TisyaDi sinilah aku berdiri sekarang, dengan mata merah yang sembab. Terdengar bunyi alat pendeteksi jantung yang menyelimuti lengangnya ruang ICU. Saat hati hancur hanya ibu satu-satunya tempat untuk mengadu. Aku duduk di samping tempat tidurnya, menggenggam erat tangannya yang bebas dari jarum infus. Air mata kembali lolos dari pelupuk mata di sertai isakan juga yang lolos tapi kalah dengan bunyi pendeteksi jantung itu.
Kondisi ibuku semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang kecil kini bertambah kecil sejak penyakit mengerikan itu menggerogoti tubuh ibu, terpasang alat-alat rumah sakit pada tubuh kecil ibu membuat tubuh ibu yang kecil nampak mengerikan sekali. Hanya tangan yang sedang kugenggam erat dan kedua kakinya saja yang tidak di hiasi alat mengerikan rumah sakit.
"Kapan ibu bangun? Aku butuh ibu, cuma ibu yang mengerti aku. Bangunlah bu, aku sangat merindukanmu" aku semakin terisak. Untungnya isakan tangisku kalah dengan bunyi pendeteksi jantung itu. "Aku mencintaimu, bu" kecupan penuh rindu kutumpahkan di tangannya.
Aku ingat dulu saat waktu kecil ayah dan ibuku selalu bersama denganku. Kami hanya bertiga tapi keluarga kami selalu di penuhi dengan tawa seakan tak ada beban apapun.
"Rambutmu sangat panjang dan berkilau, sayang. Ayah menyukai rambutmu, jangan pernah potong rambutmu ya" ayah menyisiri rambut hitam legam milikku. Aku hanya diam di pangkuan lelaki hebat yang tak lain adalah ayahku ini. "Baik ayah. Lalu bagaimana jika ibu menyuruhku untuk memotong rambut?"
"Katakan pada ibumu kalau ayah memerintahkan untuk tidak memotong rambutmu. Jika dia memotong rambutmu, ayah akan marah padanya" tegas ayah. Aku hanya mengangguk paham.
Dan lusa saat ayah sedang bertugas, mungkin ibu merasa gerah dengan rambut panjangku. Ibu memotong rambutku hingga tersisa panjang sebahu. Aku sudah berkata kalau ayah tak mengizinkan untuk memotongnya tapi ibu bersikeras untuk memotong rambutku. Dan saat ayah telah kembali dari tugasnya, dia terkejut melihat rambutku yang sebahu. Ayah tidak memarahi ibu, dia hanya merajuk pada ibu untuk beberapa hari. Ayah bilang, "rambut pendek tidak terlalu buruk justru membuatmu lebih cantik dan nampak lebih fresh."
Dua tahun berlalu ayah sudah pergi meninggalkan kami tapi kenangannya selalu melekat di hatiku dan ibu. Kami bersyukur sekali mengenal dan pernah mempunyai lelaki hebat seperti ayah. Aku hidup bersama ibu, dia selalu bekerja giat untuk memenuhi kebutuhanku. Dia selalu menjagaku, setiap sore aku selalu duduk di pangkuannya. Setiap sore sebelum pergi menjual kue ibu selalu menyisiri rambutku seperti yang ayah lakukan. Setiap sore aku ikut ibu berjualan kue, sore ini kue yang di buat ibu cepat sekali habisnya. Aku berlari riang saat pergi berjualan kue dengan ibu, rasanya bebas sekali.
"Jangan lari-lari, nak. Pelan-pelan saja" ibu setengah berteriak memperingatkanku. Tapi aku justru semakin kencang berlari dan tertawa senang.
Karena semangat berlari dan terlalu senang menikmati sore hari, aku sampai tak melihat ada batu di depan di tambah lagi kesandung sendal juga. Alhasil aku terjatuh. Dengan sigap ibu berlari ke arahku yang tengkurap di jalan. Dia menggendongku dan menenangkan tangisanku. "Cup..cup sayang, maafkan ibu ya. Harusnya ibu menggenggam tanganmu agar kau tidak jatuh seperti ini" ibu mengelus punggungku. Aku masih menangis dipelukkan ibu, nyaman sekali rasanya.
"Coba ibu lihat mana yang sakit, sayang?" Ibu menguraikan pelukkannya dan memeriksa tubuhku. Aku menggeleng. Ibu menghela napasnya berat. Untungnya aku memakai celana panjang jadi tidak ada yang terluka. "Tidak berdarah bu, tapi sendalku putus" jawabku masih menangis.
Ibu menggeleng tegas, "Biarkan saja kalau sendal itu putus, kita dapat membelinya nanti. Yang penting sekarang kau tidak terluka, nak." Ibu menghapus air mataku dan mengecup kedua mataku.
"Maafkan ibu, nak. Ibu janji akan lebih menjagamu lagi. Ibu tidak akan membiarkanmu sendiri dan bersedih, ibu akan selalu ada di sampingmu." Ibu memelukku lagi tapi kali ini lebih erat. Dan rasa nyaman itu terasa dua kali lipat.
Air mataku masih setia mengalir membasahi pipi. Bunyi pendeteksi jantung menyadarkanku dari lamunanku. Aku tersenyum lirih saat kenangan itu kembali muncul di benakku. Tiba-tiba terputar begitu saja bagaikan kaset yang rusak. Aku mengecup tangan ibu untuk yang ke sekian kalinya.
"Bangunlah bu. Dulu ibu berjanji akan selalu ada di sampingku dan selalu menjagaku. Bahkan ibu berjanji tidak akan membiarkanku sendiri dan bersedih. Mana janji ibu? Kumohon bangunlah bu." Ucapku lirih berharap ibu bangun dari tidur panjangnya.
Rasanya aku ingin kembali pada masa-masa kecil tapi itu rasanya mustahil. Masa di mana hanya ada aku dan ibu yang selalu bersama, di mana hanya ada canda dan cinta tulus yang menghiasi hari-hari. Aku sungguh merindukan masa-masa itu. Bisakah kudapatkan masa-masa yang sangat indah itu? Mustahil memang. Tapi jika tidak bisa, cukup kembalikan ibu padaku dan biarkan masa-masa indah itu terjadi kembali. Egois memang kedengarannya. Kukecup kening ibu yang mengerut itu lama sekali menyalurkan rasa rindu yang terpendam selama ini. Kuusap lembut keningnya yang mengerut berharap agar kerutan itu menghilang. Tapi ternyata itu sudah bawaan dari umurnya, justru kerutan itu membuatnya semakin cantik.
***
Mata sudah tak merah tapi masih terasa berat. Capek rasanya menangis selama mungkin kurang lebih tiga jam. Kuputuskan mencari makanan untuk mengisi perut, sedari tadi cacing di dalam perutku ini berdisko hebat. Sudah ada sepiring ayam bakar di depanku yang sangat menggoda sekali, tapi aku hanya menatapnya lamat-lamat. Ingin sekali memakannya tapi tiba-tiba aku teringat akan ibu yang terbaring lemah di atas tempat tidur.
"Ya ampun sayang, ayam bakar kamu itu paling top deh pokoknya. Ayam bakar di restoran saja kalah saing sama ayam bakar buatan kamu" seru ayah memuji masakan ayam bakar ibu.
"Iya, apa yang ayah katakan benar bu. Ayam bakar ibu itu enaaaaakk sekali. Pokoknya ayam bakar ibu favorit Tisya deh. Tapi nggak cuma ayam bakar ibu sih yang enak, masakan apa pun yang di masak ibu pasti enak banget" aku menambahkan seruan ayah. Ibu hanya menundukkan kepala, malu sepertinya karena ayah memujinya.
Helaan napas lirih lolos begitu saja. Sekilas memori kebersamaan yang indah bersama ayah dan ibu terputar di benakku begitu saja. Memang ayam bakar adalah salah satu makanan buatan ibu yang paling lezat, jadi rindu ayam bakar buatan ibu. Mataku sudah mulai berkaca-kaca namun langsung kutarik napas dalam-dalam agar cairan bening itu tak tumpah.
Langsung saja kusantap ayam bakar itu. Rasanya lezat sekali tapi lebih lezat lagi buatan ibuku. Dua puluh menit berlalu, ayam bakarku sudah habis dan cacingnya sudah tidak berdisko lagi. Kini aku berdiri di taman rumah sakit. Kata taman selalu identik dengan 'indah' dan aku menyukai itu. Di taman ini aku dapat merasakan semilir angin yang menggelitik tubuh, dapat melihat bintang dan bulan yang menghias langit, bahkan saat pagi pun aku dapat melihat pasien bermain dan tertawa di taman ini. Tapi malam ini tak tau mengapa aku tak ingin berlama-lama di taman.
Kuikuti kaki ini melangkah yang ternyata membawaku menuju ruang ICU tempat ibu di rawat, tapi saat aku menuju ke sana dua dokter dan tiga suster berlari memasuki ruang ICU. Aku mengenal dokter dan suster itu, mereka yang biasa menangani ibu. Mengapa mereka masuk ke ruangan ibu dengan berlari-lari seperti itu? Ada apa ini? Aku pun ikut berlari. Ingin masuk. Tapi suster itu memintaku untuk tetap menunggu di luar. Mereka mulai menangani ibu. Aku hanya bisa melihatnya dari luar, mendoakan ibu.
****
Ps: lagi kangen ibu ceritanya:'(
Makasih buat yang masih baca. Maaf kalau aneh atau nggak jelas....

KAMU SEDANG MEMBACA
Contract Couple ✔
Teen FictionCinta pandang pertama atau cinta sejati? Percaya atau tidak keduanya itu sangat berbeda. Contract Couple; 1. Jika pihak yang menulis kontrak mengutarakan pendapatnya untuk melanjutkan hubungannya naik satu tingkat, itu karena semata-mata hanya untuk...