Di tempat ini, puisi hanyalah milik para penipu. Segala yang indah keluar dari para pendusta yang memapah setiap kata dalam dirinya menjadi kesan-kesan yang menyesatkan bahkan oleh pejalan kaki terbaik sekalipun. Betapa banyaknya penyair yang menuliskan hutan-hutan? Merindukan gairah alam, dan memerasnya, menjadi bongkahan kosong segala sesuatu.
Segala keindahan adalah rumah bagi para pencuri. Dan apa yang tak mampu dikembalikan, melahap segala yang tenang pada akhirnya.
"Oh para pemuja keindahan! Lihatlah apa yang kalian perbuat! Lihatlah!"
Suaraku bergema, memantul kembali di dalam siang yang begitu terik. Keindahan, di mana keindahan para penyair terdahulu?
Aku berjalan tertatih, di mana pohon-pohon semakin menipis, dan tunas-tunas muda mengering sebelum sempat menonjolkan dirinya sendiri. Tak ada lagi tempat bagi napasku untuk berteduh, mengerubuni lelah dengan untaian daun-daun segar dan berbayang. Segala yang berbau kayu mendadak lenyap, runtuh ke dalam ceruk mata dan ingatanku yang menua.
Aku berjalan perlahan, begitu lambat dan sekarat. Menggelengkan kepala begitu seringnya. Matahari membesarkan dirinya sendiri, memancarkan sinar yang tak lagi membuatku merasakan haru dan kasih sayang.
"Oh Matahari yang agung! Betapa lelahnya diriku berjalan di permukaan yang begitu gersang dan memanas ini. Tunjukkanlah belas kasihmu padaku! Tunjukanlah! Melemahlah wahai sang api yang begitu besar dan mengancam! Melemahlah!"
Aku bagaikan tersesat. Kaki-kakiku terhimpit oleh rasa lemah dan tak bertenaga. Kedua mataku menangkap kesan-kesan yang begitu aneh. Suara air bergemericik di kepalaku seperti dengung lebah yang mengitari madu-madunya. Dan segala yang aku inginkan, menusuk tubuhku tak henti-henti.
"Zarathustra, Zarathustra, di manakah engkau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA YANG MEMBOSANKAN
Non-Fictiontentang segala sesuatu kenapa dunia ini membosankan.