Bab 16

148 52 2
                                        


Tristan

Gelak tawa seseorang membangunkanku dari alam tidur, cahaya lampu juga seakan menyapaku. Aku mengerjapkan mata berkali-kali sambil mengingat bagaimana bisa aku ada di kamar apartemenku. Keheningan menyelimuti. Aku masih sibuk memikirkan bagaimana aku bisa ada di apartemen. Aku baru ingat, Tisya dan kedua sahabatku yang mengantarku ke sini karena alergi cumiku kambuh. Aku beranjak dari kasur king size yang membuat tidurku nyenyak. Melangkah keluar kamar, menghampiri sumber suara yang telah mengganggu tidurku.

Ternyata sumber suara yang mengganggu tidurku adalah kedua sahabat bodohku. Mereka masih duduk di ruang tamu apartemenku. Tak luput juga kacang satu piring, setoples astor cokelat dan sepiring cake green tea yang menemani mereka berdua. Aku hanya menggelengkan kepala dengan kelakukan mereka. Sejak dulu kalau mereka main ke apartemen atau rumah pasti saja menghabiskan camilan. Untung sahabat.

"Seru banget ya, cekikikan dari tadi." Kuhempaskan pantat ke atas sofa.

"Eh lo, Tris. Sudah bangun lo. Gimana sudah merasa lebih baik gitu? Atau perlu ke dokter?" Raka memasukkan kacang ke dalam mulutnya. Rio yang asik pada televisi juga ikut menoleh ke arahku dan menatapku dengan rasa ingin tau. Aku menganggukkan kepala untuk menjawab pertanyaan Raka. Kuambil toples berisi astor itu dan memakannya. Keheningan terjadi. Mereka sibuk dengan televisi dan camilannya masing-masing.

"Hubungan lo sama Tisya gimana?" Suara Rio berhasil memecahkan keheningan. Aku meliriknya dan mengangkat bahu tak mengerti dengan maksud pertanyaannya. "Lo pacaran sama dia itu tujuannya apa? Cuma buat dia bertekuk lutut dan membalas perlakuan dia waktu di koridor itu 'kan?" Rio mulai serius membuatku merasa sedang di introgasi seperti habis ketahuan mencuri sesuatu. Aku menganggukkan kepala agak ragu.

"Tapi kelihatannya lo sudah mulai kalah sama permainan lo. Lebih dari sekedar rasa balas dendam dalam diri lo bahkan rasa balas dendam itu mulai sirnah. Kenyamanan. Gue lihat lo nyaman setiap dia ada di dekat lo, apa lagi dengan perlakuan dia. Gue tau akan hal itu, mata lo yang menjelaskan semuanya." Rio menatapku lamat-lamat.

"Ng..nggak ju..ga" aku tergagap.

"See, bahkan lo nggak bisa yakin saat menjawab gue. Balas dendam dengan cara lain 'kan bisa? Nggak harus dengan pacaran? Gue sudah wanti-wanti lo buat pacaran sama dia cuma untuk balas dendam, takut lo jatuh hati sama dia. Dan ternyata benar." Raka hanya memilih menjadi penonton setia. Aku hanya menganggukkan kepalaku acuh.

Rio menggelengkan kepala. "Akhiri permainan ini, pakai cara balas dendam yang lain sebelum lo jatuh terlalu dalam. You know what i mean. Semua cewek sama, pakai topeng di awal untuk membuat kita jatuh ke dalam pelukan mereka. Setelah dapat yang mereka ingin, topeng aslinya akan terkuak." Dia menasehatiku penuh dengan penekanan. Aku hanya mengangguk setuju dengan teorinya. Rio memang jago dalam hal pacaran walaupun dia seorang jomblo.

"Gue setuju sama Rio kalau semua cewek itu sama saja. Muka dua. Di awal manis tapi saat sudah dapat yang dia mau pasti berubah drastis. Ibarat kata habis manis sepah di buang gitu deh" Raka akhirnya mengeluarkan suaranya. "Lo masih ingat sama kisah cinta lo yang berujung tragis itu 'kan?" Kali ini Raka yang bertanya padaku.

Aku mengangguk.

"Bukan maksud gue untuk membuka luka lama, ini cuma sekedar mengingatkan saja biar lo nggak jatuh ke lobang yang sama lagi untuk kedua kalinya. Kalau itu sampai terjadi berarti lo laki-laki bodoh." Raka berkata sangat santai sekali dengan tatapan yang serius. Suasana di ruang tamu menjadi tegang bahkan mencekam saat Raka mengingatkan kisah cintaku yang berakhir dengan tragis.

"Keputusan lo dan hak lo ingin menjalin hubungan sama siapa. Tapi gue sama Rio sebagai sahabat juga punya hak untuk mengingatkan dan memastikan biar lo nggak mengalami kisah cinta kayak dulu. Ikuti kata hati lo saja dan jangan melupakan masa lalu, karena dari masa lalu lo bisa dapat banyak pelajaran." Aku menghela napas berat dan mengangguk samar. Apa yang dikatakan oleh kedua sahabatku benar.

***

Tugas sang bulan menghiasi langit malam agar nampak indah sudah usai. Sekarang giliran sang surya yang menjalankan tugasnya untuk menyinari bumi dengan sinarnya. Pukul 06.45 mobilku sudah terparkir di halaman Pelita Jaya. Tidak telat, tidak juga terlalu pagi. Tepat waktu. Kacamata hitam masih setia bertengger di wajahku. Semua murid di sepanjang koridor memperhatikanku, pasti most wanted ini lebih ganteng karena kacamata hitam yang bertengger ini wajah. Orang ganteng bebas untuk percaya diri!

Bel tanda akan mulainya pelajaran sudah berkumandang nyaring sekali. Kakiku melangkah gontai menuju kelas yang sudah ramai penghuninya. Lengang. Menunggu kedatangan guru mata pelajaran bahasa inggris. Sepuluh menit berlalu, guru bahasa inggris itu masuk dan mulai menyampaikan materi. Membosankan sekali mendengar penjelasannya. Perlu di garis bawahi, guru bahasa inggris yang berdiri di depan kelasku ini tidak lancar dan tidak terlalu bisa bahasa inggris. Sudah tau tidak bisa tapi kenapa malah mengajar mata pelajaran bahasa inggris. Dasar aneh batinku.

Sepanjang jam pelajaran yang cukup membosankan hanya kuhabiskan dengan memejamkan mata dan mulai mengunjungi alam mimpi. Bel istirahat pertama sudah berkumandang, kumanfaatkan  jam istirahat yang amat singkat untuk tebar pesona di sepanjang koridor IPA dan lapangan sekolah. Biasa, orang ganteng bebas berkarya. Selagi masih di kasih nikmat tampan.

"Istirahatnya cuma lima belas menit nih bro, ke koridor IPS saja nyok tebar pesona. Mumpung jam istirahat pasti banyak yang bening-bening lewat." Raka membetulkan seragamnya dan tak lupa menyisir rambutnya ke belakang.

"Yang bening-bening? Ngapain jauh-jauh ke bawah pea. Di dalam hidung lo sendiri juga ada" Rio nampak tak acuh. Raka menoleh, menonjok lengan Rio. "Eh gue paham apa maksud lo, tapi bening-bening di sini yang gue maksud itu cewek bukan ingus pea." Rio tertawa lepas melihat ekspresi Raka. Aku hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka berdua. Yang kayak mereka berdua gini nih limited edition.

Sesuai keputusan dan paksaan dari Raka akhirnya kita menghabiskan waktu istirahat di koridor bawah. Kata Raka sekalian cari yang bening-bening gitu deh. Raka sibuk menebar modus pada adik kelas. Rio sibuk membeli camilan untuk di makan saat jam pelajaran kimia. Sedangkan aku sendiri bingung ingin melakukan apa, jadi kuputuskan untuk melihat-lihat koridor ya hitung-hitung cuci mata sebelum pelajaran yang bakal bikin kepala pecah. Saat mata ini sedang berjalan-jalan, pandanganku berhenti di tukang nasi goreng. Tepatnya kepada seorang cewek yang tak asing dimataku. Senyumannya dan suara tawanya juga tak pernah berubah.

Bahkan bentuk tubuhnya pun aku sangat mengenalnya. Kulit putih, hidung mancung, mata sipit minimalis, rambut hitam legam panjang sebahu keriting di bagian bawahnya, bibir tipis, alis tipis agak panjang, pupil mata cokelat gelap, tingginya hanya beda 5 cm saja dariku. Ya aku mengenal cewek itu, dia mantanku. Aku akui dia semakin cantik sejak kepergiannya tiga tahun yang lalu. Cewek itu adalah masa laluku yang paling indah, paling spesial dan paling susah untuk dilupakan. Yang pertama. Dan paling penting yang berakhir dengan tragis. Dia kembali. Serpihan masa laluku yang sudah lama hilang kini sudah kembali. Dia, Cika Arbellia.

****

Contract Couple ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang