Pada tengah malam yang hanya terdengar suara desakan angin. Aku terbangun dari tidurku yang lelap. Tak kutemukan lolongan serigala, auman macan tutul, atau derikan ular dan serangga-serangga. Sinar bulan menelan sebagian kegelapan dan menerobos masuk melewati celah-celah daun. Tak ada seorang pun di sini kecuali aku dan sang mayat.
Dari tempatku bersadar, aku teringat dengan apa yang pernah dikatakan Zarathustra, "Dan tidur bukanlah seni yang remeh."
Terpujilah mereka yang mengagungkan tidur dan bermalas-malasan. Waktu tak terlalu menindas diri sendiri dan setiap anak kecil dan perasaan ingin melompat menjadi kelembutan-kelembutan seorang yang mengetahui.
Apa yang membuat manusia menjadi terlalu berpenyakit adalah kerja keras dan mata yang selalu terbuka pada setiap harinya. Segala jenis pekerjaan yang terlalu lama dijalani, menyedot segala yang baik dan lugu. Manusia-manusia terlalu banyak beringin, dan pada akhirnya segala upaya yang dilakukan menusuk balik jiwa mereka yang paling renta.
Mereka yang bekerja terlalu lama, harus terbiasa membenci orang lain dan diri sendiri. Ego yang terlalu membesar lahir dari setiap kerja keras hingga meledak menjadi tak manusiawi.
Pada akhirnya, kerja adalah awal mula dari segala perang, marah, dan rasa sakit. Dan saat umat manusia kembali mencintai tidur panjangnya, dunia kembali menjadi lebih lembut dan menyenangkan.
Betapa mengagumkannya jika umat manusia mempersembahkan hampir seluruh harinya untuk tidur. Seperti sang mayat yang ada di depan mataku ini.
Tidakkah Zarathustra juga pernah berteman dengan sesosok mayat di awal perjalanannya?
"Begitu irinya aku kepadamu wahai pemuda yang begitu lepas! Betapa ringannya jiwamu, terbebaskan segala pikiran dari apa yang diberatinya. Ah, betapa menyenangkannya menolak usia yang terlampau menjerat dan menggoda adaku ini. Usia dan segala hari yang dipertahankan adalah apa yang paling dilupakan oleh umat manusia. Di kedalaman hari-hari yang digenggam terlalu erat. Segumpal racun menjalar pada perut dan lidah yang kecanduan akan segala jenis rasa dan gairah nikmat. Oh pemuda yang begitu tenang! Kelembutanmu menerangi sinar bulan yang bercahaya membangunkan mereka yang merenungi. Tidurlah dengan perasaaan puas yang tak dapat ditandingi oleh mereka yang terus terikat dengan keinginan hidup!"
Aku pandangkan mataku pada sebaris gunung di kejauhan. Rasa-rasanya, pada pagi hari tadi, gunung-gunung itu masih begitu dekat dengan diriku. Tapi betapa cepatnya jarak yang dibuat oleh kedua kakiku. Mungkin itulah sebabnya manusia terlalu mudah tersesat dan tak lagi mudah mengenali arah. Manusia terlalu cepat menggulung hari dan memperpendek jarak masa depannya sendiri. Hingga melupakan inti dari benda-benda dan usia yang merambati tenggorokannya dengan begitu terburu-buru.
Sejauh mataku memandang, di balik hutan-hutan yang kian mengerut dan tertawa. Ejek-ejekkan yang tak surut di malam hari sedikit reda oleh arah angin yang menghalau segala suara dan perasaan benci. Begitu bercahayanya malam sewaktu waktuku membuka. Begitu menenangkannya segala yang aku dapati ini.
Saat suara-suara bungkam dan menyurutkan dirinya. Ketenangan meresap menjalari segala yang tak dilaluinya.
"Ah, betapa indahnya malam hari yang membisu! Betapa cerahnya langit tanpa ribuan mulut di permukaan tanah! Bergegaslah segala perasaan bahagia dan mendebarkan! Peluklah aku dalam apa-apa yang tak aku ketahui dan pikirkan! Di sinilah, seorang manusia menertawakan apa yang hendak ditujunya dengan arah yang terlampau bercabang!"
Sang tongkat masih begitu lelap di samping tubuhku. Biarlah dia tertidur dalam diam dan kebisuannya. Seperti sang mayat yang begitu tenang dalam kesungguhannya yang membuatku iri. Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang?
Aku menimbang-nimbang, apa aku harus melanjutkan perjalananku atau kembali ke dalam tidurku yang teralihkan? Atau mungkin, aku harus berbincang dengan mayat yang ada di depanku ini?
"Mereka yang kembali tidur dari keadaan bangunnya mewadahi kebijaksanaan dirinya, dan memenuhi usianya dengan keagungan yang jarang didapat," begitulah jiwaku yang dalam memanggil kesadaranku yang paling tak terpuaskan. Tak lama kemudian, aku menutup kedua mataku dan tersenyum dengan puas akan dunia yang begitu tenang di sekitar telingaku.
Di antara apa yang tak nampak. Malam hari menjemput dirinya dengan apa yang diketahuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA YANG MEMBOSANKAN
Non-Fictiontentang segala sesuatu kenapa dunia ini membosankan.