Bab 36

378 27 5
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul 6.30 sore. Rafa baru terbangun dari efek samping obatnya. Meskipun kondisi Rafa sudah membaik, ia masih harus meminum obat-obatan yang diberikan dokter. Ia sudah bisa melakukan aktivitasnya dengan normal, seperti mengurus dua bayinya, meskipun masih harus dibantu oleh Bi Inah.

Ia berjalan menuju kamar dimana Pra dan Pri berada. Di dalam sana, ada Bi Inah yang baru saja menggantikan popok keduanya. Rafa berjalan mendekati Bi Inah, lalu mengelus perut bayi-bayi mungilnya.

"eh Non, udah bangun" ujar Bi Inah yang sedikit terperanjat ketika Rafa tiba-tiba datang.

"udah Bi, masih agak pusing sih. Pra sama Pri udah dikasih minum?" tanya Rafa sambil mengedarkan pandangannya, mencari botol ASI yang baru saja ia isi tadi pagi.

"udah Non, baru aja setengah jam yang lalu saya kasih. Botolnya tadi bibi simpen di dapur, mau di cuci" jawab Bi Inah, Rafa hanya mengangguk saja.

Setelah beres menggantikan popok Pra dan Pri, Bi Inah menggendong Pra kemudian menyodorkannya ke pangkuan Rafa. Bayi mungil itu terlihat tenang ketika digendong sang bunda. Rafa mengayunkan pelan sang bayi sambil menggumamkan alunan pengantar tidur. Setelah Pra berhasil tidur, kini giliran Pri yang Rafa gendong.

Setelah menidurkan kedua bayinya, ia kembali duduk di sofa lalu meraih ponselnya dari saku celananya. Tak ada pesan singkat yang masuk, hanya beberapa panggilan tak terjawab dari Mama dan Hafizh. Entah kenapa Rafa merasa menyesal telah melihat notifikasi di ponselnya itu, karena hatinya berharap ada ratusan panggilan tak terjawab dan puluhan pesan singkat yang masuk dari satu nama saja.

Haidar.

Tiba-tiba ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari Moza.

"Fa, udah bangun?" tanya Moza dalam telepon.

"eh Za. Iya, baru beberapa menit yang lalu. Masih pusing sedikit sih, tapi udah mendingan. Tadi habis tidurin anak-anak dulu" balas Rafa, suaranya masih agak lemas.

"tadi Rendy bilang, hasil pemeriksaan hari ini bagus semua. Obatnya masih harus diminum sampe abis ya" ujar Moza, terdengar suara kertas yang dibalik-balik.

"terima kasih Dokter Moza" ucap Rafa bercanda.

"dih, formal amat" gumam Moza, geli mendengar adik iparnya itu memanggilnya dengan sebutan "dokter".

"tapi gue sedih Za, yang ngingetin gue makan obatnya lo, bukan Haidar" gerutu Rafa, kakinya ia lipat dan punggungnya ia sandarkan ke sandaran sofa.

"gue yang lebih sedih, sebagai adik yang berbakti, kerjaan gue malah jagain istri kakaknya, waktu gue buat cari istri sendiri jadi tersita" gurau Moza sambil terkekeh. Rafa jadi ikut terkekeh dibuatnya.

"aduh, mulia sekali adiknya Haidar ini, semoga segera melepas lajang ya" ledek Rafa.

"tapi gue beneran bersyukur kok punya adik ipar kayak lo, ketimbang..." ujar Moza terhenti sejenak, mengingat-ingat lagi siapa yang hendak ia bicarakan.

"ketimbang apa?" tanya Rafa minta Moza melanjutkan kata-katanya.

"itu, ketimbang mantan bakal calon ipar gue sebelum lo. Gue lupa, siapa namanya ya..." Moza kembali mencoba mengingat-ingat lagi namanya.

"mantan Haidar maksudnya? Ribet amat penjelasannya. Emang kenapa dia?" tanya Rafa, penasaran kenapa Moza lebih memilih dirinya ketimbang mantan Haidar sebelumnya.

"orangnya baik sih, cantik pula, cantik banget. Kalo dalam hal ini lo emang kalah Fa.." ujar Moza, tak tahu Rafa sudah mengubah tatapannya menjadi tatapan membunuh, seolah matanya dapat menembakkan sinar laser pada Moza yang jaraknya ratusan meter darinya, karena berani-beraninya me-refer dirinya sebagai "tidak lebih cantik" dari sang mantan. Rafa jengkel karena merasa kalah satu poin dari mantannya Haidar.

Married with Mr. Detective 2 : Mr. Detective'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang