Bab 15

146 52 1
                                    


Tristan

Cewek bermata hitam ke cokelatan, berambut hitam legam sebahu, hidungnya yang sedikit mancung nan mungil dan pipinya yang chubby menambah imut seorang Tisya Swaratama. Aku dan Tisya sudah pacaran satu bulan. Menjalin hubungan karena sebuah perjanjian yang kubuat. Berarti sudah dua bulan lamanya ibunda Tisya tak kunjung bangun dari tidur panjangnya. Terkadang aku bingung dengan suasana hatiku. Perlu kalian tau, aku menulis kontrak itu dan membiayai pengobatan ibunda Tisya hanya satu tujuan yaitu membuat Tisya Swaratama bertekuk lutut padaku. Ya bertekuk lutut dan menyesal karena pernah berurusan denganku.

Yang membuat diriku bingung adalah senyumannya. Aku tak cukup kuat untuk menolaknya apalagi saat dia tersenyum. Duniaku seakan berhenti berputar bahkan jungkir balik. Dan yang kedua adalah sikapnya, dia selalu bersikap baik padaku. Contohnya seperti sekarang ini, aku ada di kelasnya duduk berdua menikmati makan siang. Lebih tepatnya lagi dia sedang menyuapiku. Nikmat mana lagi yang harus aku dustakan saat ini? Aku akui dia memang cantik, perhatian, lemah lembut dan cerdas sekali. Tapi seorang cowok itu sangat pintar dan selalu waspada. Kenapa? Karena setiap cewek itu pandai bersandiwara. Bermuka dua. Selalu memakai topengnya dengan sempurna.

"Kenapa kamu suka banget istirahat di kelas kayak begini?"

"Karena aku sangat menyukai ketenangan, lebih tepatnya lagi kedamaian." Dia menjawabnya dengan singkat, padat dan jelas.

"Nggak bosan gitu? Maksud aku setidaknya kalau kamu bawa bekal kamu dan ikut makan di kantin sama Delina 'kan bisa sekalian ikut ngobrol gitu. Jadi intinya biar nggak bosan." Dia hanya menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaanku barusan. Sungguh cewek yang unik pikirku.

"Untuk apa istirahat keluar kalau bikin capek doang? Untuk apa ikut makan di kantin kalau cuma untuk ngobrol? Di kelas juga bisa ngobrol kok. Dan memangnya apa yang akan dijadikan bahan omongan? Gosipin orang gitu?" Bukannya memberikan penjelasan dia malah bertanya balik padaku. Aku hanya mengangkat bahu tak tau harus menjawab apa.

"Lebih enak juga di kelas, sendirian, baca novel sambil makan atau mungkin tiduran. Lebih asik, damai dan nggak bikin capek juga. Dari pada join di kantin ngomongin yang nggak-nggak justru nambah banyak dosa." Aku menganggukkan kepalaku lagi dan membuka mulut menerima suapan nasi goreng dari tangannya.

Tiba-tiba aku merasakan panas di badan. Timbul ruam pada kulit putihku dan sangat gatal sekali. Ada apa denganku? Mengapa aku seperti ini? Biasanya jika seperti ini alergi cumi yang kuderita kambuh. Tapi kapan aku makan cumi? Aku menggaruk-garuk leher dan tubuhku yang terasa gatal. Tatapanku berhenti pada nasi goreng yang tadi kumakan, apakah di campur dengan cumi?

"I..itu nasi go..gorengnya enak banget. Ka..kamu campur apa saja?" Aku tergagap-gagap saking gatalnya.

"Biasa. Nasi, telur, bumbu dapur, garam, kecap dan aku tambahkan beberapa potong cumi." Aku ber 'oh' ria mendengar jawabannya. Eh tunggu, tadi dia bilang apa? Beberapa potong cumi? Astaga ternyata itu yang membuatku merasa gatal dan panas. Cumi! Kugaruk semua bagian tubuhku yang sangat gatal sekali. Merasa ada yang aneh pada diriku, Tisya menoleh ke arahku. Menatapku dengan tatapan bingung.

"Ba..dan aku gatal ba..banget, alergi aku kambuh la..gi" aku terbata-bata menahan gatal di badan.

Matanya terbelalak. "Ya ampun alergi kamu kambuh? Pasti gatal banget ya? Kamu bawa obatnya nggak? Biar aku obatin." Aku hanya menggeleng. Kualihkan tatapan mataku pada ponsel yang ada di atas meja. Untungnya Tisya mengerti maksudku. "Raka" dia mengangguk.

Dia memencet ponselku, dua detik kemudian terdengar suara Raka di seberang sana.

"Halo, ini Tisya. Bisa ke kelas dua belas ipa satu sekarang juga? Tolong Tristan, alerginya kambuh lagi." Tisya panik.

"Tristan? Oh oke gue on the way" jawab Raka terdengar di seberang sana dengan santainya. Teleponnya dimatikan.

Aku masih terus menggaruk tubuhku yang terasa gatal. Tisya terlihat khawatir sekali. Satu menit kemudian, Raka dan Rio datang dan menghampiri kami.

"Anter gue balik, tapi jangan ke rumah. Ke apartemen saja, gue nggak mau nyokap khawatir dan di tambah lagi obatnya ada di apartemen gue." Raka mengangguk paham. Mereka berdua merangkulku menuju mobil. Tisya juga mengikuti kami dari belakang, membawakan tasku dan tasnya juga.

***

Selang dua puluh menit, aku sudah tiba di apartemen. Tisya mengolesi tubuhku dengan krim sambil sesekali dia tiup agar lebih dingin. Baru kali ini aku merasakan sentuhan tangannya langsung pada tubuhku. Lembut. Seperti tangan mama. Keheningan bahkan kecanggungan menyelimuti suasana kamar ini.

"Maafin aku ya, gara-gara nasi goreng cumi masakan aku, kamu jadi kayak gini" ucapnya lirih.

Aku berdecak sebal. "Sudah, lagi pula aku nggak apa-apa sekarang. Jangan menyalahkan diri kamu sendiri kayak gini, toh kamu juga nggak tau kalau aku alergi cumi." Aku mengelus pipi chubbynya. Tisya mengangguk.

"Kamu anter aku ke sini, memangnya nggak ada pelajaran lagi?" Dia mengangguk. "Kalau pelajaran pasti ada, tapi nggak penting. Kecuali fisika atau mata pelajaran yang di UN-kan aku pasti nggak akan ikut ke sini." Aku terkekeh mendengar jawabannya.

"Ya sudah, sekarang kamu tidur ya biar obatnya bekerja efektif. Besok kita ketemu di sekolah." Dia menarik selimut sampai di dadaku. Besok ketemu di sekolah? Maksudnya apa? "Aku akan pergi ke rumah sakit, menemani ibu di sana." Jawabnya seakan bisa membaca pikiranku. Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Dia mengacak-acak rambutku sebelum punggungnya hilang di balik pintu kamar apartemenku

****

Contract Couple ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang