Malam itu setelah Tristan menceritakan semua alasan sikapnya yang kasar kepada Tisya selama ini, dia pun keluar dari kamar rawat Tisya. Semua alasan Tristan kenapa berlaku kasar pada Tisya sudah dia ungkapkan tanpa terkecuali. Saat punggung Tristan sudah hilang di balik pintu, Tisya membuka matanya. Ya, dia mendengar semua kebenaran yang diungkapkan sama Tristan. Semuanya, tanpa terkecuali."Maafkan aku Tristan, maaf jika aku egois. Maaf jika hari itu aku justru meragukanmu. Maaf jika aku tidak bisa tau kalau kau berpura-pura. Aku mohon maaf, Tristan." Tisya menangis terisak. Cairan bening kembali membahasi pipinya.
"Harusnya aku selalu ada untukmu, harusnya aku berdiri tegak di sampingmu. Harusnya aku membuatmu percaya kalau aku sangat tulus mencintaimu bukan malah pergi meninggalkanmu seperti ini." Tisya menyeka cairan bening itu dari pipinya.
"Aku memang perempuan bodoh. Perempuan yang sama sekali tidak tau berterima kasih!" Aku memukul-mukul kepalaku. Merutuki kebodohan yang kulakukan.
***
Mobil Tristan melesat ke suatu tempat. Di sinilah mobilnya berhenti. Di halaman rumah Raka. Tadi Raka memintanya untuk datang ke rumah karena ada suatu hal penting yang ingin dia sampaikan. Tristan melangkah gontai memasuki rumah keluarga Raka. Jangan tanya kenapa Tristan main masuk saja. Dari kecil Tristan berteman dengan Raka, makanya dia masuk gitu saja ke dalam rumah Raka tanpa mengetuk pintu dulu. Ibarat kata, itu rumah orang tua kedua Tristan.
Tristan duduk santai di sofa yang terletak di sudut kamar Raka. "Ada hal penting apa sampai gue harus datang ke sini?" Rio dan Raka menatap serius ke arah Tristan. Tristan mengambil gelas berisi jus jeruk di atas nakas dalam sekali tenggak gelas itu sudah habis.
"Gue dapat informasi tentang kehidupan Cika, kenapa dia tiba-tiba datang lalu pergi gitu saja" Rio membuka pembicaraan dengan nada yang terdengar begitu serius. Mendengar kata Cika, Tristan langsung menatap Rio serius, membenarkan tubuh dan menajamkan telinga.
"Dia datang ke sini dengan satu tujuan, mendapatkan harta lo." Tristan mendengar baik-baik ucapan Rio.
"Gue punya sepupu yang kerjanya semacam detektif gitu. Terus gue minta dia buat selidiki tentang Cika. Dalam sehari dia berhasil mengumpulkan informasi tentang Cika. Asal lo tau saja, Cika itu orangnya gila harta" Rio bercerita. "Gila harta? Nggak mungkin, Yo" Tristan langsung menyanggah cerita Rio.
"Itu mungkin, Tris, salah satu korban Cika adalah temannya sepupu gue. Baru-baru ini mereka jadian. Semua keinginan Cika dia penuhi, sampai apa yang Cika dapat sudah terpenuhi semua, dia langsung di tinggal pergi gitu saja. Lebih tepatnya lagi penipuan. Dia mengambil semua harta cowok menggunakan parasnya. Sepupu gue menyelidiki kemana Cika pergi. Sepupu gue bilang Cika tinggal di Singapura saat ini" jelas Rio.
"Jadi gue dapat menyimpulkan kalau kedatangan dan kepergian Cika yang tiba-tiba ini memang sudah dia rencanakan. Korbannya selalu orang-orang yang berduit seperti lo" Rio menambahkan ucapannya lagi. Tristan diam menyerap ucapan Rio. Dia langsung teringat kejadian di toko perhiasan. Apa mungkin memang Cika menipunya? Apa mungkin Cika sengaja melakukan semua ini? Astaga, pusing mulai melanda kepala Tristan.
Rio menyeruput minumannya. "Selama ini dia masuk dan mengganggu hubungan lo sama Tisya cuma demi harta. Selama ini dia dekat sama lo dan bersikap baik biar lo labil antara dia sama Tisya. Dia sengaja kaya gitu biar apa yang dia butuh itu terpenuhi dan satu-satunya jalan cuma lo, Tris!"
"Apa yang dikatakan oleh Rio itu benar, Tris. Ada satu hal lagi yang belum lo ketahui tentang Cika. Dan sekarang lo harus tau semua ini" kali ini Raka yang berbicara sangat serius. "Apa?"
"Menurut gue semua yang terjadi ini ganjil, gue langsung menyelidiki masalah ini. Lo ingat waktu perusahaan om Irvan di ambang kebangkrutan?" Tanya Raka. Tristan mengangguk. "Cika dengar kabar itu dari orang-orang. Seperti yang dikatakan Rio kalau Cika itu hanya memanfaatkan harta cowok. Waktu Cika tau perusahaan om Irvan akan bangkrut, dia shock. Dia nggak mau punya pacar orang susah. Di hari kelulusan, dia mengakhiri hubungan kalian 'kan?" Raka mulai menceritakan hasil penyelidikannya.
Tristan mengangguk, "Iya dia pergi gitu saja. Tapi dia sudah jelasin semua ke gue kalau orang tuanya minta dia buat kuliah ke Australia."
Rio berdecak, "Dan lo percaya sama omonganya?" Tristan mengangguk samar. "Ganteng iya, sayangnya gampang banget lo buat di bodoh-bodohin, Tris." Tristan mempelototi Rio yang berbicara seenak jidatnya.
"Bukan itu alasannya. Asal lo tau, nyokap bokapnya tinggal di London. Cuma dia yang tinggal di Australia. Dia menolak untuk ikut keluarganya. Sebelum dia putus sama lo, dia jadian sebulan sama yang namanya Verrel apa Varrel gitu kalau nggak salah. Orangnya kaya, pengusaha terkenal di Australia. Makanya saat lulus dia mengakhiri hubungannya sama lo dan pergi ke Australia bersama dengan cowok itu. Intinya dia sama sekali nggak cinta sama lo, dia cuma manfaatin harta lo" Raka menceritakan semua kebenaran. Tristan menegang mendengar cerita Raka dan Rio. Terkejut memang, tapi kedua temannya itu selalu mendapat bukti yang akurat.
Tritan menyambar gelas kosong yang ada di dekatnya, apalagi kalau bukan untuk di banting. Rahangnya juga mengeras, napasnya tersengal-sengal, kesal melandanya. Raka berdecak sebal, "Sumpah ya gue benci sama kebiasaan lo yang satu ini! Biasain kek kalau marah itu jangan banting barang! Hidupnya perusak barang orang nih!"
"Lebih baik dia jadi perusak barang dari pada perusak hubungan, Rak" Rio terkekeh kecil menimpali ucapan Raka. "Kurang-kurangi kebiasaan lo kayak gini, Tris, merugikan tau nggak lo? Kasihan orang tua gue bisa bangkrut kalau begini caranya! Kalau punya keluarga lo nggak masalah buat gue, tapi masalahnya ini punya keluarga gue, Tris" Raka menggerutu.
"Alah bawel lo dari dulu nggak berkurang, Raka. Lebih-lebih dari cewek lo! Bilang sama tante Vivi, maaf gelasnya gue banting. Nanti gue ganti semua kerugiannya" Tristan berbicara dengan angkuhnya. Dia beranjak dari sofa dan pergi setelah mengatakan itu. Rio dan Raka hanya menggelengkan kepala pasrah.
Tristan membuka pintu kamarnya kasar. Di tangannya terdapat dua buah kaset dan dimasukkan kaset yang pertama itu ke dalam laptop. Tak butuh waktu lama kaset itu sudah terputar. Bukan film, melainkan sebuah rekaman cctv. Cctv yang terletak pada kamar apartemennya. Tistan fokus mengamati rekaman cctv yang sedang berputar di laptopnya.
Seorang wanita cantik, memiliki warna kulit kuning langsat, memiliki tinggi badan sekitar 160 cm. Siapa lagi kalau bukan Tisya. Dia menggenggam amplop cokelat, sepucuk surat dan map merah berisikan contract couple yang di tulis Tristan. Dia meletakkan ketiga barang itu di bibir tempat tidur. Dia mengelus lembut kasur berukuran king size itu, cairan bening kembali lolos dari pelupuk matanya tapi dia langsung menyekanya. Menatap lamat-lamat cincin permata yang pernah Tristan berikan padanya dulu. Dengan berat hati dia melepaskan cincin permata itu di sertai sebutir cairan bening yang lolos dari pelupuk matanya. Ya, dia menandatangani surat permintaan putus itu. Gila memang. Tapi itu keputusannya. Usai sudah semua yang dilakukannya, dia pergi meninggalkan kamar Tristan dengan berlinangan air mata. Sedari tadi dia sudah berusaha untuk tidak menangis, tapi tetap saja matanya mengeluarkan air mata. Sekarang dia sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Dia sebatang kara. Dia hanya mengikuti hembusan angin yang membawanya entah kemana.
Rekaman cctv itu berakhir. Tristan memasukkan kaset yang pasti berisi rekaman cctv terakhir. Tak butuh waktu lama juga, rekaman cctv itu sudah mulai. Kali ini yang ditampilkan adalah sosok berbeda tapi tak asing di mata Tristan.
****
Aih siapa ya orangnya? Kalian pasti taulah siapa orangnya. Kalau aneh atau gak jelas, mohon dimaafkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Contract Couple ✔
Teen FictionCinta pandang pertama atau cinta sejati? Percaya atau tidak keduanya itu sangat berbeda. Contract Couple; 1. Jika pihak yang menulis kontrak mengutarakan pendapatnya untuk melanjutkan hubungannya naik satu tingkat, itu karena semata-mata hanya untuk...