46

340 7 1
                                    

Malam menarik tubuhnya di antara pohon-pohon dan mengelupas di sebuah jalan setapak berupa tanah yang sedikit berdebu. Suara-suara binatang dan serangga-serangga kecil memasuki waktu dan meneduhkan kedua kakiku yang mulai agak goyah. Sang Pertapa berjalan dalam diamnya, seolah bumi tak lagi menjadi pijakan bagi kehadirannya yang begitu ringan dan tersamarkan dari setiap mata yang tak terlalu dalam.

Tak lama kemudian, seekor serigala berbulu merah menghentikan langkah keempat kakinya, menundukkan kepalanya saat Sang Pertapa lewat. Begitu terkejutnya aku saat Sang Pertapa mengusap kepala binatang liar itu dan mulai sedikit bergumam. Gumam yang tak mampu sampai ke dasar telingaku yang terlampau berjarak. Gumam yang tak aku mengerti, yang menenangkan setiap apa yang dilewatinya. 'Begitu terbekatinya kau!' ujar hatiku yang begitu tersentuh menyaksikannya.

"Kita sudah sampai anak muda!" teriaknya dengan penuh keceriaan saat sebuah rumah yang terbuat dari susunan kayu-kayu datang menghampiri penglihatanku. "Masuklah. Kau adalah tamu istimewaku malam ini."

Aku pun memasuki rumah itu. Dan kembali terkejut. "Betapa damainya segala cahaya kelembutan ini untukku! Menarilah wahai tubuh! Memekiklah dengan rasa yang tertawa wahai jiwaku yang memendam!"

"Menarilah anak muda! Sebelum segala cahaya ini surut dalam kecerobohan-kecerobohan manusia hari esok."

"Siapakah mereka itu?" tanyaku sambil membiarkan tubuh dan jiwalu bebas dalam kemauannya sendiri.

"Para kaum terpelajar! Mereka yang mulai memenuhi setiap inci tanah dan menyombongkan diri sebagai penerus para orang suci terdahulu. Lewat mulut merekalah segala racun tersebar di udara dan dengan kata-katalah mereka meremas segala yang tersisa dari kata yang beradab. Mereka menuliskan isi pikiran mereka sampai lupa diri mereka sendiri. Selalu bertengkar di antara sesama. Dan tak satu pun dari mereka yang pernah melihat permukaanya sendiri. Bau darah dan warna kelam dari hati yang coba diendapkan naik perlahan menjadi luapan rasa sakit dan amarah. Oh anak muda, terlalu banyak amarah dan balas dendam di antara mereka. Mereka yang terpelajar itu, belum benar mereka memasuki diri sendiri kini mereka bermaksud memusuhi setiap manusia yang tak memahami dirinya! Betapa kejamnya segala jenis kata-kata dan buku-buku di tangan mereka! Betapa terkutuknya setiap kebenaran yang mereka bawa kepada orang-orang yang kehilangan jalan untuk berpijak!"

Pertapa itu terbatuk, menyandarkan tubuhnya ke kursi bambu yang dianyam dengan indah. "Sudah sekian lama aku coba untuk berbicara dengan mereka. Tapi apa yang aku dapat? Tiap-tiap dari mereka telah memotong satu telinga mereka untuk menolak perkataan orang lain. Dan sisa yang satunya hanya untuk menyenangkan keinginan-keinginannya sendiri. Seolah ada gunung berbatu yang begitu tinggi dan susah untuk ditembus. Betapa kerasnya segala usaha untuk sekedar berbicara dengan mereka. Betapa terkurasnya waktu hanya karena ingin meluruskan jalan mereka yang seringkali berkabut. Mereka terlalu bangga dengan dunia mereka sendiri sehingga lebih sering menolak dunia orang lain begitu mudahnya. Mereka berjalan sambil membawa-bawa kebenaran di dalam dirinya dan pulang dengan wajah yang begitu bernafsu akan rasa pembalasan saat kebenaran yang mereka bawa terayun oleh kebenaran milik yang lainnya. Betapa keras kepalanya setiap kaum terpelajar di tanah ini! Betapa mudahnya mereka tersakiti dan menyimpan segala dengki hingga ke tulang mereka yang paling dalam. Pada akhirnya, segala kebenaran tak lain hanyalah kedok dari kebanggaan diri mereka yang begitu dipuja dan dituhankan. Tak kutemukan sedikit pun kebijaksanaan di antara mereka. Yang aku temukan hanyalah api di permukaan tanah yang berdaun kering."

Pertapa itu menggelengkan kepalanya pelan, kemudian masuk ke sebuah ruangan yang ada di belakang. Tak lama kemudian dia datang membawa sesuatu. "Makan dan minumlah. Tubuh akan tersiksa tanpa segala sesuatu yang ada di dunia ini. Pelankan sejenak tubuhmu di tempat ini wahai anak muda."

"Terbekatilah kau Sang Pertapa!" ucapku lirih, membuat Pertapa itu tersenyum kecil dan menggeleng.

"Aku tak memiliki apa pun di dunia ini," dia berjalan perlahan untuk menghidupkan pelita di sudut ruangan. "Seluruh yang aku miliki bukanlah milikku. Bahkan tubuh dan jiwa ini. Seluruhnya hanyalah waktu yang sekedar ada sejenak dan memberikan bentuk pada yang akhirnya pudar. Kau tahu anak muda, apa yang kita anggap sebagai milik hanyalah keinginan kita agar sedikit tertenangkan dalam penderitaan yang begitu panjang dan melelahkan. Semua orang berkata, 'Ini Milikku!' Tapi apa yang sebenarnya mereka miliki?"

"Kesementaraan yang terasa panjang.Itulah yang mereka takutkan dan ingin atasi?" balasku sambil berusaha menuangkan air ke dalam tenggorokanku.

"Ya. Manusia takut pada kehidupan mereka sendiri. Itulah sebabnya mereka menyelubungi diri dengan apa-apa yang mereka anggap sebagai milik."

"Bagaimana dengan mereka yang terpelajar?"

"Mereka menganggap kebenaran adalah barang milik. Lalu mereka bertengkar memperebutkannya. Tak satu pun dari mereka yang mengalah. Mereka semua hanya ingin segala sesuatunya untuk diri mereka sendiri."

Aku merenungkan perkataan itu untuk sejenak. Berusaha untuk mencerna apa yang akhirnya aku ingin telusuri lebih jauh. "Bagaimana dengan para filsuf?"

Pertapa itu kali ini terdiam cukup lama. Sorot matanya tersamarkan oleh remang ruangan, di mana cahaya dari api kecil yang tersebar tak mampu mengusir seluruh gelap yang lebih berkuasa.

"Filsuf? Jenis yang terbaik dari mereka telah musnah. Yang terbijak dari jenis mereka telah mengembuskan napasnya berpuluh tahun yang lalu tepat di depan kedua mataku sendiri. Kini yang tersisa hanyalah anak-anak muda yang bahkan tak mampu memahami perasaan dan pikiran mereka sendiri. Bagaimana anak-anak muda itu berani menyebut dirinya filsuf jika mereka tak mau mengerti bagaimana seekor semut lahir dan hidup? Apakah mereka kini merasa bijaksana saat tak satu pun dari mereka mengerti burung-burung? Dan saat kaki-kaki mereka menyentuh tanah, sudahkah mereka memasukkan hatinya ke dalam segala ruang dan tempat?" Pertapa itu kembali menggeleng. "Tidak. Mereka kini hanyalah sekumpulan kaum terpelajar yang lain. Yang terbaik dan terbijak di antara mereka sudah berlalu."

"Aku mengerti. Apakah itu sebabnya binatang dan tetumbuhan begitu membenciku?" tanyaku dengan perasaan sedih dan berat.

"Tidak anak muda. Ada sesuatu yang lain dari dirimu. Tak seorang manusia dan binatang bahkan tumbuh-tumbuhan yang akan mampu memahamimu saat ini. Tak juga benda-benda. Kau harus mencari kunci yang tepat agar dirimu mampu dipahami oleh makhluk hidup yang lain."

"Tapi tongkat ini cukup memahami keberadaanku," aku coba untuk sedikit menyangkat.

"Ia sesuatu yang lain. Sama dengan dirimu."

Pertapa itu mulai beranjak dari tempatnya, "Tidurlah anak muda. Pakailah tempat itu untuk menenangkan tubuhmu malam ini. Sudah waktunya kita tertawa dalam kelembutan kita yang tersisa."

Pertapa itu pun berlalu. Meninggalkanku dalam pertanyaan-pertayaan yang berjalan dalam kegelapan malam di luar sana.

DUNIA YANG MEMBOSANKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang