Bab 11

162 54 2
                                    


Tisya

"Lo mau jadi pacar gue?" Kalimat yang dilontarkan Tristan selalu bergema di telinga dan otakku. Dua hari sejak kejadian itu, aku selalu menghindarinya. Biasanya dia mengantarku ke rumah sakit tapi saat jam sekolah usai aku langsung pergi ke rumah sakit sendiri. Dia menyusulku ke rumah sakit tapi aku bersembunyi, aku tak ingin bertemu dengannya. Bukan tak ingin tapi belum siap karena aku belum mempunyai jawaban yang pantas dari pertanyaannya itu. Di dalam kelas yang sunyi, hanya ada aku seorang diri, siswa lain sedang pergi ke kantin karena jam makan siang. Tatapanku terpaku pada map merah yang bertengger di atas meja. Kuberanikan diri untuk menyentuh map itu dan mulai membaca isi dari map itu.

Contract Couple;

1. Jika pihak yang menulis kontrak mengutarakan pendapatnya untuk melanjutkan hubungannya naik satu tingkat, itu karena semata-mata hanya untuk menjaga dan menuruti permintaan dari pihak yang bertanda tangan.

2. Kontrak pacaran ini di buat agar saling menguntungkan. Baik untuk pihak yang menulis kontrak mau pun pihak yang bertanda tangan. Dan ini sudah dipikirkan baik-baik.

3. Jika pihak yang bertanda tangan setuju untuk menandatangani, itu berarti kedua pihak sudah resmi pacaran karena telah menyetujui kontrak ini.

4. Pihak bertanda tangan wajib melaksanakan kewajiban layaknya seorang pacar yang baik. Warning: tidak tebar pesona dengan laki-laki lain!

5. Pihak yang menulis kontrak ini tidak dapat melayangkan permintaan putus. Yang berhak melayangkan permintaan putus hanya pihak yang bertanda tangan. Dan surat permintaan putus ada di lampiran selanjutnya.

Isi surat yang cukup aneh menurutku! Aku membaca surat dari Tristan dengan serius dan berulang kali. Di kolom tanda tangan sebelah kiri sudah terdapat nama lengkap Tristan begitu juga dengan tanda tangannya. Aku sungguh bingung, apa yang harus kuperbuat? Jawaban apa yang pantas kuberikan kepada Tristan atas semua jasa-jasanya?

***

Ini hari yang ke lima setelah kejadian itu. Aku belum memberikan jawaban kepada Tristan, surat dalam map merah itu selalu kubaca dua kali dalam sehari, bahkan selama itu juga aku selalu menghindar dari Tristan. Untuk segala kebaikannya, apa yang kini kulakukan apa adil untuknya? Apa aku jahat? Pertanyaan itu selalu muncul dalam otakku.

Aku masih setiap menunggu di depan ruang ICU, apalagi selain menunggu ibu bangun dari komanya. Tapi dari kejauhan kulihat dokter dan suster ramai berlari-lari menuju ke arahku dan masuk ke dalam ruangan ibu. Aku spontan berdiri memperhatikan dari kaca putih nan besar itu. Kulihat dokter menggelengkan kepalanya. Ada apa ini? Dokter keluar dari ruangan ibu dan aku langsung menghampirinya.

"Ada apa dengan ibu saya, dokter? Aku berseru cemas.

"Pasien belum juga sadar dari komanya bahkan kondisi pasien sekarang menurun, bisa dikatakan pasien mengalami kritis" ucap dokter itu. Seketika kakiku merasa lemas sekali.

"Kristis?" Gumamku terdengar lirih. "Iya, tapi pasien dapat melewati masa kritisnya dan kembali koma. Tapi sepertinya harapan untuk sembuh tidak ada, bangun dari komanya saja kemungkinannya sangat kecil. Saya perwakilan dari rumah sakit akan melepas alat bantu pasien" jelas dokter itu.

"Ke..kenapa harus di le..lepas dokter?" Aku bingung juga ketakutan. "Jangan pernah dokter lepas alat bantu pasien, berikan pengobatan yang efektif agar pasien bisa sembuh. Masalah biaya, pasti akan saya tanggung dokter. Jadi saya mohon jangan di lepas!" Ucap seseorang dengan tegas. Aku kenal suaranya. Suara yang selama lima hari ini berusaha aku hindari. Aku menoleh dan mendapati Tristan tengah berdiri di sampingku. Dokter itu menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi.

Aku menatap laki-laki yang berdiri di hadapanku. Mata elang miliknya, hidung mancung bagai perosotan taman kanak-kanak, rambut hitam yang berkilau tersisir rapi ke belakang, kulit putih bersih, alis mata yang begitu tebal. Dia Tristan, orang yang selalu kuhindari akhir-akhir ini dan aku merindukannya. Untuk yang kedua kalinya dia kembali menyelamatkan ibuku.

"Jangan nangis atau pun khawatir, ibu lo pasti sembuh. Dokter sudah janji tadi akan merawat ibu lo sampai sembuh" ucapnya seraya tersenyum.

Senyuman yang telah hilang selama lima hari dari mataku itu kini telah kembali, aku sangat merindukan senyumannya. Tapi tunggu! Dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapanku begitu saja, ada apa dengannya? Apa aku melakukan kesalahan? Oh iya aku menyadari alasan kepergiannya, pasti dia kecewa kepadaku. Baiklah akan aku klarifikasi sekarang juga.

Bulan kini sudah bertengger di langit dengan sinarnya yang menerangi bumi. Map merah selalu kupegang erat di tangan. Sejak kepergian Tristan tadi, aku langsung mencarinya. Tapi aku sama sekali tak menemukannya. Kini sudah malam dan tinggal satu tempat di rumah sakit yang belum kusinggahi; taman rumah sakit. Kulangkahkan kaki gontai menuju taman, dan benar saja orang yang kucari sedari tadi sedang duduk menatap langit. Langsung kuhampiri dia dan duduk di sampingnya. Dia menoleh ke arahku dan dia kembali tersenyum. Ingin sekali rasanya menjerit senang melihat dia tersenyum, tapi sekuat tenaga aku menahan jeritan itu. Biarlah aku menjerit di dalam hati.

"Dari tadi di sini?" Suaraku memecah keheningan di antara kami. Dia mengangguk dan kembali menatap langit. Aku langsung membuka tas sekolahku dan mengambil barang itu. Ketemu! Map merah yang diberikan Tristan di hari itu!

Kuberikan map merah itu padanya, "Ya aku mau" ucapku kembali memecah keheningan di antara kami. Kulihat dia terkejut tak percaya mendengar jawabanku. "Aku juga sudah menandatangani surat itu" sambungku. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kumengerti, dia langsung mengambil map merah itu dan membacanya. Dia kembali menatapku, tapi kali ini berbeda, dia menatapku dengan mata yang berbinar-binar dan memelukku. "Terima kasih" gumamnya, aku ikut senang dengan apa yang Tristan rasakan. Aku membalas pelukannya dan memberanikan diri untuk mengelus punggungnya. Semoga ke depannya hubunganku dengannya semakin bertambah baik.

***

Aku berjalan menuju kelas, tak lupa senyum lebar bertengger di wajahku. Selama melewati koridor sekolah, semua siswi menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kumengerti. Aku mendengar salah satu dari mereka mengatakan, "Itu cewek siapa ya? Beruntung banget pacaran sama most wantednya Pelita Jaya!". Dan ada lagi yang mengatakan, "Stok cowok kayak gitu limited edition banget lagi. Masih tersedia nggak ya buat gue?" Begitulah kira-kira yang mereka katakan. Itu dia! Ternyata Tristan yang membuat mereka semua memandangku dengan tatapan yang sangat sulit untuk kuartikan. Aku dan Tristan sudah resmi berpacaran sejak malam di rumah sakit itu. Sejak aku tanda tangani surat perjanjian itu. Dan sejak aku menyerahkan surat perjanjian itu. Tristan memberikan surat perjanjian itu lengkap beserta lampiran surat untuk mengakhiri hubungan, dia bilang sudah ada salinan surat perjanjian itu.

Tristan sudah masuk ke kelasnya dan begitu juga denganku. Hanya ada aku dan kedua teman kelasku, tiga puluh menit bergulir dan kini kelas sudah ramai pengunjungnya. Bahkan bel sudah berkumandang sejak lima menit yang lalu. Satu per satu guru sudah meninggalkan ruangannya dan mulai memasuki ruang kelas untuk mengajar. Lima belas menit sesudah bel berkumandang, akhirnya Miss Rianty selaku guru kimia masuk ke dalam kelasku dan mulai mengajar. Hening. Senyap. Serempak semua murid diam mendengarkan dan memperhatikan Miss Rianty.

****

Contract Couple ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang