O, Kakanda, Kakanda, pelipur laraku yang permai. Siap binasa untuk ku.
Jantung hatiku untuk terus hidup dalam opera dunia.
Pelindung ku yang tiada tara; dekap agar aku hangat.
Kisahku sebagai huruf untuk acuan kematian. Sanggupkah untuk ku kenang.
Garis takdirku tak lagi sebesar dahulu.
Yang kini lenyap dalam hampa.
Aku kelu, bibirku tak semerah dahulu untuk berucap.
Hanya satu bait yang ingin ku sembah untukmu, alunan semak belukar yang mengintip dalam tidurku.
Terkadang aku takut.
Namun aku tak sanggup bangun untuk memanggil mu, bahwa aku dalam bahaya.Sanggupkah, sanggup aku untuk membangunkan tidur permaimu itu?
Aku rela mati, saat itu juga.
Mungkin kini terakhir kalinya aku melihatmu mengulas senyum.
Dan, berhenti berburu cinta padamu.
Perlu diketahui, jika malam ini aku telah tiada.
Dekat dipan yang kau singgahi, Kakanda.
Aku pergi, dan lenyap dalam malam yang hampa.Minggu, 12 November 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
KLASIK √
Poetry❲𝗽𝗲𝗺𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴 𝘄𝗮𝘁𝘁𝘆𝘀 2017 𝗸𝗮𝘁𝗲𝗴𝗼𝗿𝗶 𝗡𝗲𝘄𝗰𝗼𝗺𝗲𝗿𝘀❳ Aku diterpa angin malam. Telingaku kalut, tertampar suara gagak hitam. Hingga aku tak dapat bermalam. Dalam hatimu yang tentram. © copyright 2017 R I N I...