"Kau orang asing. Apa perlumu di tempat ini?" tanya seekor gagak dari ketinggian pohon.
Suara kekosongan menggema dalam dunia putih yang tanpa ujung. Seperti waktu yang berhenti mengalir. Diriku yang masih belum tersadar betul akan keterkejutan yang tiba-tiba. Tak sadar akan suara yang mengarah kepadaku.
Gagak hitam mengibaskan ekornya dan berkaok panjang. Membuat kesadaranku berangsur-angsur pulih.
"Apa perlumu di sini, hai manusia?"
Kedua kakiku berjalan mendekat. Menuju suara di atas sana. Daun-daun putih bersih yang berjatuhan dan satu-satunya diri yang hitam bergerak-gerak. Telingaku kini mengambil alih. Sebuah pertanyaan datang menuju diriku.
Suara sengauku pun keluar, "Maaf jika aku mengganggumu wahai gagak yang terberkati. Di sini adalah jalan yang harus aku lalui menuju tempat Zarathustra berada."
"Apa kau tahu tempat apa ini?" tanya gagak hitam sekali.
Aku menggeleng pelan. Mengakui ketidaktahuanku.
"Ini adalah tempat di mana kehidupan dan kematian bertemu. Tempat di mana awal dan akhir mengulangi dirinya sendiri."
Gagak hitam itu mengibaskan kedua sayapnya layaknya waktu yang memadat rapat. Matanya yang tajam bagaikan memotong ruang dan kini.
"Tak ada satu pun yang dapat memasuki dunia ini kecuali mereka yang sudah mati dan mereka yang baru memasuki hidup. Siapa dirimu manusia? Kenapa tubuhmu berbau kematian sekaligus kehidupan?"
"Aku tak tahu apa yang kau katakan wahai gagak. Bahkan aku tak tahu mengapa aku berada di tempat ini. Yang aku tahu hanyalah, bahwa aku berada di sebuah jalan menuju Zarathustra."
Gagak itu terbang dan hinggap di ranting putih yang lebih dekat denganku. Dunia putih yang ada di sekitarku terasa seperti ketiadaan yang tanpa ujung. Sebuah dunia tanpa warna dan hampir tanpa apa pun.
"Hmm, ada yang aneh saat aku melihat jiwamu, manusia. Jiwa yang lebih kosong dari pada dunia ini. Siapakah dirimu sebenarnya?"
Aku sekali lagi menggeleng. "Hanya seorang pengembara."
"Tak pernah kumelihat jiwa semacam ini kecuali dahulu kala yang jauh. Kau mengingatkanku dengannya, manusia. Dirimu adalah keberadaan yang lebih membingungkan dan terlalu dalam untuk bisa aku masuki."
"Apakah dia adalah Zarathustra?" tanyaku cepat dalam kegembiraan yang terasa menjalar dan hangat.
Gagak itu tak segera menjawab. "Laki-laki itu berbau hampir sama denganmu. Itulah yang aku ingat dari dirinya."
"Ke manakah dia pergi?"
"Ke tempat yang dijauhi oleh mimpi."
"Di manakah tempat itu berada?"
Gagak itu tak menjawab.
"Keluarlah segera dari tempat ini manusia. Keberadaanmu membuat dunia ini menjadi sedikit terganggu. Ambillah salah satu daun yang ada di bawah pohon ini. Makanlah. Kau akan segera kembali ke tempat di mana kamu seharusnya berada."
Gagak itu kembali terbang dan hinggap di pucuk paling atas. Keberadaannya menyisakan banyak pertanyaan bagiku. Aku berjalan pelan menuju pohon yang terasa jauh lebih besar dari sebelumnya. Membungkuk mengambil salah satu daun yang gugur di atas tanah yang putih.
"Makanlah segera, manusia!" ujar gagak itu dari ketinggian.
Segera saja aku memasukkan daun putih ke mulutku. Mengunyahnya.
Dunia di sekitarku tiba-tiba berputar dan berputar. Segalanya menjadi gelap dan tak terlihat bagi mataku. Kesadaranku semakin jauh.
Rasanya, aku bagaikan tengah tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA YANG MEMBOSANKAN
Non-Fictiontentang segala sesuatu kenapa dunia ini membosankan.