"Manusia terlalu banyak berkata-kata dalam ruang kosong dan yang tak bertuju. Mereka menghimpitkan wajahnya pada sebagian besar teriakan-teriakan yang bahkan sehelai daun pun tak mampu memberikan penghormatan. Apa yang bisa dihormati dari manusia, selain kerapuhannya yang begitu sementara dan keluhannya yang tiada terputus. Telah berjuta tahun aku berada di sini, dan mereka hanyalah keberadaan yang baru saja muncul dengan sebaris panjang perasaan marah dan kecewa. Mengeluh dan terus mengeluh, beranak-pinak tiada henti, setelah mengambil apa-apa yang ada dari tubuhku. Lihatlah orang tua yang kelelahan itu. Diasingkan oleh sesamanya sendiri, sakit dalam pengabaian yang terlampau dalam. Hanya untuk membuka mata dan telinga sedikit manusia lainnya saja dia bahkan tak mampu. Dia bertahan hanya untuk dicemooh dan merasakan amarah yang mulai mengotori kebijaksanaanya. Biarlah dia lelap hari ini. Hentikan olok-olokkan kalian untuk sementara. Dia bukan bagian dari kebanyakan yang kalian lihat," ujar sang Gunung pada seisi bukit dan lereng-lereng.
"Tapi," jawab sang batu kecil, "tidakkah manusia sama saja? Mereka hanya peduli dengan diri mereka sendiri. Merampas teman-teman kami tanpa perasaan malu dan rasa bersalah sedikitpun. Apakah layak kami membiarkan dia begitu tenang dalam tidurnya yang lembut?"
"Manusia telah menghancurkan rumah tangga kami," ujar sang rumput liar," mereka menginjak-injak kami dan membuat segala yang berair menjadi kering. Ya, sang Gunung Suci, mereka tak lebih hanyalah bencana!"
"Tak ada yang perlu dicintai dari sesosok manusia. Lihatlah aku, meringkuk ketakutan setiap malam memikirkan anak-anakku yang telah mati. Mereka membunuh apa pun yang mereka mau tanpa melihat kami sedikitpun. Tak ada yang perlu dikasihani. Aku tak suka mereka berada di tempat ini," keluh sang kadal dengan perasaan sedih dan marah.
"Ya, aku rasa itu benar. Manusia hanyalah kelahiran yang terkutuk. Siapakah yang telah menciptakan mereka, keberadaan yang begitu keji dan buas melebihi seekor singa dan para serigala? Dia yang menciptakan manusia, pastilah sangat memusuhi keberadaan kami. Pencipta macam apa yang melahirkan jenis yang paling rusak dan terkeji itu?" tanya seekor kelinci kepada yang lainnya.
"Mereka telah memisahkan aku dari keluargaku," ranting itu menangis, semua yang ada di situ mendadak bersedih," sebelum aku sempat berguna dan tumbuh. Aku terdampar di sini tahun demi tahun. Tak ada satu pun dari mereka yang peduli padaku. Mereka mengambil paksa diriku dari tubuh ibuku, dan meninggalkan aku di sini sebagai keberadaan yang tak berguna. Oh betapa mengerikannya manusia! Betapa tak berperasaannya mereka!"
Mereka semua kini berbisik-bisik. Mencemooh lelaki tua yang tertidur dengan tongkatnya di sebuah batu yang enggan menerima keberadaanya. Tiba-tiba tongkat itu berbicara. "Laki-laki ini berbeda dari dari apa yang kalian tuduhkan. Dia datang kepada kalian bukan untuk merusak dan merendahkan kalian. Dia ingin menjadi bagian dari kalian. Lihatlah betapa menderitanya dia, yang berhari-hari telah berusaha tak mengganggu keberadaan kalian. Dia terus berjalan dalam keadaan lapar dan hampir mati. Mencari apa yang gagal ditemukannya, keberadaan yang kalian sembunyikan dari kami selama ini."
"Apa maksudmu, apa yang kami sembunyikan?" tanya seekor kalajengking dengan heran.
"Kami tak menyembunyikan apa-apa! Kenapa kau, dengan begitu kejinya menuduh kami seperti itu?" protes sang embun.
"Hai keberadaan yang merendahkan dirinya kepada manusia, kami tak tahu apa yang kau maksudkan? Keberadaan apa yang kau cari?" tanya sebuah batu besar yang mencuat di antara batu-batu lainnya.
"Sesosok manusia paling bijak yang pernah ada di bumi ini. Dialah yang sedang kami cari," jawab sang tongkat.
"Tak pernah ada manusia bijak di bumi ini. Tak pernah. Semua manusia sama saja. Manusia bijak, apa kau sudah gila?" tanya sang pasir dengan nada mengejek dan jengkel.
"Ya, ya, tak ada manusia yang bijak di bumi ini. Tak satu pun." Mereka semua bicara serampak dan saling meyakinkan. "Si tongkat sudah gila! Dia sudah terlampau lama bersama dengan manusia, dan lihatlah sekarang, dia telah gila! Manusia membuatnya menjadi gila!"
"Zarathustra, apakah dia yang kau cari?" tanya sang Gunung memecah teriakan-teriakan yang tengah mengejek dan mencemooh sang tongkat.
"Oh Gunung yang Suci, benar, Dia, Dia yang selama ini kami cari!"
"Jauh, jauh di waktu yang lalu, seorang anak manusia yang memperkenalkan dirinya sebagai Zarathustra datang kemari seorang diri. Dia memang manusia yang sangat bijak dan begitu berbeda dari manusia-manusia yang pernah aku kenal. Kami memperbincangkan banyak hal dan betapa senangnya aku bertemu dengan dia."
"Ke manakah Dia sekarang, wahai sang Gunung yang Suci?" tanya sang tongkat pelan.
"Aku tak tahu ke mana dia melangkahkan kaki-kakinya. Tapi dia pernah berujar kepadaku, "Jika kelak ada seseorang yang mencariku sampai di tempat ini. Suruhlah dia berjalan lurus ke ufuk timur. Letak di mana setiap awal mengulangi dirinya sendiri.".
Tongkat itu terdiam sejenak. "Terimakasih wahai sang Gunung yang Suci. Kebaikkanmu tak akan pernah kami lupakan. Dan semoga segala yang baik akan selalu menyertaimu."
"Maafkanlah kelakuan mereka," sang Gunung mengarahkan pandangannya ke segala arah. "Mereka masih sangatlah muda, dan tak pernah melihat manusia yang kau sebutkan tadi. Dan jagalah laki-laki itu dengan sungguh-sungguh. Ada kebaikkan yang terpancar dari dalam tubuhnya."
Suara bisik-bisik telah berlalu. Angin menerpa pegunungan dan menoleh sejenak pada laki-laki tua yang tengah tertidur di sebongkah batu. Suasana menjadi sedikit sunyi. Dan segala sesuatunya menjadi jauh lebih tenang dan begitu damai."Siapa itu Zarathustra, wahai sang Gunung yang Suci?" tanya seekor lipan yang keluar dari celah-celah batu.
"Zarathustra, manusia bijak terakhir yang gagal menyembuhkan manusia," jawab sang Gunung dengan nada yang bergetar hingga sampai ke deretan lembah-lembah yang ada di bawahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNIA YANG MEMBOSANKAN
Non-ficțiunetentang segala sesuatu kenapa dunia ini membosankan.