TisyaTak lama dokter keluar. Langsung kuhampiri saja dokter itu. Belum sempat aku bertanya, tatapanku sudah tertuju pada suster yang melepas infus ibu. Aku langsung menerobos masuk ke dalam. "Berhenti! Jangan lepas alat itu! Ibuku membutuhkan itu untuk sembuh! Tolong pasangkan kembali suster!"
Tangan dokter itu mendarat di bahuku. "Maaf nak, kami sudah mengobatinya semampu kami. Tapi sepertinya Tuhan mempunyai rencana lain." Apa maksud dokter itu dengan rencana lain. Aku menoleh, "Maaf dokter. Maksudnya apa ya? Ibu saya baiķ-baik saja. Tolong dokter bilang sama suster itu untuk memasang kembali alat ibu saya, dokter" nada suaraku mulai bergetar.
"Maaf nak, kami sudah sekuat tenaga untuk mengobati penyakit ibumu. Tapi kanker yang pasien derita sudah mulai menyebar kemana-mana dan tubuhnya juga sama sekali tidak merespon pengobatan yang kami berikan. Maafkan kami, tapi kami sepakat untuk mencabut semua alat bantunya." Dokter itu menatapku dengan menyesal.
Aku memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Berusaha kuat dan menerima semua ini dengan sikap dewasa. Kutatap dokter dan suster itu. Lengang. Satu detik. Dua detik. Lalu aku menganggukkan kepalaku menyetujui ucapan dokter itu. Mungkin itu memang yang terbaik. Suster itu mulai melepas semua alat bantu dari tubuh ibu. Lima menit berlalu, ruang ICU sudah sepi. Kini hanya ada ibu yang masih setia memejamkan matanya dan aku yang kembali menumpahkan cairan bening.
"Jangan marah kalau aku memutuskan untuk mencabut alat bantu yang mengerikan itu, bu. Apa yang dikatakan dokter benar. Jika aku mempertahankan ke egoisanku untuk membuat ibu bertahan hidup dengan alat bantu itu justru aku membuat ibu tersiksa. Semakin lama alat itu menempel pada ibu membuat tubuh ibu semakin kecil dan aku nggak sanggup melihat ibu menahan sakit seperti itu." Ucapku pilu. Lengang sejenak.
Aku menghela napas berat. "Maafkan aku yang sudah terlalu egois menahan ibu selama ini. Sekarang ibu sudah bebas dari alat itu dan sudah nggak merasa sakit lagi. Pergilah bu." Aku berbisik di depan telinga ibu. "Aku ikhlas bu, aku ikhlas. Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu" sambungku. Langsung kupeluk tubuh mungil ibu dan kukecup keningnya untuk yang terakhir kali. Malam ini aku menjadi seorang yatim piatu. Tapi tidak apa, setidaknya ibuku sudah bebas dari rasa sakit yang di derita selama berbulan-bulan dan pasti ibu sudah bahagia bersama ayah di sana.
Ibu meninggal tepat di hari jumat, malam sabtu. Aku hubungi ketiga temanku, memberitau kalau ibu meninggal. Suasana penuh haru menyelimuti pemakaman ibu. Jenazah ibu sudah dikuburkan. Tidak banyak orang yang datang ke pemakaman. Hanya ketiga temanku, kerabat dekat dan tetangga. Jangan tanya Tristan datang atau tidak. Dia sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya selama pemakaman ibu berlangsung. Mungkin dia sedang menikmati sabtu bersama Cika. Aku berjongkok di samping makam ibu, ketiga temanku masih setia menemaniku. Hanya tersisa kami berempat.
"Yang sabar ya, Sya. Semua sudah di atur. Mau tidak mau, suka tidak suka kita harus melewatinya" Delina mengusap punggungku. "Iya Sya, setiap ada masalah pasti ada jalan keluar. Badai datang pasti akan reda. Semua cuma permainan waktu saja" Amel menyemangatiku.
"Ingatlah selalu kalau kita itu teman, jadi jangan sungkan untuk meminta bantuan. Dan ingatlah juga kita akan selalu ada buat kamu, Sya." Yuri juga menyemangatiku. Aku mengangguk. Setidaknya masih ada yang peduli padaku. Kami berempat berpelukkan. Aku bersyukur atas kehadiran mereka bertiga di hidupku dan mau menjadi temanku.
***
Cairan bening masih lolos dari pelupuk mata saat aku mengingat ibu. Sudah dua hari ibu pergi meninggalkanku tapi kenangannya selalu berputar di benakku. Aku memutuskan untuk tidak tenggelam dalam kesedihan, pasti ibu juga sedih jika aku tenggelam dalam kesedihan. "Aku mencintaimu." Kata-kata Tristan dan Cika selalu terbayang-bayang di telingaku apalagi saat aku sedang duduk sendiri dan termenung. Kata-kata itu terdengar sangat jelas sekali. Aku merasa sebagai penghalang antara dua orang yang saling mencintai.
Sepulangnya dari sekolah aku merapikan semua pakaianku dan barang-barang ke dalam tas besar. Tak lupa sepucuk surat dan amplop berwarna cokelat juga kumasukkan ke dalam tas itu. Kutatap surat contract couple yang Tristan berikan saat itu. Aku menatap lamat-lamat isi surat pada lampiran kedua itu. Kata-kata Tristan dan Cika selalu terdengar jelas di telingaku. Kupejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Butuh waktu dua detik saja sudah tertera tanda tanganku di atas kertas perjanjian itu. Selesai sudah semuanya. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku pergi meninggalkan rumahku.
Tak terasa malam sudah tiba, aku bingung ingin pergi kemana. Aku masih mengikuti langkah kakiku dan angin yang entah membawaku kemana. Langkah kakiku berhenti saat melihat anak kecil yang menangis di tengah jalan. Aku berkali-kali meneriakinya untuk minggir tapi anak itu diam saja di tengah jalan dalam keadaan menangis. Dari arah yang berlawanan aku melihat sebuah truk barang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Semakin dekat dengan anak itu. Ramai orang di jalan tapi tidak ada yang berniat untuk menolong anak kecil itu. Kasihan sekali anak kecil itu.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda truk itu akan berhenti, justru truk itu semakin cepat. Sepertinya truk itu lepas kendali. Kubiarkan tas itu di tepi jalan, aku berlari sangat cepat ke arah anak itu. Aku mendorong anak itu. Tapi truk itu semakin dekat denganku, membuatku tak sempat untuk menghindarinya. Aku merasa tubuhku remuk, terpental sangat kencang ke tepi jalan lalu terseret di trotoar. Aku mencium cairan yang amis mengalir pada bagian wajahku. Aku merasa mataku berat sekali, rasanya jika dipejamkan sebentar akan menjadi ringan. Aku mendengar suara riuh yang mengerubungiku, tak tau mengapa mereka mengerubungiku. Sedetik. Dua detik. Lima detik. Aku tak kuasa menahan berat pada mataku, aku memejamkan mata dan saat itu juga semua menjadi gelap gulita bahkan suara riuh orang-orang tak dapat terdengar lagi olehku.
Sinar putih begitu menyilaukanku. Aku berada di tempat yang serba putih, tak tau di mana. Tapi ada sepasang suami istri yang tersenyum dan menghampiriku. "Ayah? Ibu?" Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Kedua orang tuaku berdiri di hadapanku. Apakah ini hanya halusinasiku saja? Seorang lelaki hebat, ayahku, kini berdiri di depanku dengan pakaian serba putih. Aku tak mungkin salah mengenali ayahku sendiri. Rambutnya, mata hitamnya dan bibir tebalnya. Dia memang ayahku. Dan wanita yang di sampingnya adalah ibuku. Badan mungilnya yang membuatku tak salah mengenalinya. Tapi ada sesuatu yang berbeda, wajah ibu nampak lebih bersinar dan lebih bahagia. Dia sudah bahagia rupanya.
"Kami sangat merindukanmu, nak. Akhirnya kau bisa menyusul kami juga. Kini keluarga kita bisa kembali berkumpul bersama-sama lagi" ayah mencium puncak kepalaku. Ibu hanya tersenyum lebar. "Aku menyusul kalian? Benarkah setelah ini kita akan bersama-sama lagi?" Aku menatap ayah dan ibu dengan penuh harapan. Ayah mengangguk mantap.
Mereka berdiri dan berjalan di depanku. Aku mengikuti mereka berdua dari belakang. Senang sekali akhirnya aku dapat bertemu dengan mereka lagi. Terutama ayah. Langkah kaki ibu tiba-tiba saja berhenti. Ayah dan aku serempak ikut menghentikan langkah kaki. Ibu berbalik badan dan menoleh ke arahku.
"Tisya, anakku. Maaf, ternyata kau tidak bisa ikut bersama dengan kami" ucap ibu menyesal. "Tapi kenapa, bu?" Aku bingung.
"Karena kau masih memiliki tugas yang belum kau selesaikan, nak. Terutama pendidikanmu, kau berjanji akan menyelesaikan pendidikanmu dan membuat kami bangga 'kan? Jadi selesaikan semua tugasmu baru kau bisa ikut dengan kami, sayang" ibu mengelus puncak kepalaku dan mengecup pipiku.
****

KAMU SEDANG MEMBACA
Contract Couple ✔
Teen FictionCinta pandang pertama atau cinta sejati? Percaya atau tidak keduanya itu sangat berbeda. Contract Couple; 1. Jika pihak yang menulis kontrak mengutarakan pendapatnya untuk melanjutkan hubungannya naik satu tingkat, itu karena semata-mata hanya untuk...