang akan membahayakan dirinya. Lebih baik ia menjauh.
Ayana melangkah menjauh dari Chanyeol.
"Hey tunggu" Chanyeol menarik tangan Ayana, membuat siempunya menghentikan langkahnya dan menarik tangannya dari cengkeraman tangan besar milik Chanyeol.
"Jangan menyentuhku atau aku akan berteriak!" Ancamnya penuh ketegasan. Baginya, ia bukan patung yang mudah disentuh.
Dan lagi agamanya melarangnya untuk bersentuhan dengan yang bukan mahramnya. Itu zina. Dan sebagai hamba Allah, sebaik-baiknya hamba adalah yang menjauhi zina. Karena akan sia-sia ibadahnya selama 70 tahun jika kau mendekati atau bahkan melakukan zina. Naudzubillah.
"Aku Chanyeol" Chanyeol membuka masker dan kacamatnya, "lihat aku Chanyeol, jadi jangan berteriak. Aku tidak akan menyakitimu" Chanyeol memakai kembali kacamata hitamnya juga maskernya.
"Ada perlu apa tuan idola" Ayana menghela nafasnya, bersyukur. Ternyata orang itu Chanyeol. Orang yang ia kenal.
"Aku ingin meminta bantuanmu"
"Bantuanku?" Ayana mentajamkan pendengarannya. Chanyeol meminta bantuannya? Benarkah?
"Ya. Aku ingin kau membantuku"
"Kau tidak berniat membuatku kesal lagi kan tuan?" Tanya Ayana penuh selidik.
Chanyeol menggeleng
"Baiklah" Ayana mengangguk, "apa yang bisa aku bantu"
"Aku ingin menjadi orang islam" jawab Chanyeol mantap.
Hah?
####
Gadis cantik berhijab cokelat itu tengah menatap pemandangan dibalik jendela kamarnya. Pemandangan yang selalu hadir menyapanya setiap hari. Pagi siang malam, ia akan selalu menyukai pemandangan itu.
Klik
Ia membuka jendela kacanya. Menatap lebih jelas beberapa santri putri yang berlalu lalang kesana kemari. Mereka semua baru saja selesai mengaji dan bersiap antri makan sore ini. Semuanya berbaris, ada juga yang masih berjalan kesana kemari. Kegiatan yang selalu ia sukai dulu saat dirinya diusia mereka.
Shindy mengingat kembali saat dirinya menjadi santri. Masa-masa indah yang tak pernah sekalipun ia hilangkan dari ingatannya. Ia bersyukur karena menjadi salah satu santri abahnya. Mengenal pondok pesantren yang selalu menentramkan hati juga jiwanya.
Banyak orang mengatakan gunakan waktumu untuk melakukan apa yang membuatmu bahagia dimasa mudamu. Karena jika sudah tua kau tidak akan bisa melakukannya lagi.
Dan Shindy bersyukur masa mudanya ia gunakan dengan begitu baik menurutnya. Berada dipesantren. Belajar ilmu umum juga agama untuk bekal dunia juga akhiratnya. Semuanya membuat dirinya begitu tenang dan senang menjalaninya.
Sebenarnya ia memiliki cukup uang untuk membeli rumah didekat rumah sakit tempat kerjanya. Tapi ia memilih untuk menabung. Karena ia lebih suka berada dipesantren.
Jika ia akan pergi bekerja, ia akan menggunakan motornya. Jarak dari pesantrennya menuju rumah sakit tempat ia bekerja hanya memakan waktu satu jam. Sejauh ini ia menikmatinya.
Abah kyainya juga melarang dirinya untuk pergi dari pesantren kecuali jika dirinya sudah menikah. Dan dia bahagia dengan dirinya yang memang tidak menyukai dunia luar yang bebas.
Tok tok
"Assalamu'alaikum" Sapa seseorang yang membuat Shindy menoleh.
"Wa'alaikumsalamsalam. Silahkan masuk Ning Ira" Shindy tersenyum menatap gadis cantik yang lebih mudah darinya berjalan mendekat kearahnya. Itu Ningnya, anak terakhir abah kyainya.
"Apa yang kakak lakukan" Ning Ira berdiri disamping Shindy. Gadis yang masih menjadi salah satu mahasiswi di universitas agama di jakarta itu ikut menatap kearah pandang Shindy.
"Menatap para santri. Apa yang membuatmu datang kekamarku Ning. Tidak biasanya?" Shindy menatap Ning nya dengan tatapan tulus. Ning Ira sudah seperti adik baginya. Mereka tumbuh bersama dipesantren, Shindy dan Ning Ira begitu dekat.
"Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu" Raut wajah Ning terlihat sedikit gelisah. Ia hanya takut akan memulainya dari mana.
"Katakanlah" Shindy mengusap pundak Ning Ira. Ia lihat raut wajah Ning Ira.
"Ada seseorang yang akan datang mengkhitbah"
Shindy tersenyum. Ningnya akan segera menikah. Ia ikut bahagia.
"Selamat. Kau akan lebih dulu menikah Ning" Shindy tersenyum hangat.
"Bukan aku kak, tapi kau. Seseorang akan datang mengkhitbahmu"
Hah?
"Dia sudah dua kali datang mencarimu. Bahkan saat kejadian kau dituduh teroris, ia membantumu disini. Membantu abah"
Shindy masih diam dalam keterkejutannya.
Siapa dia?
Jodohku kah?
Apa aku mengenalnya?
"Kau tidak mengenalnya tapi dia mengenalmu"
Ning Ira seperti tahu apa yang Shindy pikirkan. Terlihat jelas dari wajah Shindy yang masih diam tanpa bereaksi.
"Dia akan datang bersama orang tuanya. Dia akan datang setelah sholat isha. Kakak bersiaplah, siapkan hati. Aku pergi, Assalamualaikum" Ning Ira memilih meninggalkan Shindy, ia memahami situasi itu. Mungkin Shindy memang butuh waktu sendiri untuk saat ini.
"Wa'alaikumsalam" Akhirnya tenggorokan yang seperti tersedak makanan itu pun akhirnya buka suara. Itupun begitu lirih.
'Benarkah ini waktu yang tepat untuk jodohku datang menjemputku?' Batin Shindy yang mencoba menormalkan tubuhnya juga nafasnya. Ia terus beristighfar dalam hatinya. Ini terlalu mendadak.
Takdir Allah selalu datang tanpa kita tahu bahkan tanpa kita sadari sebelumnya.
####
"Aku serius. Ayolah, bantu aku" Chanyeol berharap.
"Subhanallah..." wajah Ayana berbinar, rasa syukur itu keluar dari hati dan mulutnya. Ada seseorang yang ingin mengenal Tuhannya, "kau sedang tidak berbohong kan?"
Tentang Shindy ia tak mungkin berbohong tentang niatnya.
Chanyeol menggeleng pasti
"Jika memang benar niatmu untuk menjadi mualaf, aku akan membantumu. Ikut aku, kita baca dua kalimat syahadat"
"Syaha.... -" Chanyeol baru pertama kali mendengar kata itu. Apa itu?
"Sya-ha-dat. Itu kalimat yang memiliki arti 'saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul (utusan) Allah' . Seseorang yang akan masuk islam diharuskan membaca dua kalimat. Aku pernah melakukannya, saat pertama kali memutuskan untuk menjadi mualaf"
"Mualaf? Apa maksudnya itu?" Chanyeol bertanya kembali.
"Seseorang yang memutuskan untuk menjadi orang islam. Seseorang yang sudah yakin dengan Allah"
Tentang gadis bernama Shindy, Chanyeol selalu yakin. Pasti.
"Baiklah, ayo kita lakukan sekarang. Aku ingin belajar banyak hal tentang islam"
Ayana mengangguk. Ia berjalan lebih dulu, Chanyeol mengikutinya. Mereka memasuki masjid.
#####
Shindy baru saja melaksanakan sholat maghribnya. Kedua tangannya ia tengadahkan didepan dadanya, menghadap sang Pemilik alam semesta.
"Ya Allah, ampunilah dosaku juga dosa kedua orang tuaku. Tempatkanlah mereka bersama orang-orang yang beriman. Amiin. Semoga hamba bisa mati secara khusnul khotimah." Ujarnya lagi.
Tiba-tiba air matanya menetes melewati kedua pipi mulusnya, "ya Allah ya Robbaul izzati, apakah kini sudah saatnya untuk aku menikah? Diakah seseorang yang akan mendampingiku selamanya? Dia kah yang akan menjadi imamku dunia akhirat? Diakah seseorang yang yang akan mengemban tanggung jawab atas diriku? Jika memang benar ia yang Engkau takdirkan bersamaku. Teguhkan hatiku atas pilihan-Mu ya Allah. Agar aku tidak salah untuk memilih. Amiin"
Semoga ini akan menjadi jalan takdirnya, dan semoga ini saatnya dirinya menjalankan sunnah Rosul. Ia akan berusaha untuk ikhlas. Walaupun tidak semua orang bisa menjalankan ikhlas yang benar-benar ikhlas. Tapi ia akan berusaha. Menyerahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah. Sang maha pemilik hati.
Next...Buat Typo yang bertebaran. Maafkan saya *bow
04112017
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BEST WAY | Park Chanyeol
RandomShindy habibah. Seorang dokter muda asal indonesia yang berkunjung untuk pertama kalinya ke Korea selatan. ia tak tahu tentang bahasa korea, hingga ia bertemu dengan seseorang yang tahu tentang islam namun ia bukan muslim. ia adalah seorang anggota...