Bab 28 - END

319 56 2
                                    


Satu jam setelah kepergian Tisya, seorang wanita yang memiliki tinggi sekitar 165 cm yang begitu sempurna masuk ke dalam apartemen Tristan. "Cika?" Gumam Tristan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia mulai fokus mengamati layar laptopnya.

Cika melangkah masuk ke dalam apartemen tapi dia berbalik badan berjalan menuju pintu lagi. Tak sopan jika masuk ke kamar tak ada tuannya, tapi entah iblis apa yang sedang merasukinya. Dia melangkahkan kaki mendekati kasur Tristan. Dia melihat amplop cokelat yang tebal. Dia mengambilnya, tapi sepucuk surat jatuh ke lantai tanpa dia sadari. Dia membuka amplop cokelat itu, matanya terbelalak sempurna ternyata isi amplop cokelat itu milik Tristan. Dia hendak pergi membawa uang itu, tapi tatapannya tertuju pada sebuah cincin permata. Dia mengambil cincin itu juga. Puas mendapat apa yang dia inginkan selama ini, dia pun pergi dari kamar Tristan dengan terburu-buru.

Tristan mengusap kasar wajahnya, frustasi satu kata yang melambangkan dirinya saat ini. Ternyata benar apa yang dikatakan Raka dan Rio, Cika hanya mencintai harta saja. Kenapa dia bisa bertipu dengan kecantikan Cika. Karena Cika dia merasakan kelabilan, karena Cika dia jadi mencurigai ketulusan cinta Tisya. Menyesal yang saat ini di rasakan oleh Tristan.

"Sial!" Tristan memukul mejanya. Wajahnya berubah, sepertinya dia melewatkan sesuatu. "Tunggu! Tadi Tisya meletakkan amplop, map, sepucuk surat dan cincin. Tapi kenapa malam itu yang gue temui cuma map merah itu?" Tristan bertanya pada dirinya sendiri. Dia kembali memutar rekaman Cika. Dia amati dengan serius. Benar! Pantas saja sepucuk surat itu tidak ada, ternyata jatuh saat Cika mengambil amplop cokelat itu.

"Kamar ini nggak pernah dibersihkan, jadi otomatis surat itu pasti masih ada di sini. Tadi sesuai rekaman, surat itu jatuh. Berarti ada kemungkinan surat itu..." Tristan menggantungkan ucapannya dan mulai mencari surat itu. Ketemu! Surat itu ada tepat di bawah kolong tempat tidurnya. Dia mengambilnya dan membuka surat itu. Mulai membaca.

Dear Tristan

Sang couple contract yang romantis dan sweet banget...

Aku tidak pernah menyesal dengan pertemuan kita. Aku tidak pernah menyesal dengan cara Tuhan menyatukan kita. Aku juga tidak pernah menyesal pernah menjalin hubungan dengan seorang yang sangat sempurna dan spesial sepertimu, tuan Adiramanata junior. Eh maaf, tapi aku sudah tidak mempunyai hak untuk memanggilmu dengan sebutan itu lagi, yang berhak hanya Cika seorang. Aku sadar diri kalau aku kalah saing dengan Cika, dia jauh lebih cantik dan lebih baik dari padaku. Dia sangat cocok untukmu.

Kalau kau sudah membaca suratku berarti kau sudah tau kalau aku menandatangani surat permohonan putus. Dan berarti aku juga sudah pergi ke tempat yang jauh. Aku melakukan ini semua demi kebahagiaanmu, percaya atau tidak aku selalu mencintaimu walaupun sikapmu yang sangat dingin padaku. Saat kau mengenali Cika padaku sebagai mantanmu, matamu berbinar bahagia. Saat kau bersamaku, aku tak pernah melihat kau sebahagia itu. Maka dari situ sadar, kalau hatimu stuck pada Cika. Aku tidak mungkin menjadi tembok antara kalian berdua, itulah sebabnya aku memutuskan untuk pergi.

Jangan khawatir, di amplop cokelat itu berisi uang yang pernah kau keluarkan untuk pengobatan ibu. Dan cincin yang kau berikan juga kuletakkan bersama dengan map merah itu. Aku pergi tidak membawa barang milikmu. Ketahuilah selalu kalau aku sangat beruntung mengenal seorang laki-laki sepertimu dan dapat mencintaimu. Sampai kapan pun aku akan tetap mencintaimu. Aku pergi hanya membawa rasa cinta ini dan aku tak tau kapan rasa ini akan memudar. Sangat sulit pastinya.

Harapanku, kau dan Cika bisa hidup berbahagia menciptakan kisah cinta yang begitu indah. Jaga dirimu baik-baik, Tristan.

Your ex couple tapi contract, Tisya.

Air mata lolos dari pelupuk mata Tristan, dia menangis! Dia memeluk erat surat yang Tisya tulis. Apa yang dia lakukan pada Tisya tiba-tiba berputar begitu saja seperti kaset rusak. "Aku yang mengujimu tapi aku juga yang mencurigaimu. Maaf jika karena masa laluku membuatmu merasakan rasa sakit seperti ini. Maaf jika aku tidak berlaku adil padamu." Penyesalan menyelimuti hatinya. Dia telah salah selama ini.

***

"Tisya!" Tristan membanting pintu kamar Tisya. Tisya menoleh, dia menatap Tristan dingin. Tapi lama kelamaan tatapan dingin itu berubah menjadi tatapan hangat yang menyimpan rasa rindu yang amat mendalam. Sama halnya dengan Tristan. Dia berlari ke arah Tisya. Memeluk erat Tisya. Tisya terjekut, tapi pelukkan ini yang dia rindukan. Tisya tak munafik. Dia membalas erat pelukkan Tristan. "Maafkan aku" seru mereka lirih bersamaan di sela-sela pelukkannya.

"Kau tidak salah, jangan minta maaf" seru mereka lagi bersamaan di sela-sela pelukkannya. Cukup lama mereka berpelukkan, saling menyalurkan rasa hangat yang selama ini di pendam. Tisya meregangkan pelukkannya, Tristan menarik kursi dan duduk di samping Tisya. Tak lupa selalu menggenggam tangan Tisya.

"Maafkan perlakuanku ya, biar aku jelaskan semuanya." Tisya menggeleng, menggenggam tangan Tristan lebih erat. "Kau tidak perlu menjelaskan semuanya. Di malam itu kau masuk dan menjelaskan semuanya, kau kira aku sudah tidur tapi aku hanya memejamkan mata saja. Aku sudah tau semuanya."

"Aku bodoh memang! Karena kejadian di masa lalu aku jadi mencurigaimu. Karena kejadian di masa lalu aku jadi mengujimu dengan keterlaluan begitu. Kumohon maafkan aku, aku memang bodoh." Tristan memukul-mukul kepalanya, menyalahkan dirinya sendiri. Tisya memegang tangan Tristan, menghentikannya memukuli kepala. "Jangan menyalahkan dirimu, ini semua bukan sepenuhnya salahmu. Ini salahku juga, seharusnya aku peka kalau kau sedang mengujiku. Seharusnya juga aku tidak meninggalkanmu, aku harusnya di sisimu memperjuangkan cinta dan kepercayaanmu" perkataan Tisya terdengar begitu lirih.

"Awalnya aku cuma menguji kesetiaan kamu, tapi kedekatan Cika membuat rasa yang dulu sudah mati kini bangkit kembali. Aku terbawa dalam permainanku sendiri, kamu tau 'kan bagaimana efek dari cinta pandang pertama walaupun sudah jadi kenangan? Tapi seiring berjalannya waktu dan aku tau sudah terlambat, aku menyadari kalau Cika tidak baik bagiku. Terbesit rasa bersalah di hatiku karena tidak berlaku adil dan keterlaluan" Tristan menundukkan kepala, menyesal.

"Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu" Tisya mengelus punggung tangan Tristan. Mereka berdua saling melempar senyum hangat. "Saat kau pergi dan berujung kecelakaan seperti ini, kau mengembalikan uangku. Dari mana kau mendapatkan uang itu?" Tanya Tristan penasaran.
Tisya menghela napas berat, "Aku menjual rumah untuk mengembalikan semua uangmu."

"Bagaimana keadaan ibu sekarang?"

"Dia sudah pergi, dia sudah bebas dari rasa sakitnya" jawab Tisya lirih.

Tristan terkejut, tak percaya. "I..ibumu me..meninggal?" Tisya mengangguk lemah. "Maafkan aku, bukan bermaksud membuatmu sedih. Lalu kenapa kau menjual rumah itu? Itu satu-satunya kenangan yang kau punya bersama dengan orang tuamu."

"Kenangan sejati tidak melekat pada barang-barang, tapi kenangan sejati itu melekat pada hati kita dan itu selalu" ujarnya dengan senyum indah nan tulus bertengger di wajahnya. Tristan menggenggam erat tangan Tisya memberi kekuatan pada perempuan berkulit kuning langsat itu.

****

Contract Couple ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang