TristanTak butuh waktu lama, dua puluh menit berlalu aku sudah tiba di rumah sakit. Dokter belum keluar juga dari dalam ruang UGD. Cukup lama menunggu, dokter berkacamata itu keluar. Aku menghampirinya, "Bagaimana keadaannya, dokter?"
"Syukurlah pasien berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang pasien sudah sadar, anda boleh masuk. Tapi tolong jangan buat pasien lelah, karena kondisinya masih lemah." Aku mengangguk paham. Dokter itu berlalu dari hadapanku, punggungnya sudah tak nampak lagi. Aku langsung masuk ke dalam, Tisya menoleh ke arahku. Dia nampak terkejut saat melihatku. "Berhenti di sana! Jangan mendekat!" Tisya berteriak menunjuk ke arahku.
Aku tak mengacuhkannya. Aku tetap melangkah mendekatinya. "Aku bilang jangan mendekat!" Tisya berseru lantang. Ada apa dengannya? Mengapa matanya penuh dengan rasa takut dan kecewa. Aku tetap melangkah tanpa mempedulikannya. Tapi tangannya dengan cekatan mengambil pisau yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya. Dia menempelkan pisau itu di leher, matanya melotot tajam ke arahku. "Berhenti di sana! Jangan mendekat! Atau aku akan mengakhiri hidupku di depanmu detik ini juga!"
Apa dia gila? Bunuh diri? Aku mengalah, aku berhenti melangkah. "Bagus! Sekarang pergi dari sini!"
"Tidak aku tidak akan pergi dari sini, biarkan aku.." Tisya langsung menyela perkataanku. "Pergi dari sini atau kau akan melihatku mengakhiri hidup?!" Aku menghela napas berat. Aku menurutinya dan segera keluar.
Satu jam telah berlalu, aku masih menunggu kesempatan untuk masuk ke dalam melihat keadaan Tisya. Baiklah aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Sepertinya Tuhan mendengar permohonanku, Tisya sudah tidur. Langsung kuambil bangku dan duduk tepat di samping tempat tidurnya. Badannya semakin kurus setelah kejadian siang itu. Dia pasti tertekan dengan apa yang sudah kulakukan padanya. Kasihan sekali dia.
"Maafkan sikapku selama ini ya, aku melakukan semua itu ada alasan yang sangat jelas" gumamku lirih. Kugenggam erat tangannya.
***
Seseorang dari masa laluku telah kembali. Semua itu terjadi secara sistematis seperti sudah direncanakan. Aku bingung Tisya atau Cika. Aku masih belum bisa melupakan Cika, bahkan aku merasa sikap dan kehangatan Cika masih sama seperti saat masa SMP dulu. Sedangkan Tisya berbeda sekali dengan Cika, aku merasa ada yang berbeda setiap kali aku mendengar suaranya dan melihat senyumnya apalagi mata hitamnya. Sesuatu yang tidak pernah aku rasakan dan temukan dalam sosok Cika.
Aku mulai menghindari Tisya dan Cika semakin mendekatiku. Istirahat siang biasanya aku berdua dan memakan bekal masakannya, tapi tidak siang itu. Dia mencariku dan menghampiriku ke koridor bawah hanya untuk memberikan bekal makan siangku. Tapi aku dengan sangat tidak sopannya membuang masakan Tisya. Makanan itu berhamburan di lantai. Semua pasang mata di koridor bawah memperhatikan kami. Tak mau jadi pusat perhatian, aku memutuskan untuk pergi sebelum lost control. Dia menundukkan kepalanya saat aku melewatinya. Aku tau matanya itu sudah berkaca-kaca makanya dia memilih menundukkan kepala untuk menyembunyikan cairan bening itu. Astaga Tisya, kumohon maafkan aku.
Hari itu, aku sedang menonton permainan basket. Tisya menghampiriku, dia mengajakku ke toko buku. Dengan senang hati aku akan mengantarkannya, tapi jangan sekarang. Aku menolaknya kasar. Tak lama Cika datang menghampiriku, menagih janjinya. Ya aku memiliki janji menonton berdua dengannya, itu karena dia meminta lebih tepatnya lagi memohon agar aku bisa berjalan berdua saja dengannya. Aku mengabulkannya. Aku mengenalkan Tisya pada Cika begitu pun sebaliknya. Tisya berlalu dari hadapanku, kenapa dia berlalu? Aku tau dia kecewa dan memutuskan untuk pergi dari hadapanku agar aku tak tau kalau dia kecewa. Kumohon maafkan aku lagi Tisya.
Dia kembali mengantarkan bekal makan siang milikku ke kelas. Saat kubuka bekalnya, astaga pisang goreng keju susu. Itu kesukaanku. Ini pasti nikmat sekali. Tapi aku tidak bisa memakannya sekarang. Kelak akan ada waktunya aku bisa merasakan pisang keju itu. Aku lempar lagi pisang keju itu dan membuatnya berhamburan di lantai. Sayang banget pisang gorengnya. Aku menghina pisang goreng itu dengan berat hati. Tepat di belakang Tisya kini sudah berdiri Cika yang diam mematung melihat semuanya. Aku memilih untuk makan berdua di kantin dengan Cika. Aku menginjak pisang buatannya di depan Cika dan Tisya hanya diam melihatnya. Saat aku berdiri di ambang pintu, aku menoleh ke arah Tisya. Aku memperhatikannya. Dia memunguti pisang goreng itu dan aku melihat punggungnya sesenggukkan. Dia pasti menangis! Aku ingin berlari ke arahnya dan memeluknya tapi kuurungkan niatku. Kejam sekali perbuatanku. Kumohon maafkan aku lagi, Tisya.
Di hari saat alergi cumiku kambuh dan dari sanalah semua ini terjadi. Raka mengingatkanku terhadap masa laluku yang berakhir dengan tragis dan begitu menyayat hati. Raka menikmati camilannya. "Gue saranin mending lo buat semacam surat warisan palsu deh Tris." Aku dan Rio serempak menoleh ke arah Raka.
"Maksudnya gimana tuh surat warisan palsu?" Suasana mulai serius.
"Ya semacam surat warisan dari ayah lo tentang pengalihan kekuasaan atas nama lo kalau lo sudah menikah atau punya pacar gitu. Seakan-akan surat itu om Irvan yang buat." Rio mengangguk paham. Aku masih tidak mengerti.
Raka mengehala napas geram. "Jadi gini, lo buat surat perjanjian warisan palsu tentang pengalihan warisan atas nama lo kalau lo sudah menikah atau pacaran. Tapi kasih note 'kalau putus atau cerai, mantan Tristan tidak mendapat harta sepeser pun' gitu." Raka menjelaskan idenya dengan detail. Rio mengangguk setuju dengan rencana Raka.
"Jadi? Apa faedahnya?" Tanyaku yang masih tidak mengerti. Raka menepuk jidatnya. "Orang kaya tapi kapasitas otaknya dikit amat ya. Faedahnya, kalau Tisya lihat dia nggak bakal dapat apa-apa dia pasti bakal ninggalin lo. Tapi kalau dia cinta sama lo tulus, dia nggak bakal peduli sama surat warisan palsu itu, Tristan." Raka gemas.
"Oh begitu" aku mengangguk paham. "Terus yang namanya warisan itu pasti pakai tanda tangan bokap gue. Caranya gimana dapat tanda tangan itu?" Tanyaku lagi.
Rio menoyor kepalaku, gemas. "Pea! Benar kata Raka, kapasitas otak lo dikit. Lo itu anak yang punya sekolah. Kalau bokap lo nggak bisa datang buat tanda tangan berkas penting sekolah pasti pakai stempel tanda tangannya. Jadi lo tinggal pakai stempel itu saja, beres deh." Aku menyengir kuda. Rio dan Raka kompak menggelengkan kepala.
Akhirnya sesuai kesepakatan bersama, kami bertiga membuat surat warisan palsu sesuai ide Raka, dengan menggunakan stempel tanda tangan papa sesuai ide Rio. Setelah surat warisan palsu itu siap, aku meletakkannya di ruang kerjaku, bersamaan dengan berkas lainnya. Berantakan sekali. Rencanaku berikutnya adalah membuat Tisya melihat surat warisan palsu itu. Aku meminta Tisya untuk mengambil buku tugas fisika yang sengaja kutinggalkan di apartemen. Aku meminta Tisya mengambilnya. Itu rencanaku. Aku juga sudah mengatur agar Tisya bisa masuk ke ruang kerjaku dan melihat surat warisan palsu yang sengaja kubuat. Dan aku tinggal tunggu Tisya melihat surat warisan itu. Menunggu responnya. Kalau dia memang tulus denganku pasti dia akan bertahan. Saat memberikan buku itu, dia hanya menunduk saja, tak mau menatapku.
Aku pernah melihat Tisya berjalan dengan tiga cowok teman kelasnya. Astaga emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Tapi aku tutupi dengan sikap dingin agar tidak nampak cemburu di depannya. Hanya Raka dan Rio yang tau, *PRANG* bunyi barang pecah terdengar begitu nyaring. Ya, aku melampiaskan emosiku yang sudah memuncak dengan menonjok kaca besar yang ada di depanku. Darah segar mengalir dari tanganku.
"Sabar bro! Tahan emosi lo! Ingat jangan sampai lemah" Rio menepuk pelan bahuku. Menyemangatiku. Aku menghela napas berat. Napasku tersengal-sengal karena emosi yang masih menyelimuti hati. Aku mengangguk samar.
Raka menarik tanganku. Dia mengobati tanganku. "Lain kali kalau emosi jangan kayak gini. Lo boleh mecahin atau banting barang apa pun, tapi please jangan barang punya keluarga gue. Punya keluarga lo saja. Kalau begini terus bisa-bisa keluarga gue mendadak bangkrut" gerutu Raka. Aku menyengir kuda bilang maaf.
"Jelas-jelas di contract couple itu ada peraturannya kalau dia nggak boleh tebar pesona apalagi deket sama cowok lain. Eh dia jalan bareng sama cowok bahkan tiga cowok. Emosi gue naik sampai ke ubun-ubun gara-gara ulah dia!"
"Tahan bro! Kayak lo nggak tau aja cewek kayak gimana. Cewek itu emang hobby banget melanggar peraturan. Sabar aja dulu, jangan sampai kalah sama cewek!" Rio menasehatiku. Aku mengangguk mengerti.
Esok pagi, aku memberikan selembar foto kami, kubilang saja itu sama sekali tak berguna bagiku. Bahunya langsung menegang saat aku berkata seperti itu. Itu pasti sangat menyakitkan untuknya. Tapi sekali lagi maafkan aku Tisya. Bertahanlah untukku, please.
"Maafkan aku jika selama aku mengujimu membuat hatimu merasa sakit. Maafkan aku! Sudah cukup semua ini, kau berhasil melewati ujianmu. Aku tau kau mencintaiku tulus, begitu pun denganku. Aku berjanji setelah ini, nggak akan ada air mata lagi. Nggak akan ada kelabilan atau bahkan Cika dan masa laluku. Yang ada hanya aku, kamu dan kisah cinta kita." Kugenggam erat dan kucium tangannya menyalurkan kerinduan yang kupendam selama ini.
****

KAMU SEDANG MEMBACA
Contract Couple ✔
Teen FictionCinta pandang pertama atau cinta sejati? Percaya atau tidak keduanya itu sangat berbeda. Contract Couple; 1. Jika pihak yang menulis kontrak mengutarakan pendapatnya untuk melanjutkan hubungannya naik satu tingkat, itu karena semata-mata hanya untuk...