Bab 10

177 54 2
                                    


Tristan

Hari pun berganti, bulan dan matahari selalu menghiasi langit secara bergantian, kini genap sudah satu bulan lamanya aku bolak-balik rumah sakit bersama Tisya. Apa selama sebulan ini ibunya sudah sadar? Jawaban adalah belum, ibunya Tisya sama sekali belum sadar dari komanya selama sebulan ini dan selama itu juga aku selalu menemani Tisya di rumah sakit.

Urusan administrasi rumah sakit aku yang menanggungnya, selama bersama Tisya aku tak mengizinkan suster membicarakan masalah biaya rumah sakit kepadanya. Kenapa? Karena aku tak mau menambahkan bebannya, aku selalu melihat dia menangis setiap malam di taman rumah sakit seorang diri. Sedih pasti rasanya menjadi Tisya, putus asa? Mungkin saja dia merasakan itu tapi sepertinya dia percaya kalau ibunya akan sembuh dari komanya dan dapat memeluk dia kembali. Itulah sebabnya aku tak mengizinkan suster berbicara kepadanya tentang masalah administrasi dan apalah yang sejenisnya. Tak masalah bagiku mengeluarkan uang banyak untuk membayar pengobatan ibunya Tisya, toh Tisya bilang kelak dia akan membayar semuanya walaupun aku tau dia tidak akan bisa membayar semuanya.

"Dari awal ibu masuk rumah sakit sampai sekarang, setiap malam kamu selalu ada di sini menemaniku. Sudah satu bulan bahkan mungkin lebih kamu selalu menghabiskan malam di rumah sakit denganku. Kamu nggak pulang ke rumah?" Entah sejak kapan Tisya duduk di sampingku, seingatku tadi aku duduk di taman rumah sakit sambil menatap bintang seorang diri dan tiba-tiba saja pertanyaan Tisya membuyarkan lamunanku. Sejak kapan aku melamun?

"Nggak mungkin gue ninggalin lo sendirian di rumah sakit, kalau lo butuh bantuan gimana?" Aku bertanya balik kepadanya. "Lagian gue udah izin juga sama orang tua. Dan ya, lo lihat 'kan sekarang gue pake baju bebas bukan seragam sekolah? Itu tandanya gue pulang ke rumah untuk ganti pakaian" sambungku lagi.

Dia menganggukkan kepalanya, "Kalau kamu kangen rumah dan kamar kamu, kamu bisa pulang kok. Aku nggak apa-apa di sini, lagi pula ada suster dan dokter yang bisa bantu."

Alisku terangkat sebelah, "Jadi ceritanya sekarang lo ngusir gue setelah semua yang telah gue lakukan untuk lo? Tega banget ya lo!" Ucapku penuh dengan drama. Sangat menjijikkan sekali.

"Kamu itu galak tapi ternyata hatinya hello kitty ya, lucu! Aku kira kelebihan kamu cuma mukul orang, tapi ternyata kamu bisa lucu gitu, omongan kamu juga kadang bijaksana dan kamu baik" ucap Tisya memujiku terdengar tulus. "Oh iya, aku lebih suka nada bicara kamu yang datar atau seperti layaknya seorang Tristan yang di kenal orang banyak, kalau nada bicaramu kayak tadi nggak pantes. Terdengar horror jadinya" sambung Tisya lagi sambil tertawa geli sekali.

Tisya tertawa karena candaanku! Bibirnya yang tipis begitu indah, hidungnya yang agak mancung, bola matanya yang hitam tapi ke cokelatan, rambut hitam legam sebahu yang menari karena hembusan angin. Jantung ini mendadak berdegup kencang saat melihat wajahnya, apalagi saat dia melemparkan senyumannya! Ayolah jantung berhenti berdegup maraton seperti ini, aku takut Tisya bisa mendengarnya, bisa-bisa pamorku turun di depan Tisya kalau begini. Astaga Tuhan, ciptaanmu sungguh sempurna! Suara tawanya terdengar lepas sekali setelah satu bulan ini. Suara tawa itu mampu membuatku mematung terpesona mendengarnya! Suaranya seakan menyihirku dalam waktu sekejap saja.

"Tristan" ujar Tisya sambil menjentikan jarinya di depan wajahku dan membuyarkan lamunanku lagi. "Ha? Ya? Ke..kenapa?" Seketika aku menjadi gugup, apa Tisya tau kalau aku memikirkannya? Apa dia tau kalau aku melamunkannya? Kuharap dia tidak tau.

"Kamu marah ya sama aku?" Tanyanya terdengar khawatir. Aku menggeleng, "Marah? Untuk hal apa?"

"Tadi aku sudah bilang kalau kamu kayak hello kitty dan tiba-tiba kamu langsung diem gitu. Kamu marah 'kan? Maafin aku, nggak lagi-lagi deh ngomong kayak gitu" Tisya memelas. Mengangkat jarinya ke udara membentuk huruf V. Aku menghembuskan napas lega karena Tisya tidak tau alasanku diam tadi.

"Nggak kok gue sama sekali nggak marah. Lagian hello kitty not bad, justru lucu. Jadi nggak usah minta maaf atau merasa bersalah gitu ya" tuturku dan dia menganggukkan kepalanya.

Sejak ibu Tisya masuk rumah sakit, aku selalu menemani Tisya dan sejak beberapa hari yang lalu hubunganku dengan Tisya juga membaik bahkan lebih baik, bisa di bilang mungkin menjadi teman ya walaupun bukan sahabat. Tapi setidaknya hubunganku dengan Tisya naik satu tingkat yang tadinya sebagai seorang musuh kini menjadi seorang teman. Ini semua berkat ibundanya Tisya. Entah aku harus merasa senang karena masuknya beliau ke rumah sakit malah membuat hubunganku dengan Tisya menjadi dekat, atau harus merasa kasihan dan bersedih karena beliau masuk rumah sakit. Tapi yang jelas keadaan hati ini bercampur aduk, berbagai rasa kini ada di hatiku, seperti permen nano-nano!

***

Semakin hari hubunganku dengan Tisya semakin membaik, perempuan yang memiliki bibir tipis itu selalu membuatku terpaku hanya dengan mendengar suaranya yang melengking. Aku tak mengerti sejak awal aku mendengar suaranya di koridor sekolah membuat sakit telingaku dan suaranya selalu bergema di telinga. Tapi kini seiring membaiknya hubungan kami, suara melengking miliknya tak lagi membuat telinga ini merasa sakit, justru suara itu terdengar begitu indah di telinga dan seperti yang kubilang 'mampu membuatku terpaku dalam sekejap saja!'

Kulangkahkan kaki gontai menuju ruang ICU tempat ibundanya Tisya di rawat. Aku melihat Tisya berdiri di depan ruang ICU, memperhatikan ibunya dari dinding kaca ruang ICU yang menghalanginya. Ibunya tak kunjung bangun dari komanya, Tisya selalu setia menunggu di depan ruang ICU dengan harapan ibunya bangun dari komanya bahkan kalau bisa sembuh dari penyakitnya.

Tanganku mendarat di pundak Tisya, "Makan dulu yuk." Dia menoleh dan kemudian kembali menatap ibunya sambil menggelengkan kepalanya.

Aku menghela napas berat, "Iya gue ngerti. Tapi lo harus tetep jaga kesehatan, kalau lo ikutan sakit, siapa yang akan jaga ibu lo." Dia menghela napasnya berat dan kembali menatapku, kuanggukkan kepala menyemangatinya. Kami berdua pergi dari ruang ICU, aku menuntun Tisya ke kantin rumah sakit untuk memesan makanan di sana.

Kami memesan makanan dan makan dalam diam. Usai makan, kutatap sebuah map merah yang terletak di sampingku. Sejak turun dari mobil dan makan di kantin rumah sakit, map merah ini selalu kugenggam, seolah-olah takut di ambil orang. Mungkin ini saatnya! Kuberanikan diri mengenggam tangan Tisya, aku melihat dia terkejut dengan apa yang kulakukan tapi dia membuatku senang karena tak menepis tanganku dari tangannya.

"Lo mau jadi pacar gue?" Tanyaku kepada Tisya setelah melakukan perang dengan hatiku. Aku melihat Tisya sangat terkejut dengan apa yang kukatakan, mata hitamnya terbelalak sempurna dan dia juga menarik tangannya dari genggamanku. Nyaliku menciut!

Dia menundukkan kepalanya. Lengang seketika. Sedetik. Dua detik. Sepuluh detik. Satu menit. Tak kunjung aku mendengar jawaban darinya dan membuatku semakin gelisah. Hubunganku dengannya sangat membaik, apa hubunganku dengannya akan kembali merenggang seperti saat pertemuan di koridor sekolah hanya karena aku mengutarakan pendapatku? Tatapanku beralih kepada map merah itu! Hanya map merah itu yang dapat menyelamatkanku sekarang! Kuambil map merah itu dan kuberikan kepada Tisya.

"Contract couple, bisa di bilang seperti itu, semuanya ada di dalam map merah ini. Budayakan membaca dulu sebelum mengambil keputusan dan pikirkan matang-matang" sambungku kali ini  menjelaskan.

Tisya menatap map merah itu lama sekali. Mengapa dia hanya menatap map merah yang kuberikan itu? Sepertinya seorang Tristan akan di tolak dan kembali di permalukan seperti saat di koridor sekolah. Mungkin aku harus memikirkan cara lain agar Tisya tak menolakku. Semangat Tristan! Kau pasti bisa! Eh tapi tunggu! Tangan Tisya bergerak ke arah map merah itu dan mengambil map merah itu. Dia mengambil map merah itu. Setidaknya ada harapan walaupun hanya kecil. Dia memeluk map merah itu dan berlalu dari hadapanku tanpa menatapku atau pun berpamitan denganku, bahkan dia sama sekali tak menjawab dan tak berbicara padaku.

****






Cieeee abang Tristan udah mulai jatuh cinta sama Tisya, make segala nembak gitu tapi di tutupin pake kontrak segala biar nutupin gengsi. VOMENT. Maaf kalau nggak suka. Terima kasih...

Contract Couple ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang