Bab 4

283 55 0
                                    


Ainun

Hari itu aku merasa kalau aku adalah perempuan yang paling bahagia di muka bumi ini karena aku menikah dan membangun rumah tangga bersama dengan lelaki yang paling kucintai. Namanya adalah Hamzah. Tinggi ya kira-kira 170 cm, kulitnya sawo matang, hidungnya mancung, wajahnya tidak seperti kebanyakan para lelaki idaman. Hamzah tidak tampan, tapi dia sangat manis. Aku menyukai dia karena senyumannya, dia juga penyayang, pekerja keras, dan terpenting dia orang yang sangat baik sekali.

Sudah tiga tahun kami menikah, tapi yang kuasa belum mempercayai kami untuk merawat seorang anak. Ada rasa khawatir dalam diriku setelah tiga tahun menikah tak kunjung di karuniai seorang anak. Aku takut suamiku berpaling dengan wanita lain agar mendapatkan seorang keturunan, aku juga takut rasa cinta suamiku berangsur-angsur lenyap karena aku yang tak kunjung hamil. Tapi aku salah! Hamzah suamiku bukanlah lelaki seperti itu, dia lelaki yang baik dan mencintaiku apa adanya.

Lima tahun menanti, akhirnya aku dapat memberikan Hamzah keturunan, seperti yang diharapkan Hamzah; seorang bayi perempuan. Bayi itu sangat mirip sekali dengan Hamzah seperti foto copy Hamzah, tapi yang membedakan adalah warna kulit. Warna kulit anak kami kuning langsat, seperti warna kulitku. Tisya Swaratama. Itulah nama yang diberikan Hamzah kepada bayi kami.

***

Hidup kami berjalan sempurna setelah kelahiran Tisya, kebahagiaan seakan datang sepuluh kali lipat dari sebelumnya. Hamzah sangat dekat dan sangat menyayangi Tisya, bahkan Hamzah selalu menguncir rumbut hitam legam milik Tisya.

"Cita-cita kamu kalau sudah besar ingin menjadi apa, sayang?" tanya Hamzah kepada Tisya yang sedang duduk di pangkuannya. Tisya tampak mengernyitkan dahi berpikir keras, "Aku mau jadi orang yang suka merancang gedung gitu ayah!".

"Arsitek? Wah cita-cita yang bagus, sayang. Kamu harus belajar dengan giat agar bisa mencapai semuanya, dan jangan lupa untuk selalu berdoa dan jujur. Sebab orang sukses, jika tidak jujur tidak akan bisa di percaya oleh orang-orang" Hamzah mengelus rambut hitam legam itu dan mencium puncak kepala Tisya dengan sayang.

Sampai suatu ketika, hari itu tiba. Hari yang merebut kebahagiaan dalam keluargaku. Aku, Hamzah dan Tisya, kami bertiga pergi ke kawasan wisata Puncak untuk liburan di sana. Menghabiskan waktu bersama di sana. Dan ketika perjalan menuju Puncak-Jakarta, hujan turun dengan sangat derasnya, jalanan samar-samar terlihat. Hamzah mengendarai mobil dengan perlahan, kukencangkan seatbelt dan kupeluk erat Tisya yang ketakutan. Dari arah berlawanan kulihat lampu mobil begitu terang mendekati mobil yang kami tumpangi. *BRAK* terdengar suara terbanting, tubuhku terasa sangat sakit sekali dan tercium sesuatu yang cair dan berbau amis. Kudengar semua orang berteriak mengatakan, "tolong mereka! Kasihan ada seorang anak kecil di dalam sana! Cepat panggilkan ambulan!" sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaran. Hening seketika. Gelap menguasai seluruh pandanganku.

***

Kepalaku terasa berat sekali seakan ada seseorang yang sedang mendudukinya. Aku tersadar dari tidurku, dan kulihat banyak orang memakai baju seragam putih, itu adalah perawat. Pantas saja aku mencium aroma obat-obatan yang menusuk penciumanku.

"Mengapa saya bisa ada disini?" tanyaku serak. Perawat itu menoleh.

"Syukurlah anda sudah sadar, kemarin anda koma selama dua hari lamanya" jelas perawat itu.

Apa? Aku koma? Selama dua hari? Tapi apa yang terjadi? batinku, pandanganku meneliti semua sisi kamar rawat ini. Dimana suami dan anakku? batinku mulai resah.

Perawat itu menghela napas dan ekspresinya berubah, sepertinya dia tau apa yang kucari. "Pasien yang bernama Tisya baik-baik saja, beliau sedang beristirahat di kamar rawat sebelah" jelas perawat itu. Aku menghela napas lega saat mendengar penjelasannya. Tapi ekspresi perawat itu masih menegang, ada sesuatu yang tidak beres di sini pikirku mulai menebak-nebak. "Tapi saat pasien yang bernama Hamzah dilarikan ke rumah sakit setelah kecelakaan itu terjadi, para dokter berusaha menyelamatkannya tapi takdir berkata lain" sambung perawat itu.

Air mata meleleh membahasi kedua pipiku. Orang yang kucintai tewas dalam kecelakaan tragis itu! Aku berharap apa yang dikatakan perawat itu hanya sebuah lelucon, tapi ternyata tidak! Itu sungguhan! Aku berharap ini mimpi! Tapi ternyata memang benar-benar nyata. Orang yang sangat kucintai kini telah pergi meninggalkanku dan Tisya untuk selamanya.

Seseorang yang ditinggalkan pergi oleh orang yang paling di cintai berhak meratap dalam kesedihan bukan? Setelah Hamzah pergi, aku membeli rumah petakan untuk kami tinggali. Kucoba untuk kuat dan bertahan demi Tisya. Berat rasanya menjalani kehidupan tanpa ada seorang suami, tapi setidaknya takdir masih berbaik hati karena hanya mengambil Hamzah dari kami. Kecelakaan, ya kecelakaan malam itu, kecelakaan itu berhasil membuatku koma selama dua hari dan berhasil memisahkan Tisya dari ayahnya bahkan memisahkanku dari cinta sejatiku. Biarlah Hamzah pergi untuk selamanya, tapi sampai kapan pun dia akan tetap hidup di hatiku dan tak akan bisa tergantikan atau terlupakan meskipun hanya seberkas bayangan saja.

***

Terdengar derap langkah kaki memasuki rumah. Aku kenal siapa orang yang memiliki irama langkah kaki seperti itu. Siapa lagi kalau bukan puteriku, Tisya Swaratama. Kini umurnya sudah tujuh belas tahun. Berarti sudah sepuluh tahun lamanya aku membesarkan Tisya seorang diri dan juga sudah selama ini Hamzah pergi dari kehidupan kami untuk selama. Air mata ini sering mengalir tiba-tiba saat aku merasa rindu menyerang hati ini, tapi aku harus bersandiwara di depan Tisya sebagai wanita kuat. Karena kupikir jika aku lemah, siapa yang nanti akan menguatkan Tisya dan menjaganya selain diriku?

"Kamu baru balik, nak?" tanyaku saat Tisya mencium telapak tanganku. "Iya bu, tadi Tisya kerja kelompok fisika dulu sama Delina terus sekalian Tisya mampir ke perpustakaan balikin buku sekalian minjem buku lagi. Makanya Tisya pulangnya agak terlambat sedikit, maafin Tisya ya bu" Tisya menjelaskan alasannya pulang terlambat dan terdengar helaan napas menyesal darinya.

Aku mengangguk, "Iya nggak apa-apa kok sayang, ibu mengerti. Kamu pasti lelah 'kan? Sekarang kamu pergi mandi biar segar abis itu kita makan. Mama sudah masakin sambal ikan peda kesukaan kamu." Tisya membuka mulut dan matanya berbinar senang, "Ikan peda di sambal? Astaga ibu itu the best banget deh! Pokoknya aku sayang ibu!" Tisya kegirangan dan langsung memelukku.

"Ibu tau itu, tapi ibu lebih menyayangi kamu dari pada hidup ibu sendiri" ucapku membalas pelukkan Tisya lebih hangat. Tisya langsung masuk ke kamar dengan ekspresi yang sangat sangat senang sekali. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum melihat tingkah laku puteriku yang seperti anak kecil yang medapatkan banyak permen. Menggemaskan!

****








Ini dari sudut pandang Ainun, ibunya Tisya. Panjang banget yaa? Jangan bingung, nikmati aja alurnya ya guys. Maaf kalau gak jelas atau freak ceritnya. Maaf juga kalau aneh. VOMENT. Thanks...

Contract Couple ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang