Bab 7

206 55 0
                                    


Tisya

Bau matahari yang tak sedang melekat di tubuh sedang menggelitiki hidung, beberapa saat yang lalu kelasku baru saja selesai jam pelajaran olahraga, kini kami ada di toilet untuk berganti pakaian putih abu-abu, itu yang menjadi identitas dari anak SMA. Tak lupa kusemprotkan sebuah parfum beraroma strawberry pada seragam putihku agar aroma matahari yang tak sedap itu tak berkuasa penuh di tubuhku.

Yuri dan Amel sudah pergi lebih dulu ke kelas karena mereka bilang ingin menyelesaikan tugas Biologi. Kami berdua berjalan bersama ke kelas. Delina yang berjalan di depanku berhenti, aku yang berjalan di belakangnya pun ikut berhenti dan melihat apa yang membuat langkah kaki Delina berhenti tiba-tiba. Mataku melebar melihat sesuatu yang menghalangi langkah kami.

"Kamu?" Aku bergumam kaget. Mau apa nih orang, bikin ulah lagi? Pikirku. "Awas!" sambungku sambil menggenggam tangan Delina dan pergi ke sebelah kiri cowok aneh itu kebetulan ada celah untuk lewat, tapi dengan sigap dia langsung menghalanginya, begitu pun yang terjadi selanjutnya saat aku pergi ke sebelah kanannya.

"Awas kek! Aku sama Delina mau lewat!" geramku.

"Teman lo boleh lewat, tapi lo nggak akan gue izinin buat lewat!" tangannya bersilang di depan dada bidangnya dan itu membuat cowok aneh ini semakin cool.

"Heh! Kamu pikir kamu itu siapa? Kamu pikir ini sekolah punya bapak moyang kamu? Jangan seenak jidat ya!" Aku semakin kesal dengan tingkah lakunya yang sangat aneh.

"Gue masih punya urusan sama lo pasal yang kemarin" ucapnya dengan penuh penekanan pada kata 'kemarin'.

Kupejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan emosi yang sudah sampai di ubun-ubun ini. "Tolong pasang telinga kamu baik-baik! Aku nggak punya urusan apa pun sama kamu, kemarin aku cuma sekedar membela dan menolong adik kelas itu!" ucapku ketus sambil menunjuk-nunjuk wajahnya yang menyebalkan dan minta di remas-remas itu. "Jadi sekarang awas, aku mau lewat!" sambungku lagi. Kugenggam tangan Delina yang sedari tadi hanya diam melihatku bertengkar dengan cowok aneh itu, lalu kami pergi ke kelas dan di Delina masih tak mengatakan apa pun di belakangku.

***

Kulipat seragam olahraga yang bau keringat dan kumasukkan ke dalam tas kecil yang selalu kubawa untuk tempat bekal dan baju. Mengingat apa yang terjadi di koridor kelas tadi membuat pikiranku sangat kacau sekali. Kupikir setelah kejadian kemarin, cowok aneh dan temannya itu akan insyaf atau apalah yang sejenisnya, tapi justru dia bilang urusannya denganku belum selesai. Dasar cowok aneh!

"Sya!" sebuah panggilan yang tak asing di telinga membuyarkan lamunanku.

Aku berdeham merespon panggilannya.

"Kamu punya masalah apa sama cowok yang di koridor tadi?" tanya Delina lembut sambil melipat seragam olahraganya.

"Kemarin setelah aku mengumpulkan tugas dari Miss Natalie ke kantor, di koridor aku lihat cowok aneh itu dan kedua temannya lagi mukul adik kelas. Aku kasihan sama adik kelas itu jadi aku menolongnya dengan embel-embel bakal melaporkan aksi pukul ini ke Miss Natalie. Singkat cerita adik kelas itu pergi, tapi saat aku mau balik ke kelas dia justru mendekatiku dengan wajah sinisnya. Dia nggak suka sama apa yang sudah aku lakukan, tapi ya bodo amat, aku nggak peduli" aku menjelaskan semuanya kepada Delina.

Delina menolehkan kepalanya, menatapku dengan tatapan yang aneh, aku sendiri tak mengerti apa maksudnya. "Kamu kenal siapa dia?" Aku menggeleng, toh memang aku sama sekali nggak kenal sama cowok aneh itu, "Nggak. Bahkan aku sama sekali nggak mau kenal sama dia" jawabku seadanya.

Delina menghela napasnya gusar, "Ini yang jadi masalah, Sya. Kamu nggak tau dan bahkan nggak kenal sama dia, sekarang kamu malah buat masalah sama dia. Kacau kamu, Sya" nada Delina terdengar 'khawatir'.

Lengang seketika melanda. Satu detik. Dua detik, kulihat mulut Delina terbuka dan akan kembali berbicara lagi, kutatap matanya yang memancarkan keseriusan. Aku mendengarkan cerita Delina selanjutnya tentang si cowok aneh itu. "Namanya Tristan Cristopher, dia anak tunggal dari keluarga Adiramanata" mataku terbelalak mendengar kata Adiramanata. Kutatap mata hitam Delina dalam-dalam dan ternyata dia tidak main-main dengan ceritanya. "Tidak mungkin" gumamku samar dan nyaris tak terdengar.

"Iya, Adiramanata, kamu nggak salah dengar dan aku nggak mengarang cerita. Dia anak dari pemilik Pelita Jaya, sekolah yang sekarang kita pakai untuk mendapatkan ilmu dan ijazah kelulusan. Dan ya, beasiswa kamu sepenuhnya atas naungan Adiramanata, keluarga anak cowok yang sudah kamu bentak-bentak tadi di bawah" jelas Delina panjang lebar dan nampak jelas kekhawatiran dari dalam mata hitamnya itu.

"Aku nggak tau siapa dia, sungguh Na aku beneran nggak ta..."

"Ya gimana kamu mau tau, orang setiap jam istirahat selama tiga tahun ini kamu nggak pernah keluar dari kelas makanya kamu nggak tau siapa dia" Delina langsung memotong perkataanku.

"Terus aku harus gimana, Na?" Tanyaku lirih. "Cuma satu, selesaikan masalah kamu sama Tristan dan lebih baik kamu minta maaf sama dia" Delina memberiku solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Aku langsung menggeleng tak setuju dengan saran Delina, "Nggak mungkin, Na. Yang harusnya minta maaf itu dia, jelas-jelas dia yang salah bukan aku. Jadi dia yang harusnya minta maaf. Jangan mentang-mentang dia anak dari pemilik sekolah ini jadi dia bersikap seenaknya gitu sama orang lemah" sahutku tak mau kalah.

"Berarti kamu sudah siap kalau pendidikan kamu harus berhenti di tengah jalan karena Adiramanata mencabut beasiswa kamu?" Delina bertanya, nadanya terdengar sangat menakutkan, spontan aku langsung menggeleng. Delina menatap tajam ke arahku, aku menghela napas dalam-dalam, menundukkan kepala. Apa yang harus kulakukan sekarang, batinku.

Tangan Delina mendarat pada bahuku dan kurasakan dia mengelus lembut bahuku. Memberi semangat, "Semua keputusan ada di tanganmu, Sya. Aku tau kamu itu orang baik, itulah sebabnya kamu menolong adik kelas itu dan membuat kamu berurusan sama Tristan" tutur Delina. "Tapi meminta maaf bukan berarti kamu salah atau pun lemah justru orang yang mau minta maaf adalah seorang pemberani karena dia mau mengakui kesalahannya. Itukan yang selalu kamu katakan padaku?" Tanya Delina lagi dan kali ini aku mengangguk lemah dan tetap menundukkan kepala.

"Itu cuma saran. Kalau kamu mau melakukan, maka lakukan demi kelanjutan pendidikanmu. Tapi sama sekali nggak ada paksaan untuk melakukan itu, seperti yang aku bilang; itu cuma saran. Semua keputusan ada di tangan kamu dan berpengaruh dengan masa depanmu nanti, Sya" ucap Delina dan berhasil membuatku memikirkan perkataannya itu.

***

Panasnya terik matahari membuat keringat bercucuran di kening dan pelipis. Terduduk di depan kipas yang menyala dengan nomor tiga, cukup membantu menghilangkan rasa panas dan letih yang melekat pada tubuh. Aku merasa ada yang aneh. Tapi apa? Ah iya, ibuku! Sejak dua puluh menit lalu aku tiba di rumah, aku sama sekali belum melihat ibu. Biasanya sepulang sekolah ibu selalu menyambutku di depan pintu, tapi hari ini saat masuk rumah ibu sama sekali tak menyambutku bahkan pintu rumah pun tak terkunci. Tidak biasanya seperti ini. Kemana ibu? Kenapa rumah sepi sekali?

"Mungkin ibu pergi mengambil cucian ke rumah pelanggannya" seruku pada diri sendiri yang terdengar begitu santai.

"Tapi mengapa pintu tidak di kunci, biasanya kalau ibu pergi keluar pintu selalu di kunci" sebuah pertanyaan kembali timbul di benakku.

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam benakku; kenapa ibu tidak menyambutku saat pulang dari sekolah, kemana ibu, kenapa pintunya tidak di kunci. Aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri. "Mungkin ibu pergi terburu-buru jadi tidak sempat mengunci pintunya" gumamku menjawab pertanyaan dalam benakku. Kupejamkan mata sekejap untuk menghilangkan rasa letih selama sehari bersekolah sambil menunggu ibu kembali.

****




Kemana ibunya Tisya ya? Yang baca jangan lupa meninggalkan jejak. Maaf kalau aneh atau gak jelas. Thanks...

Contract Couple ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang